Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM

Para pemikir estetika Inggris abad XVIII bergulat dengan filsafat cita rasa (the philosophy of taste) dan mencari basis estetika dalam bentuk modern. Terkait hal ini, para pemikir Inggris memasukkan pengalaman keindahan ke dalam kategori kemampuan sensoris dan melihatnya sebagai fenomena cita rasa. Perlu diketahui bahwa persepsi tentang keindahan bukan sekadar kajian mengenai indra manusia. Selanjutnya, untuk dapat memahami estetika Inggris abad XVIII, akan diuraikan gagasan sejumlah pemikir Inggris.

Anthony Ashley Cooper/Shaftesbury (1671-1713) menegaskan bahwa ada kemampuan cita rasa tunggal yang berguna untuk membuat putusan tentang ada atau tiadanya keindahan. Terkait hal ini, putusan tersebut bersifat transendental. Perlu diketahui bahwa Shaftesbury memberikan sumbangan gagasan mengenai yang sublim (dunia sebagai ciptaan Allah) dan ketanpa-pamrihan (tindakan bernilai moral).

Francis Hutcheson (1694-1746) menegaskan bahwa keindahan bukan objek transendental dan bukan objek yang manusia lihat, dengar, dan sentuh. Terkait hal ini, keindahan merupakan nama yang diberikan pada ide yang muncul dalam diri manusia. Selain itu, rasa keindahan (sense of beauty) adalah kemampuan menerima ide.

Hutcheson meyakini kesatuan dalam keberagaman (uniformity amidst variety) sebagai fondasi estetika. Karena keindahan dibangun di atas dasar kesatuan (unity) antara yang asli dan salinannya. Sedangkan keanekaragaman (variety) didukung fakta bahwa yang asli dan salinannya merupakan dua hal berbeda (different) yang disatukan oleh kemiripan di antara keduanya.

Edmund Burke (1728-1797) menolak teori rasa internal sebagai dasar keindahan dan yang sublim. Terkait hal ini, Burke membedakan antara rasa senang positif dan relatif. Perlu diketahui bahwa rasa senang merupakan akibat dari hilangnya rasa sakit.

Rasa senang yang diperoleh dari keindahan yaitu cinta (kesenangan positif), berguna bagi kelestarian hidup manusia sehingga tidak punah. Sedangkan rasa senang yang sublim merupakan kesenangan relatif, berguna bagi kelestarian individu (misalnya hilangnya rasa sakit).

David Hume (1711-1776) mengajarkan dua macam persepsi, yaitu kesan (impression) dan ide (idea). Kesan merupakan pengalaman indrawi. Sedangkan ide merupakan ingatan akan berbagai macam kesan. Terkait hal ini, ide harus diasalkan dari kesan indrawi. Karena pikiran bekerja berdasarkan tiga prinsip, yaitu kemiripan (resemblance), kedekatan-hubungan (contiguity), dan sebab-akibat (cause and effect).

Perlu diketahui bahwa Hume merumuskan teori estetika berdasarkan gagasan epistemologi tentang penggabungan ide-ide (association of ideas) sebagai dasar daya cipta keindahan dalam diri manusia. Dengan demikian, yang indah merupakan hasil penilaian di antara mereka yang menganggapnya indah.

Daftar Pustaka:

Ali, Matius. Estetika: Pengantar Filsafat Seni. Jakarta: Sanggar Luxor, 2011.

Hardiman, F. Budi. Pemikiran Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche. Yogyakarta: Kanisius, 2019.

Hauskeller, Michael. Seni, Apa Itu? Posisi Estetika dari Platon sampai Danto. Penerj. Satya Graha dan Monika J. Wizemann. Yogyakarta: Kanisius, 2015.

Tjahjadi, Simon Petrus L. Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern. Yogyakarta: Kanisius, 2019.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

5 × two =