Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM

Setiap agama harus menghormati martabat pribadi (person) manusia. Karena manusia pada hakikatnya merupakan anak Allah (child of God) yang mempunyai peranan penting menumbuhkan dan mengembangkan persaudaraan (fraternity) serta keadilan (justice) di tengah masyarakat (Fratelli Tutti, art. 271). Terkait hal ini, dialog antaragama bukan sekadar membangun diplomasi dan toleransi.

Dialog antaragama merupakan upaya mewujudnyatakan persahabatan, persaudaraan, dan hidup yang harmonis. Selain itu, dialog antaragama dimaksudkan untuk membagikan nilai dan makna spiritual, moral, pengalaman, keselarasan, kebenaran, dan kasih. Oleh karena itu, jika tidak ada keterbukaan di antara para pemeluk agama, maka persaudaraan dan kedamaian tidak akan terejawantah (Fratelli Tutti, art. 272).

Perlu diketahui bahwa manusia akan memeroleh identitas diri yang sejati apabila mengarahkan hidupnya menuju kebenaran transenden (transcendent truth). Menghayati dan menghidupi kebenaran transenden memungkinkan manusia menjalin relasi secara adil dengan yang lain (Fratelli Tutti, art. 273). Selain itu, untuk mencapai kebenaran transenden, manusia harus melepaskan diri dari kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.

Manusia harus berjuang mengatasi kehendak untuk menguasai dan menundukkan yang lain. Bahkan pada titik tertentu, manusia tidak boleh menyangkal dan meniadakan martabat pribadi sesamanya. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa manusia merupakan gambar Allah (imago Dei) dan pribadi yang mempunyai hak untuk bertumbuh serta berkembang.

Manusia harus berusaha mencari dan menemukan Allah dengan hati yang tulus (sincere heart), tidak menodainya dengan tujuan yang bersifat ideologis serta egois. Usaha tersebut memungkinkan manusia mengenal yang lain dan menjadikan mereka sebagai teman seperjalanan (travelling companions). Jika kehidupan beragama dilandaskan pada ideologi tertentu, maka Allah akan tersingkir dan manusia memuja berhala (adoring idols).

Memasukkan ideologi tertentu ke dalam agama akan membuat hidup manusia tersesat (lose). Selain itu, martabat dan hak manusia secara otomatis terabaikan. Harus diakui bahwa hilangnya kebebasan menggunakan suara hati dan memeluk agama tertentu seringkali menimbulkan penderitaan, kemiskinan, dan tiadanya harapan serta cita-cita dalam menjalani hidup (Fratelli Tutti, art. 274).

Krisis yang terjadi di dunia modern dilatarbelakangi oleh tumpulnya kesadaran manusia (human conscience). Manusia tidak peka, mengambil jarak dari kehidupan beragama, dan bersikap egois. Selain itu, manusia meniadakan eksistensi Allah dan memaklumkan diri sebagai pribadi tertinggi serta transenden. Hal ini dapat dilihat ketika manusia mulai mendewakan pribadi tertentu dan membanggakan nilai-nilai duniawi serta material.

Tidak tepat apabila dalam menjalani kehidupan di tengah masyarakat, manusia hanya mendengarkan pribadi yang berkuasa dan seseorang yang dianggap ahli (experts). Namun, sejarah membuktikan bahwa tradisi religius (religious traditions) mampu membantu manusia mencapai kebijaksanaan, menemukan nilai dan makna hidup yang sejati (Fratelli Tutti, art. 275). Oleh karena itu, sangat disayangkan apabila manusia mengabaikan dan tidak peduli terhadap tradisi religius.

Ketika berhadapan dengan berbagai macam persoalan yang terjadi di dunia modern, Gereja Katolik tidak membatasi misinya pada ranah pribadi (private sphere). Hal ini dilakukan dalam rangka mewujudnyatakan niat baik Gereja Katolik untuk membangun dunia. Meskipun para pemimpin Gereja Katolik tidak boleh terlibat dalam partai politik (Fratelli Tutti, art. 276). Karena partai politik merupakan ranah kehidupan yang tepat dan lebih cocok untuk kaum awam.

Para pemimpin Gereja Katolik tetap bisa ambil bagian dalam kehidupan masyarakat dengan mengupayakan kebaikan bersama (common good) dan mengembangkan kualitas hidup manusia. Selain itu, mereka mempunyai tugas dan tanggung jawab memungkinkan terciptanya kemajuan kemanusiaan (advancement of humanity) dan persaudaraan universal (universal fraternity). Oleh karena itu, mereka harus tekun dan setia terlibat dalam dinamika kehidupan di tengah masyarakat.

Gereja Katolik harus menyatakan diri sebagai bagian dari masyarakat dan berani memberikan kesaksian hidup. Supaya setiap orang memahami bahwa Gereja Katolik merupakan rumah yang pintunya senantiasa terbuka untuk siapa pun (Fratelli Tutti, art. 276). Harapannya setiap anggota Gereja Katolik mampu terlibat dan memberikan pelayanan yang terbaik di tengah masyarakat.

Gagasan dasar ensiklik Fratelli Tutti sejalan dengan uraian dalam Nostra Aetate artikel dua, di mana Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang.

Anggota Gereja Katolik harus merefleksikan hal ini, jika Injil tidak lagi bergema (resonate) di dalam diri, maka ia akan kehilangan kegembiraan yang lahir dari belas kasih (compassion). Belas kasih tersebut lahir dari kepercayaan (trust), di mana manusia meyakini bahwa dirinya telah diampuni (forgiven) dan diutus (sent forth) Allah. Oleh karena itu, Injil menantang anggota Gereja Katolik untuk membela martabat pribadi manusia (Fratelli Tutti, art. 277). Gagasan mengenai martabat pribadi manusia dan persaudaraan mengacu pada Injil. Injil juga merangsang munculnya berbagai macam pemikiran, tindakan, keutamaan, dan persekutuan.

Selama berabad-abad Gereja Katolik hadir dan mengakar di seluruh dunia (Fratelli Tutti, art. 278). Hal ini memerlihatkan bahwa Gereja Katolik ingin menanamkan kasih universal di mana pun dan kapan pun. Gereja Katolik berharap memeroleh jaminan kebebasan ketika hadir di negara-negara yang didominasi mayoritas agama tertentu (Fratelli Tutti, art. 279). Kebebasan untuk membangun harmoni dan pemahaman mengenai budaya serta agama. Kebebasan hidup berdampingan dengan tenang (serene), teratur (ordered), dan damai (peaceful).

Penting juga memohon bantuan rahmat Allah untuk memperkuat persatuan di dalam Gereja Katolik. Persatuan yang diperkaya dengan keanekaragaman dan memeroleh bimbingan serta rahmat yang menyatukan dari Roh Kudus. Karena dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh (1Kor 12:13). Hal ini memerlihatkan bahwa setiap anggota Gereja Katolik mempunyai kontribusi dengan caranya masing-masing (Fratelli Tutti, art. 280).

Yesus Kristus menegaskan, supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku (Yoh 17:21). Namun, realitas menunjukkan bahwa globalisasi tidak memberikan kontribusi profetik dan spiritual di antara umat Kristiani (Fratelli Tutti, art. 280). Oleh karena itu, dalam perjalanan membangun persekutuan, umat Kristiani mempunyai tugas dan tanggung jawab memberikan kesaksian mengenai kasih Allah kepada semua orang. Hal ini dapat dilakukan dengan menumbuhkan dan mengembangkan kerja sama serta melayani sesama.

Upaya bekerja sama dan melayani harus didasarkan pada sebuah keyakinan bahwa Allah memandang bukan dengan mata-Nya, melainkan dengan hati-Nya (Fratelli Tutti, art. 281). Allah memberikan kasih yang sama untuk semua orang, apa pun agamanya, termasuk mereka yang ateis. Oleh karena itu, manusia harus senantiasa memuji dan memuliakan Allah serta mengasihi sesama (Fratelli Tutti, art. 282). Jangan sampai menjadi pemicu penghinaan, kebencian, dan kekerasan.

Anggota Gereja Katolik harus menghormati kesucian hidup (sacredness of life), martabat (dignity), dan kebebasan (freedom) yang lain. Mempunyai komitmen memperjuangkan kesejahteraan bersama. Karena barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih (1Yoh 4:8). Terkait hal ini, terorisme merupakan tindakan yang menyedihkan, mengancam keamanan, menimbulkan kepanikan, dan pesismisme (Fratelli Tutti, art. 283).

Terorisme tergolong kejahatan internasional yang mengancam keamanan dan perdamaian dunia (Fratelli Tutti, art. 283). Oleh karena itu, terorisme harus dihentikan. Selanjutnya, keyakinan religius mengenai nilai dan makna sakralitas kehidupan memungkinkan setiap orang mengakui nilai-nilai dasar manusia. Nilai-nilai tersebut mencakup kerja sama, dialog, memaafkan, dan menghentikan teriakan kebencian yang bersifat fanatik.

Perintah untuk menghidupi dan menghayati perdamaian tertanam kuat di dalam Gereja Katolik (Fratelli Tutti, art. 284). Oleh karena itu, para pemimpin Gereja Katolik harus menjadi manusia dialog (people of dialogue). Bekerja sama membangun perdamaian dengan yang lain. Bahkan pada tataran tertentu mereka harus mampu menjadi mediator dialog yang otentik (authentic mediators).

Melalui dialog, mereka akan memeroleh berbagai macam inspirasi yang berguna bagi dirinya. Sebagai mediator, mereka harus bersikap murah hati, memadamkan kebencian, membuka jalur dialog, dan mengakui bahwa dirinya tidak mempunyai apa pun (Fratelli Tutti, art. 284). Harapannya mereka dapat menjadi pelaku perdamaian, menjunjung tinggi persatuan, dan tidak menjadi pribadi yang mempunyai kecenderungan memecah belah.

Paus Fransiskus dan Imam Besar Ahmad Al-Tayyeb menegaskan bahwa agama tidak boleh menjadi pemicu perang, kebencian, ekstrimisme, kekerasan, dan penghapusan agama tertentu (Fratelli Tutti, art. 285). Jika hal itu terjadi, maka dapat dikatakan telah terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan agama. Manipulasi politik agama, interpretasi yang tidak tepat terhadap ajaran agama, dan sentimen agama merupakan sesuatu yang melatarbelakangi perpecahan antaragama. Selain itu, Allah tidak perlu dibela. Bahkan Allah tidak menghendaki apabila nama-Nya digunakan untuk menindas dan meniadakan yang lain.

Ketika merefleksikan dan menuliskan gagasan mengenai persaudaraan universal (universal fraternity), Paus Fransiskus terinspirasi oleh Santo Fransiskus dari Assisi (Fratelli Tutti, art. 286). Selain itu, Paus Fransiskus terinspirasi oleh saudara-saudari yang bukan Katolik, yaitu Martin Luther King, Desmond Tutu, Mahatma Gandhi, dll. Secara khusus Paus Fransiskus menyebut Beato Charles de Foucauld yang juga memengaruhi dan menginspirasinya.

Beato Charles merupakan pribadi yang mempunyai relasi dekat dan mesra bersama Allah. Pengalaman bersama Allah tersebut membuatnya mengalami perubahan dan melihat dirinya sebagai saudara bagi semua. Beato Charles mengarahkan seluruh hidupnya secara total kepada Allah. Bahkan Beato Charles meminta kepada seorang sahabat untuk mendoakannya, supaya ia sungguh-sungguh menjadi saudara bagi semua (Fratelli Tutti, art. 287).

Sumber Acuan:

Fransiskus. Encyclical Letter Fratelli Tutti. http://www.vatican.va/content/francesco/en/encyclicals/documents/papa-francesco_20201003_enciclica-fratelli-tutti.html, diakses pada 4 Oktober 2020, pukul 20.00 WIB.

1 KOMENTAR

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

one × three =