Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
Renaisans (renaisssance) berasal dari kata re (kembali) dan naissance (kelahiran). Oleh karena itu, renaisans merupakan periode kebangkitan kembali minat pada budaya Yunani kuno. Terkait hal ini, renaisans mengembangkan ilmu pengetahuan modern.
Perlu diketahui bahwa renaisans mempropagandakan antroposentrisme dan menggeser cara berpikir periode Abad Pertengahan yang teosentris. Antroposentrisme renaisans sejalan dengan gagasan Protagoras mengenai manusia sebagai ukuran bagi segala-galanya (homo mensura).
Terdapat delapan prinsip dalam estetika renaisans. Pertama, seni lukis dan pahat mengandung sifat mental serta intelegensi, di mana seniman menyandang status sebagai sarjana, ilmuwan, dan orang santun (gentleman). Kedua, seni dan puisi menirukan alam, di mana ilmu empiris memberikan sejumlah petunjuk yang bermanfaat.
Ketiga, seni plastis (misalnya sastra) mengejar tujuan moral, yaitu perbaikan status sosial. Keempat, keindahan merupakan properti objektif benda yang terdiri atas tatanan, harmoni, proporsi, dan kebenaran. Kelima, puisi dan seni visual nilainya merosot atau menurun.
Keenam, seni tunduk dan mengikuti aturan kesempurnaan yang secara rasional dapat dimengerti, diformulasikan, dan diajarkan. Ketujuh, unsur perspektif menjadi penting dalam menciptakan karya seni. Kedelapan, seni pada periode renaisans berhutang budi pada mitologi klasik dan filsafat mistik. Selanjutnya, akan diuraikan pandangan sejumlah tokoh renaisans mengenai estetika.
Francesco Petrarca (1304-1374) menegaskan bahwa filsuf sejati sadar terhadap konteks. Karena filsafat bukan seni berkata asbtrak dan hampa. Melainkan seni hidup yang baik dan berkeutamaan. Oleh karena itu, pengetahuan Skolastik yang bersifat murni pada dasarnya tidak berguna. Hal ini didasarkan pada sebuah keyakinan bahwa filsafat harus bersifat praktis, di mana filsafat ada untuk manusia, bukan manusia ada untuk filsafat.
Leon Battista Alberti (1404-1472) menegaskan bahwa seniman harus mengambil inspirasi dari alam, mempelajari alam. Hal ini memungkinkan seniman menemukan gaya (style) yang diinginkan. Karena melalui alam gagasan yang ada di dalam diri seniman lebih mudah divisualisasikan. Terkait hal ini, ketika mengulas karya seni, Alberti seringkali menggunakan istilah kesatuan, keragaman, keanggunan, kesempurnaan, imajinasi, dan fantasi.
Marsilio Ficino (1433-1499) menegaskan bahwa keindahan identik dengan realitas transenden. Terkait hal ini, seni lukis dan seni pahat dipisahkan dari kerajinan praktis serta diperlakukan sebagai cabang ilmu yang lebih tinggi. Dengan demikian, melalui konsentrasi yang mengarah pada inti batin, seniman mampu menciptakan karya seni.
Leonardo da Vinci (1452-1519) mengajarkan empat macam perspektif. Pertama, penyusutan dan pengecilan benda ketika mundur dari pandangan mata (linier perspective). Kedua, perubahan warna pada benda ketika mundur dari pandangan mata (perspective of color). Ketiga, objek semakin kabur apabila jaraknya semakin jauh (perspective of disappearance). Keempat, aerial perspective yang disebabkan efek atmosfer pada warna.
Selain itu, Leonardo menjelaskan dua tahap dalam seni lukis. Pertama, observasi terhadap alam dan rinciannya secara ilmiah. Kedua, momentum inspirasi Ilahi, memvisualkan hasil observasi secara cermat. Akhirnya, Leonardo menegaskan dua tujuan yang harus dicapai seniman. Pertama, usaha agar lukisannya dinamis dan ekspresif. Kedua, menampilkan keindahan yang membawa ketenangan.
Francesco Patrizi (1529-1597) menegaskan bahwa seniman merupakan pencipta, bukan peniru alam. Karena seniman senantiasa mengungkapkan imajinasi kreatif. Terkait hal ini, puisi merupakan transformasi dari alam. Oleh karena itu, satu-satunya kualitas esensial seni murni yaitu keajaiban, sesuatu yang mengagumkan (the marvelous). Dengan demikian, penyair merupakan pribadi yang menciptakan keajaiban di dalam puisinya.
Francis Bacon (1561-1626) menegaskan bahwa fungsi seni yaitu mempresentasikan tiruan realitas (simulacrum of reality). Terkait hal ini, seniman memanfaatkan kekuatan imajinasi untuk menyampaikan tiruan realitas yang diubah dan disesuaikan dengan gagasannya. Tiruan realitas tersebut kemudian digarap sedemikian rupa dan menghasilkan realitas yang lebih menarik apabila dibandingkan dengan kehidupan aktual.
Daftar Pustaka:
Ali, Matius. Estetika: Pengantar Filsafat Seni. Jakarta: Sanggar Luxor, 2011.
Hardiman, F. Budi. Pemikiran Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche. Yogyakarta: Kanisius, 2019.
Hauskeller, Michael. Seni, Apa Itu? Posisi Estetika dari Platon sampai Danto. Penerj. Satya Graha dan Monika J. Wizemann. Yogyakarta: Kanisius, 2015.
Tjahjadi, Simon Petrus L. Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern. Yogyakarta: Kanisius, 2019.
Mantap mas fr dosen