Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
Pertumbuhan dan perkembangan sains seringkali dipandang sebagai prestasi luar biasa (outstanding achievement). Karena sains mempunyai produksi, penjelasan, dan konsep yang memadai serta dapat diandalkan.
Pada tataran tertentu sains dipandang sebagai simbol peradaban modern. Selain itu, dalam rangka menggambarkan dunia, sains menempuh cara ilmiah (scientific way).
Salah satu ciri gerakan fundamentalisme dalam tradisi Yudaisme, Kristen, dan Islam yaitu tindakan mengadaptasi sains serta teknologi modern. Tindakan tersebut dimaksudkan untuk merebut kembali (reclaim) masyarakat yang telah dibentuk oleh alam pikiran modern dan sekuler.
Perlu diketahui bahwa para fundamentalis menolak sistem budaya dalam alam pikiran modern yang meminggirkan yang sakral (the sacred) dan memungkinkan serta mendorong pluralisme.
Para fundamentalis mengadaptasi peradaban modern dengan cermat, membangun sintesis antara tradisi (tradition) dan modernitas (modernity). Terkait hal ini, para fundamentalis menolak mengistimewakan metode dan nilai modern, termasuk sains.
Pada umumnya para fundamentalis tidak anti-ilmiah. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila para fundamentalis seringkali kagum ketika berhadapan dengan sains dan teknologi modern.
Para fundamentalis mempunyai keinginan bersaing dengan kelompok sekuler. Hal ini dilakukan dalam rangka menguasai sistem budaya dan otoritas negara.
Selanjutnya, para fundamentalis membuat klaim kebenaran. Klaim kebenaran sebagaimana dikemukakan para fundamentalis memeroleh tantangan dari kelompok sekuler, terutama dari praktisi sains modern.
Para cendekiawan fundamentalis menegaskan bahwa mereka tidak asing dengan sains. Menurut mereka, sains modern berakar pada periode keemasan peradaban agama. Sehingga mereka semakin yakin bahwa mereka bukan sekadar mengadaptasi sains dan teknologi modern.
Mereka menegaskan bahwa sains dan teknologi modern bertumbuh serta berkembang dalam tradisi agama sebelum Pencerahan (Enlightment). Selain itu, mereka memandang tradisi Pencerahan membuat pemisahan tegas antara ilmu pengetahuan (scientia) dan agama wahyu (revealed religion).
Menurut para fundamentalis, pemisahan (decoupling) tegas antara sains dan agama tidak tepat. Karena pada dasarnya sains dan agama dirancang Allah untuk menjalin relasi yang harmonis.
Realitas memerlihatkan bahwa pada periode modern awal dan Pencerahan, terjadi persaingan serta perselisihan antara sains dan agama. Terkait hal ini, para fundamentalis mengklaim diri sebagai pemulih relasi harmonis antara sains dan agama sebagaimana dikehendaki Allah.
Para fundamentalis menyatakan diri sebagai pembela kebebasan manusia yang otentik (authentic human freedom). Kebebasan tersebut berakar pada kehendak yang ilahi (divine will). Menurut John Garvey, para fundamentalis mengabdikan diri pada cita-cita kebebasan (ideal of freedom).
Perlu diketahui bahwa kebebasan menjadi salah satu tanda relasi antara manusia dan Allah. Manusia dikatakan saleh apabila secara bebas atau tanpa paksaan menaati perintah Allah. Sebagaimana dikatakan John Calvin, kebebasan sejati merupakan ketundukan secara sukarela kepada kehendak Allah.
Kebebasan merupakan tindakan penyerahan diri yang bersifat sukarela (voluntary). Sehingga melakukan kehendak Allah tidak bertentangan dengan kebebasan manusia. Menurut Jerry Falwell, kebebasan tidak merusak moral manusia.
Merujuk pada teori liberal, kebebasan memungkinkan manusia menentukan pilihan. Misalnya, memilih melakukan aborsi atau melahirkan. Namun, para fundamentalis meyakini dan mengajarkan bahwa kebebasan bersifat sepihak. Sebagaimana ditegaskan para fundamentalis, pemerintah harus membebaskan masyarakat untuk melakukan kehendak Allah.
Para fundamentalis mempunyai cita-cita membuat manusia hidup sesuai kehendak Allah. Dalam perjalanan waktu, para fundamentalis radikal atau militan berhadapan dengan berbagai macam persoalan.
Persoalan tersebut mencakup kesehatan, pertumbuhan populasi, air yang cukup untuk digunakan, produksi pangan, industri modern, partisipasi dalam perdagangan internasional, mengamankan perbatasan, dan memelihara angkatan bersenjata modern. Berbagai macam persoalan tersebut hanya dapat ditangani secara efektif melalui sains dan teknologi.
Para cendekiawan Sunni kontemporer dipengaruhi oleh kritik fundamentalis Islam terhadap budaya modern. Menurut Bassam Tibi, para cendekiawan tersebut meyakini bahwa sains modern berasal dari periode awal Islam dan merupakan ekspresi peradaban Islam.
Hal ini juga ditegaskan Sayyid Qutb, sains dan teknologi modern berasal dari ajaran Al-Qur’an. Sedangkan menurut Rifa’a Rafi al-Tahtawi, tindakan mengadaptasi sejumlah sumber dari Eropa merupakan tindakan kepemilikan kembali (an act repossession).
Semua ilmu pengetahuan yang benar berasal dari Allah dan terungkap dalam Al-Qur’an serta hadis Nabi. Oleh karena itu, penelitian ilmiah harus dilakukan berdasarkan pedoman sebagaimana ditetapkan dalam ajaran agama.
Klaim sains diikuti sejauh tidak bertentangan dengan kebenaran dan otoritas agama. Islam harus memastikan bahwa sains dan teknologi yang diadaptasi dari Barat dipisahkan dari sistem nilai budaya Barat yang korup serta sekuler.
Herbert Marcuse menolak gagasan mengenai netralitas sains (neutrality of science). Selain itu, teknologi pada dasarnya merupakan sarana kontrol dan dominasi sosial serta tidak memerdekakan kehidupan manusia. Dengan kata lain, sains dan teknologi mempunyai nilai (values) serta kepentingan (interests) tertentu.
Menurut Bassam Tibi, terkait proses pembangunan ekonomi di Timur Tengah, kalangan tradisionalis Islam bersedia menyesuaikan diri dengan wacana para fundamentalis dalam upaya membangun relasi antara Islam dan sains. Hal ini terlihat ketika para fundamentalis militan menggunakan teknologi dan senjata modern.
Terutama para fundamentalis membutuhkan teknologi Barat yang maju untuk melakukan perang dengan Irak (1980-1988). Sehingga tidak mengherankan apabila pemimpin fundamentalis mengambil langkah pragmatis dengan menangguhkan perintah-perintah Islam demi kelangsungan hidup Republik Islam.
Perlu diketahui bahwa Ayatollah Khomeini menanggapi ulama tradisioal yang keberatan dengan keputusan pemimpin fundamentalis tersebut. Menurut Ayatollah Khomeini, cara menafsirkan tradisi sebagaimana dilakukan ulama tradisional harus dihentikan, supaya masyarakat tidak hidup di dalam belenggu (shackles) dan padang gurun (desert).
Menurut Farhang Rajaee, para pemimpin Syiah harus memanfaatkan cara duniwai (worldly means). Hal ini memerlihatkan kebutuhan mengadaptasi sains dan teknologi berdasarkan prinsip kemanfaatan. Misalnya, menyetujui dan mendistribusikan sarana KB serta IUD dalam rangka menangani persoalan pertumbuhan populasi.
Fundamentalisme Kristen di Amerika Utara muncul dalam konteks di mana sains modern sepenuhnya mapan. Misalnya, pengobatan modern dipraktekkan secara luas dan teknologi modern tersebar di mana-mana.
Sains dan teknologi telah diadaptasi dan dipraktekkan sepenuhnya. Pada area sensitif di mana doktrin agama dan teori ilmiah berbenturan, para fundamentalis Kristen menegaskan keunggulan klaim agama.
Narasi penciptaan dikedepankan sebagai alternatif teori evolusi biologis. Berbagai upaya dilakukan untuk melarang mengajarkan teori evolusi biologis di sekolah-sekolah.
Setelah Perang Dunia II, gagasan mengenai narasi penciptaan diajarkan di sekolah-sekolah dan memeroleh waktu yang sama (equal time) dengan mata pelajaran lainnya. Hal ini memerlihatkan bahwa ajaran Kitab Suci mengenai penciptaan harus didahulukan daripada teori ilmiah.
Para fundamentalis Kristen mengadaptasi struktur penjelasan dan praktek ilmiah. Selain itu, para fundamentalis Kristen menantang teori evolusi biologis berbasis probabilitas yang tidak ilmiah (unscientific).
Menurut Sir Karl Popper, ketika mengadaptasi sains modern sebagai milik dan menggunakannya untuk melawan teori evolusi biologis, tindakan tersebut merupakan bentuk baru kritik para fundamentalis terhadap modernitas.
Sumber Bacaan:
Mendelsohn, Everett. “Religious Fundamentalism and the Sciences.” Dalam Martin E. Marty dan R. Scott Appleby. Fundamentalism and Society: Reclaiming the Sciences, the Family, and Education. Chicago: The University of Chicago Press, 1993, hlm. 23-41.