Estetika Menurut G. W. F. Hegel

0
4032

Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM

Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) menegaskan bahwa penciptaan manusia merupakan suatu proses. Realitas penciptaan manusia tersebut bukan sekadar ada (being). Melainkan suatu proses yang menjadi (becoming). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa manusia bukan substansi, tetapi subjek.

Manusia dalam perjalanan hidup mengalami proses penyangkalan dan pernyataan diri melalui akal budi. Hal ini merupakan peningkatan pengertian, kesadaran, dan rasionalitas dalam sejarah. Hegel menyebutnya sebagai perjalanan kesadaran diri, dari pengetahuan indrawi menuju pengetahuan absolut. Selain itu, Hegel menyebutnya sebagai perkembangan roh, di mana roh subjektif melalui roh objektif menuju roh absolut.

Menurut Hegel, dialektika merupakan negativitas, membawa kemajuan menuju kebebasan yang lebih tinggi. Perlu diketahui bahwa dialektika menggunakan pola dialogis, yaitu saling menyangkal, saling membenarkan, dan saling memajukan.

Selanjutnya, Hegel berbicara tentang keindahan yang merupakan momen perkembangan roh menuju kesempurnaan. Momen tersebut dapat ditemukan dalam pengalaman hidup manusia. Terkait hal ini, Hegel menyatakan bahwa seni bukan sekadar alat. Karena pada dasarnya fungsi seni yaitu mengungkapkan roh (yang absolut) melalui tatanan material (indrawi). Jika melihat yang absolut hadir dalam karya seni, maka akan timbul rasa senang dan nikmat. Kesenangan dan kenikmatan tersebut disebut sebagai keindahan.

Hegel meyakini bahwa seni mengalami tiga tahap perkembangan. Pertama, bentuk simbolik, di mana bentuk dicari dalam ekspresi seni, tetapi tidak sampai menemukannya. Hal ini terjadi karena situasi dan kondisi yang abstrak serta tidak menentu. Perlu diketahui bahwa seni simbolik banyak ditemukan di dalam budaya Timur kuno, yaitu Mesir, Persia, India, dan Palestina. Terkait hal ini, arsitektur merupakan puncak seni simbolik.

Kedua, bentuk klasik, di mana terjadi kesatuan atau keselarasan antara ide (makna) dan manifestasi (bentuk). Hal ini memungkinkan adanya kesatuan (unity) atau keselarasan (harmony) antara subjektivitas spiritual dan realitas indrawi. Puncak seni klasik terwujud dalam seni pahat (patung). Terutama patung para dewa yang mempresentasikan kehidupan sebagai locus kebebasan, nilai, dan makna.

Ketiga, bentuk romantik, di mana terjadi pemisahan antara materi dan bentuk. Dalam seni romantik, roh (spirit) dikenal sebagai subjektivitas tak terbatas (infinite subjectivity) dan kebatinan absolut (absolute inwardness). Seni romantik mencapai puncak dalam puisi, musik, dan lukisan.

Daftar Pustaka:

Ali, Matius. Estetika: Pengantar Filsafat Seni. Jakarta: Sanggar Luxor, 2011.

Hardiman, F. Budi. Pemikiran Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche. Yogyakarta: Kanisius, 2019.

Hauskeller, Michael. Seni, Apa Itu? Posisi Estetika dari Platon sampai Danto. Penerj. Satya Graha dan Monika J. Wizemann. Yogyakarta: Kanisius, 2015.

Tjahjadi, Simon Petrus L. Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern. Yogyakarta: Kanisius, 2019.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

thirteen − 10 =