Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
Postmodernisme memisahkan diri dari aliran utama filsafat. Pemisahan diri tersebut terjadi pada periode pasca-pencerahan akal budi (post-enlightement). Menurut kaum postmodernis, cerita besar pencerahan, yaitu Hegelian dan Marxisme kehilangan daya tarik. Pada saat yang sama, fenomenologi dan eksistensialisme dilihat sebagai humanisme yang mengukuhkan subjek.
Postmodernisme menarik berbagai macam kesimpulan radikal dari perkembangan filsafat. Terkait hal ini, postmodernisme berasal dari Eropa Barat abad XX yang bersifat historis dan intelektual, mengembangkan seni serta teori seni.
Terdapat tiga ciri yang menandai postmodernisme. Pertama, penolakan atas klaim status istimewa dari seni dan budaya klasik. Kedua, rujukan pada diri dan skeptisisme epistemologis. Ketiga, kekalahan partai kiri baru (new left) pada 1968 menunjukkan ambivalensi postmodernisme.
Kritik postmodernisme terhadap pencerahan (aufklarung) dan modernisme terjadi di Prancis. Hal ini berlangsung setelah strukturalisme dan poststrukturalisme menolak Marxisme. Selain itu, postmodernisme tidak mau mengikuti para filsuf baru (nouveaux philosophes) pada 1970.
Postmodernisme menimbulkan enam pengaruh. Pertama, munculnya gagasan dualitas (subjek-objek, spiritual-material, manusia-dunia). Kedua, melahirkan pandangan objektif dan positivistik. Ketiga, ilmu positif-empiris diyakini sebagai kebenaran tertinggi. Keempat, melahirkan materialisme. Kelima, melahirkan militerisme. Keenam, bangkitnya tribalisme.
Dalam media seni, postmodernisme dibagi ke dalam lima bidang. Pertama, sastra (memberikan makna secara mendalam, bukan sekadar tuturan). Kedua, arsitektur (membebaskan diri dari konsep di mana bangunan dipahami dan diterjemahkan berdasarkan konteks). Ketiga, seni visual. Keempat, estetika (mengembangkan imitasi peristiwa masa lampau). Kelima, simulasi digital (instruksi matematis yang dikomputerisasi). Keenam, televisi.
Estetika postmodern mempunyai empat konsep. Pertama, simulasi. Kedua, rangkaian kejadian dan ide yang dihasilkan film sebelumnya kemudian diseleksi kembali. Ketiga, media berinteraksi dengan sejumlah teks. Keempat, adaptasi atau improvisasi.
Akhirnya, dalam estetika postmodern terdapat empat tahap perkembangan, dari representasi menuju simulasi. Pertama, refleksi berdasarkan realitas. Kedua, penyimpangan terhadap realitas. Ketiga, menunjukkan absennya realitas. Keempat, tidak mempunyai relasi dengan realitas diluar diri.