Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM

Abad XVIII disebut periode pencerahan (aufklarung) dengan semboyan beranilah berpikir sendiri (sapere aude). Perlu diketahui bahwa pada waktu itu terjadi bentrokan pemikiran antara rasionalisme Jerman dan empirisme Inggris. Bentrokan tersebut memicu Immanuel Kant (1724-1804) mencari unsur pemikiran yang berasal dari pengalaman dan rasio manusia.

Pencarian tersebut ditulis Kant dalam tiga karya. Pertama, kritik atas rasio murni (critique of pure reason). Kedua, kritik atas rasio praktis (critique of practical reason). Ketiga, kritik atas daya pertimbangan (critique of judgement).

Kant dalam critique of pure reason mendamaikan rasionalisme dan empirisme. Terkait hal ini, Kant menjelaskan tiga tahap pengenalan. Pertama, tahap indrawi, di mana pengenalan melibatkan bentuk (apriori) dan materi (aposteriori). Oleh karena itu, ketika mengamati objek, yang diamati bukan sekadar benda pada dirinya. Melainkan salinan (copy) dari benda tersebut dalam bentuk daya lahiriah dan batiniah. Hal ini disebut penampakan, gejala, dan fenomena.

Kedua, tahap akal, di mana Kant membedakan antara akal (verstand) dan rasio (vernunft). Akal bertugas mengatur data indrawi, membuat putusan. Sedangkan rasio bertugas menyusun putusan.

Ketiga, tahap rasio, di mana rasio bertugas menarik kesimpulan dari putusan yang telah dibuat oleh akal (membuat argumentasi). Jika tugas akal adalah membuat putusan dari data indrawi, maka tugas rasio yaitu menggabungkan berbagai macam putusan. Terkait hal ini, Kant membuat argumentasi berdasarkan tiga ide yang bersifat apriori, yaitu jiwa, dunia, dan Allah.

Kant dalam critique of practical reason menunjukkan bahwa rasio praktis memberikan perintah mutlak, imperatif kategoris. Terkait hal ini, rasio membutuhkan tiga postulat, yaitu kebebasan kehendak, imortalitas jiwa, dan Allah.

Kant dalam critique of judgement memaparkan empat gagasan penting. Pertama, kualitas, di mana keindahan dirumuskan sebagai objek rasa puas yang bersesuaian dengan selera. Ciri rasa puas yaitu adanya sikap tanpa pamrih (disinterested). Sedangkan selera merupakan kemampuan mempertimbangkan objek atau bentuk representasi berdasarkan rasa senang atau tidak senang.

Kedua, kuantitas, di mana keindahan dirumuskan sebagai sesuatu tanpa konsep, memberi rasa senang universal. Oleh karena itu, keindahan bukan hasil dari pengalaman (aposteriori), melainkan kondisi pertimbangan estetis dalam rasio (apriori).

Ketiga, finalitas, di mana keindahan merupakan forma finalitas objek. Perlu diketahui bahwa finalitas adalah tujuan dari keberadaan objek yang memberikan rasa senang. Terkait hal ini, ada dua macam keindahan, yaitu keindahan bebas (free beauty) dan keindahan bersyarat (dependent beauty).

Keempat, rasa senang yang niscaya, di mana segala sesuatu lepas dari konsep. Terkait hal ini, segala sesuatu ditangkap sebagai objek yang memberikan rasa senang. Karena objek seni merupakan sumber kesenangan.

Daftar Pustaka:

Adian, Donny Gahral dan Akhyar Yusuf Lubis. Pengantar Filsafat Ilmu Pengetahuan: Dari David Hume Sampai Thomas Kuhn. Depok: Koekoesan, 2011.

Ali, Matius. Estetika: Pengantar Filsafat Seni. Jakarta: Sanggar Luxor, 2011.

Hardiman, F. Budi. Pemikiran Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche. Yogyakarta: Kanisius, 2019.

Hauskeller, Michael. Seni, Apa Itu? Posisi Estetika dari Platon sampai Danto. Penerj. Satya Graha dan Monika J. Wizemann. Yogyakarta: Kanisius, 2015.

Suseno, Franz Magnis. 13 Tokoh Etika: Sejak Yunani Sampai Abad ke-19. Yogyakarta: Kanisius, 2017.

Tjahjadi, Simon Petrus L. Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern. Yogyakarta: Kanisius, 2019.

2 KOMENTAR

  1. banyak terimah kasih
    tulisan ini sangat bermanfaat buat saya untuk tambah – tambah ilmu

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here