Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM

Pada abad XIX, seni dan sastra dilihat sebagai ekspresi emosi seniman. Hal ini mendorong munculnya teori ekspresi seni dalam gerakan romantisme. Terdapat tujuh ciri yang menandai periode romantik. Pertama, seni merupakan ekspresi dan perasaan seniman. Kedua, di Prancis muncul semboyan seni untuk seni (l’art pour l’art).

Ketiga, terdapat sejumlah kata yang sering digunakan, yaitu orisinalitas, ekspresi, komunikasi, emosi, simbolisme, dan sentimental. Keempat, para seniman terlibat dalam eksotisme dan mistisisme. Kelima, memuja dan mendewakan seniman. Keenam, seniman mendewakan diri sendiri. Ketujuh, seniman tidak lagi mengikuti aturan dan tradisi.

Periode romantik membuahkan tiga teori ekspresi seni. Pertama, seni sebagai sarana komunikasi emosi. Kedua, ekspresi dan komunikasi merupakan fungsi sentral seni, di mana karya seni dikatakan berhasil apabila mampu mengkomunikasikan emosi. Ketiga, seni dipahami sebagai ekspresi diri, komunikasi emosi, dan perwujudan (embodiment) emosi. Selanjutnya, akan diuraikan gagasan dua tokoh estetika periode romantik, yaitu Schopenhauer dan Nietzsche.

Arthur Schopenhauer (1788-1860) menegaskan bahwa rasio tidak mampu mengetahui benda pada dirinya sendiri (das ding an sich). Oleh karena itu, untuk sampai pada realitas, harus menempuhnya melalui kehendak (will). Hanya melalui kehendak, manusia mampu merealisasikan diri sebagai pribadi yang bereksistensi.

Sebagaimana dikatakan Schopenhauer, seni membebaskan manusia dari tekanan kehendak yang mengobjektivasikan diri dalam seni. Objektivasi tersebut terjadi melalui dua cara. Pertama, ide dalam bentuk seni arsitektur, lukis, pahat, puisi, dan drama. Kedua, secara langsung (tanpa perantara), misalnya seni musik. Terkait hal ini, musik mendapat posisi tertinggi dalam filsafat Schopenhauer.

Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900) menegaskan bahwa moralitas tradisional (agama) tidak relevan bagi kehidupan masyarakat. Karena agama kehilangan kekuatan dan menghasilkan moral budak. Hal ini diciptakan oleh pribadi lemah dan rendah diri. Karakter pribadi tersebut mereka sebut sebagai kelembutan dan kebaikan hati.

Namun, kelembutan dan kebaikan hati justru semakin melemahkan manusia. Hal ini harus diantisipasi dan pada tataran tertentu harus dihancurkan. Oleh karena itu, mereka membutuhkan tuan aristokrat yang kuat (superman) untuk menggantikan moralitas tradisional.

Menurut Nietzsche, seni merupakan media untuk memahami dunia. Selain itu, seni dipahami sebagai countermovement terhadap gerakan agama, moralitas, dan filsafat. Jika seni digunakan sebagai sarana melawan suatu teori, maka akan terjadi mistifikasi seni.

Meskipun Nietzsche meyakini bahwa seni merupakan media untuk melawan kebenaran. Namun, apabila kebenaran yang sama dinobatkan sebagai yang absolut dan universal, hal ini akan menjadikannya sebagai kebenaran versi lain.

Daftar Pustaka:

Ali, Matius. Estetika: Pengantar Filsafat Seni. Jakarta: Sanggar Luxor, 2011.

Hardiman, F. Budi. Pemikiran Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche. Yogyakarta: Kanisius, 2019.

Hauskeller, Michael. Seni, Apa Itu? Posisi Estetika dari Platon sampai Danto. Penerj. Satya Graha dan Monika J. Wizemann. Yogyakarta: Kanisius, 2015.

Tjahjadi, Simon Petrus L. Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern. Yogyakarta: Kanisius, 2019.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

3 × 1 =