Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
Croce, R.G. Collingwood, S.K. Langer, C. Bell, dan M. Beardsley merupakan tokoh estetika abad XX. Mereka melahirkan teori-teori seni yang memainkan peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan estetika. Croce berbicara mengenai teori intuisi dalam seni. Collingwood berbicara mengenai teori ekspresi imajinatif. Bell berbicara mengenai bentuk bermakna (significant form). Beardsley berbicara mengenai peran seni sebagai alat (instrument). Selanjutnya akan diuraikan secara lebih rinci gagasan mereka yang mewakili aliran utama filsafat seni abad XX.
Benedetto Croce (1866-1952) menguraikan empat pengalaman dalam estetika. Pertama, pengalaman estetis (non-konseptual atau intuisi). Kedua, pengalaman intuisi (curahan rasa dalam bentuk puisi). Ketiga, pengalaman yang ditemukan dalam sejarah. Keempat, pengalaman estetis tidak boleh digolongkan ke dalam karya seni. Karena karya seni bukan sekadar hiburan, pendidikan intelektual, dan moral.
Menurut Croce, terdapat sejumlah gagasan yang harus diperhatikan untuk memahami intuisi dan seni. Pertama, seni identik dengan pengetahuan intuitif. Kedua, tidak ada intuisi yang spesifik. Ketiga, tidak ada perbedaan intensitas antara intuisi dan seni. Keempat, adanya perbedaan yang bersifat ekstensif dan empiris dalam intuisi serta seni. Kelima, kejeniusan artistik.
Keenam, isi dan bentuk dalam estetika. Ketujuh, kritik terhadap imitasi alam dan ilusi artistik. Kedelapan, seni merupakan perasaan dan penampakan estetis, bukan sesuatu yang teoritis. Kesembilan, kritik terhadap teori indra estetis. Kesepuluh, kesatuan dan ketakterbagian karya seni. Kesebelas, seni sebagai pembebas.
Robin George Collingwood (1889-1943) menegaskan bahwa seni dan kriya (craft) pada dasarnya berbeda. Namun, dari zaman Plato sampai saat ini, teori teknik seni (the technical theory of art) meyakini bahwa seni dan kriya sama. Oleh karena itu, Collingwood menolak kesamaan antara seni dan kriya.
Menurut Collingwood, terdapat empat konsep atau gagasan dalam kriya. Pertama, kriya merupakan bahan mentah yang diubah melalui ketrampilan dan menjadi produk sebagaimana telah direncanakan. Kedua, benda dapat menjadi karya seni dan kriya. Ketiga, seniman harus mempunyai ketrampilan tertentu untuk mengkomunikasikan karya seni. Keempat, penguasaan teknik tertentu tidak dengan sendirinya menjadikan seseorang seniman.
Selanjutnya, Collingwood memaparkan enam ciri kriya. Pertama, sarana dan tujuan pada dasarnya berbeda. Kedua, rencana (planning) dan pelaksanaan (execution) dibedakan. Ketiga, sarana dan tujuan saling terkait. Keempat, produk mentah dan produk akhir (artifact) dibedakan. Kelima, materi dan bentuk dibedakan. Keenam, terdapat berbagai macam jenis kriya yang saling melengkapi.
Collingwood menunjukkan enam macam seni yang seringkali keliru disebut sebagai seni. Pertama, hiburan (amusement art). Kedua, magi (magical art). Ketiga, teka-teki (puzzle). Keempat, pengajaran (instruction). Kelima, iklan atau propaganda (advertisement-propaganda). Keenam, nasihat atau peringatan (exhortation).
Susanne Katherina Langer (1895-1985) menegaskan bahwa seni mengandung logika simbolis, menampilkan persoalan etis. Terkait hal ini, estetika dapat menjadi jalan menuju etika. Oleh karena itu, Langger senantiasa bertolak dari tempat para seniman bekerja untuk merumuskan konsep seni. Bukan dari galeri di mana karya seni dipamerkan. Karena galeri kurang mencerminkan pengalaman lahirnya karya seni.
Langer menguraikan enam gagasan mengenai puisi, musik, dan berbagai macam karya seni lainnya. Pertama, melihat isu dan persoalan estetika melalui ekspresi, emosi, tulisan, dan simbol. Kedua, memperkaya dan memperdalam pengalaman melalui karya seni. Ketiga, melihat dua simbol yang berbeda dan tidak berkesinambungan dalam karya seni. Keempat, seni tari dan musik berasal dari pengetahuan (kebenaran). Kelima, musik menunjang hidup dan perasaan manusia. Keenam, musik menyembuhkan perasaan.
Dalam teori simbol dan estetika, Langer menunjukkan bahwa tanda (sign) digunakan untuk menyatakan peristiwa atau keadaan. Sedangkan simbol (symbol) dipahami sebagai wahana (vehicles) konsepsi manusia mengenai objek. Perlu diketahui bahwa terdapat dua macam simbol. Pertama, simbol diskursif (rasional atau dapat dipahami). Kedua, simbol representasional (dipahami secara spontan).
Menurut Langer, seni tidak mengulangi atau meniru alam. Oleh karena itu, Langer menolak teori mimesis Plato, di mana seni dipahami sebagai tiruan, tiruan dari tiruan (mimesis-memeseos). Karena seni pada dasarnya merupakan penciptaan, menghasilkan sesuatu yang baru dan lain sama sekali dari realitas alamiah. Hal ini menunjukkan bahwa simbol dalam seni bersifat ekspresif dan tampak hidup, ekspresi spontan perasaan yang bernilai edukatif.
Akhirnya, ekspresi seni bukan sekadar ekspresi diri. Karena ekspresi seni menawarkan nilai keindahan dan memperhalus komunikasi. Selain itu, dapat menularkan pengalaman subjektif seniman kepada orang lain. Hal ini yang memungkinkan seni bernilai edukatif.
Clive Bell (1881-1964) menegaskan bahwa bentuk bermakna (significant form) merupakan kualitas seni visual. Dalam desain grafis, bentuk bermakna karya seni diciptakan oleh pembuatnya. Misalnya pembuatan lay out poster mengenai suatu peristiwa (event) tertentu. Terkait hal ini, poster mengandung sejumlah elemen, yaitu headline, subheadline, dan body text. Jika tata letak poster menarik, tipografinya tepat, dan informatif, maka lay out poster tersebut dikategorikan sebagai bentuk bermakna.
Monroe Beardsley (1915-1985) menegaskan bahwa karya seni bukan sekadar tindakan berbicara (speech act), melainkan tiruan atau representasi dari tindakan berbicara. Karena karya seni pada dasarnya merupakan objek dan penalaran mengenai nilai serta sifat suatu karya, yang secara logis tidak berbeda dari penalaran lain tentang nilai. Perlu diketahui bahwa Beardsley menolak relativisme dan subjektivitas Kantian. Hal ini terjadi karena Beardsley meyakini gagasan tentang realisme estetis.
Menurut Beardsley, dalam karya seni, fenomenalisme merupakan kemampuan untuk mendapatkan kepuasan estetis dari berbagai macam objek yang kompleks. Selain itu, dalam fenomenalisme kepercayaan meningkat pada objek indah yang merupakan sumber kepuasan estetis. Sedangkan dalam instrumentalisme, pendidikan seni dilihat sebagai sesuatu yang estetis, tanpa pamrih (disinterested), dan seni untuk seni (art for art’s sake).
Beardsley meyakini bahwa bentuk objek estetis merupakan jumlah dari seluruh jaringan, yang meliputi setiap bagian dan properti regional. Jaringan tersebut dapat diumpamakan sebagai relasi antar unsur yang berskala besar. Dengan demikian, jika pengalaman estetis atau perhatian perseptual terhadap seluruh jaringan disatukan (unified), intens (intense), dan kompleks (complex), maka suatu karya seni berhasil serta memuaskan.
Daftar Pustaka:
Ali, Matius. Estetika: Pengantar Filsafat Seni. Jakarta: Sanggar Luxor, 2011.
Hauskeller, Michael. Seni, Apa Itu? Posisi Estetika dari Platon sampai Danto. Penerj. Satya Graha dan Monika J. Wizemann. Yogyakarta: Kanisius, 2015.
MANTAP