Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
Fratelli Tutti merupakan ungkapan yang dikemukakan Santo Fransiskus dari Assisi kepada para saudaranya supaya mereka hidup berdasarkan cita rasa Injil (flavour of the Gospel). Menurut Paus Fransiskus, ungkapan Santo Fransiskus tersebut menekankan pentingnya mengejawantahkan kasih yang melampaui batasan tempat dan jarak (Fratelli Tutti, art. 1). Hal ini dapat terwujud apabila setiap orang sungguh-sungguh menghayati semangat keterbukaan (openness) dan persaudaraan (fraternal) di tengah masyarakat. Selain itu, setiap orang harus mengakui (acknowledge), menghargai (appreciate), dan mengasihi (love) yang lain, yaitu Allah, sesama manusia, dan ciptaan lainnya.
Santo Fransiskus menjadikan persaudaraan, kesederhanaan (simplicity), dan kegembiraan (joy) sebagai landasan dalam mengarungi peziarahan hidup. Perlu diketahui bahwa landasan hidup Santo Fransiskus tersebut menginspirasi Paus Fransiskus ketika menulis ensiklik Laudato Si dan Fratelli Tutti. Karena Santo Fransiskus mampu menjalin relasi dengan siapa pun dan di mana pun. Bahkan menyapa matahari, laut, dan angin sebagai saudara (brother).
Pada titik tertentu Santo Fransiskus mengakui bahwa dirinya lebih dekat dengan yang lain daripada dengan dirinya sendiri. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Santo Fransiskus dikenang banyak orang sebagai pribadi yang tekun dan setia menabur benih kedamaian (sowed seeds of peace). Senantiasa berjalan bersama saudara-saudari yang miskin, terlantar, terbuang, dan paling hina (Fratelli Tutti, art. 2).
Santo Fransiskus mempunyai hati dan pikiran yang terbuka serta mampu melampaui perbedaan asal-usul, kebangsaan, warna kulit, dan agama ketika menjalin relasi dengan yang lain (Fratelli Tutti, art. 3). Hal ini terlihat ketika Santo Fransiskus mengunjungi Sultan Malik-el-Kamil di Mesir. Jika dinilai secara rasional, maka perjumpaan antara Santo Fransiskus dan Sultan Malik-el-Kamil tidak mungkin terjadi. Karena Santo Fransiskus pada dasarnya miskin (tidak punya apa pun) dan harus melakukan perjalanan yang jauh. Selain itu, bahasa, budaya, dan agama mereka berbeda. Apalagi perjalanan tersebut ditempuh ketika Perang Salib sedang berlangsung. Namun, kasih dan kehendak yang berkobar-kobar di dalam diri Santo Fransiskus untuk merangkul semua orang, membuatnya tidak merasa takut.
Santo Fransiskus tidak takut apabila harus berhadapan dengan kesulitan dan bahaya. Oleh karena itu, Santo Fransiskus memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Mesir dan menemui Sultan Malik-el-Kamil. Ketika berjumpa dengan Sultan Malik-el-Kamil, Santo Fransiskus tidak berselisih dan beradu argumen. Karena Santo Fransiskus meyakini pentingnya sikap tunduk (subject) ketika berhadapan dengan yang lain. Tindakan Santo Fransiskus tersebut membuat Paus Fransiskus kagum. Karena delapan ratus tahun yang lalu Santo Fransiskus mampu memerlihatkan gagasan dan cara hidup yang luar biasa. Mendesak supaya setiap orang tidak melakukan permusuhan dan konflik. Sebagai gantinya, setiap orang harus mengaktualisasikan semangat rendah hati (humble) dan persaudaraan ketika berada dengan yang lain (Fratelli Tutti, art. 3).
Dalam pembicaraan yang dilakukan Santo Fransiskus dan Sultan Malik-el-Kamil, Santo Fransiskus sekadar mewartakan kasih Allah (spread the love of God). Santo Fransiskus tidak memaksakan berbagai macam ajaran yang diyakininya kepada Sultan Malik-el-Kamil. Karena Santo Fransiskus mengimani bahwa Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia (1Yoh 4:16).
Santo Fransiskus layak disebut sebagai bapak bagi setiap orang. Karena Santo Fransiskus berhasil menunjukkan pandangan mengenai komunitas persaudaraan yang ideal. Dengan demikian, hanya pribadi yang mendekati (approaches) yang lain, tidak menarik (draw) yang lain ke dalam kehidupan dirinya, membantu (help) yang lain menjadi diri sendiri yang sempurna, maka pribadi tersebut layak disebut bapak (Fratelli Tutti, art. 4).
Pada waktu itu, situasi dan kondisi kehidupan masyarakat diwarnai dengan menara pengawas (watchtowers) dan tembok pertahanan (defensive walls). Kota-kota digunakan sebagai panggung perang yang kejam untuk mengadu kekuatan. Sedangkan masyarakat yang tinggal di desa dilanda kemiskinan. Berhadapan dengan situasi dan kondisi tersebut, Santo Fransiskus memutuskan serta membebaskan diri dari keinginan untuk menguasai yang lain (Fratelli Tutti, art. 4). Santo Fransiskus lebih tertarik menyambut dan menghidupi kedamaian sejati (true peace), hidup harmonis (live in harmony) dengan yang lain.
Berbagai macam persoalan mengenai persaudaraan di antara sesama manusia dan persahabatan sosial (social friendship) selalu memeroleh perhatian dari Paus Fransiskus. Terkait hal ini, dalam pertemuan di Abu Dhabi, Paus Fransiskus dan Imam Besar Ahmad Al-Tayyeb menegaskan bahwa Allah menciptakan manusia yang setara dalam hak (rights), kewajiban (duties), dan martabat (dignity), dan memanggil mereka untuk hidup bersama sebagai saudara dan saudari (Fratelli Tutti, art. 5).
Penegasan yang disampaikan Paus Fransiskus dan Imam Besar Ahmad Al-Tayyeb merupakan refleksi yang lahir dari dialog dan komitmen bersama (dialogue and common commitment). Perlu diketahui bahwa ensiklik Fratelli Tutti mengambil dan mengembangkan sejumlah pokok gagasan sebagaimana diuraikan dalam dokumen yang ditandatangani Paus Fransiskus dan Imam Besar Ahmad Al-Tayyeb di Abu Dhabi. Selain itu, Paus Fransiskus menggunakan sejumlah surat, dokumen, dan pertimbangan-pertimbangan yang diperolehnya dari seluruh penjuru dunia.
Paus Fransiskus dalam ensiklik Fratelli Tutti menekankan sikap terbuka di antara laki-laki dan perempuan (Fratelli Tutti, art. 6). Oleh karena itu, harus ada upaya yang sifatnya berkelanjutan dalam rangka mewujudnyatakan kasih persaudaraan (fraternal love). Sehingga keberadaan yang lain sungguh-sungguh diakui, tidak dipandang sebelah mata dan diabaikan begitu saja. Hal ini hanya mungkin teraktualisasi apabila persaudaraan dan persahabatan sosial dihidupi. Persaudaraan dan persahabatan sosial tidak akan bertahan lama apabila setiap pribadi puas dengan mendiskusikannya pada tataran kata-kata (level of words).
Ensiklik Fratelli Tutti ditulis Paus Fransiskus di tengah situasi dan kondisi ketika manusia di seluruh dunia berhadapan dengan pandemi Covid-19. Setiap negara mengusahakan berbagai macam cara untuk mengatasi krisis. Namun, realitas menunjukkan bahwa mereka belum mampu bekerja sama (work together). Ketidakmampuan bekerja sama semakin mempersulit penyelesaian persoalan yang sedang terjadi (Fratelli Tutti, art. 7).
Oleh karena itu, ensiklik Fratelli Tutti dapat menjadi salah satu sarana untuk memahami pentingnya persaudaraan dan persahabatan sosial di tengah pandemi Covid-19. Jika setiap orang bersikap egois dan tidak mau bekerja sama dalam mengatasi pandemi Covid-19, maka persaudaraan di antara sesama manusia tidak mungkin tercipta serta pandemi Covid-19 semakin mewabah dan parah. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada pilihan lain bagi manusia dalam mengatasi pandemi Covid-19, setiap orang harus menumbuhkan dan mengembangkan semangat persaudaraan, terbuka, rendah hati, solider, simpati, empati, dan kerja sama.
Paus Fransiskus menghendaki supaya setiap orang mengakui martabat pribadi manusia, supaya persaudaraan universal sungguh-sungguh terwujud (Fratelli Tutti, art. 8). Harapannya setiap orang mampu mengubah hidup menjadi petualangan yang indah (wonderful adventure). Harus disadari bahwa tidak ada satu pun orang yang mampu menjalani hidup seorang diri. Setiap orang pada dasarnya membutuhkan komunitas yang berperan membantu dan mendukungnya. Dengan demikian, sebagai satu keluarga, sesama musafir, dan anak-anak dari bumi (rumah kita bersama), harus berani bermimpi dan berjuang bersama-sama.
Daftar Rujukan:
Fransiskus. Encyclical Letter Fratelli Tutti. http://www.vatican.va/content/francesco/en/encyclicals/documents/papa-francesco_20201003_enciclica-fratelli-tutti.html, diakses pada 4 Oktober 2020, pukul 20.00 WIB.