Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
Ketika Steven Weinberg (profesor sains di Universitas Texas) berada di toko buku Harvard Square, ia menemukan sebuah buku yang membahas filsafat sains (philosophy of science) dan membelinya. Namun, buku tersebut tidak banyak membantu pekerjaannya sebagai ilmuwan (scientist).
Sejumlah filsuf sains meyakini bahwa filsafat sains membantu ilmuwan dalam menunaikan tugas dan tanggung jawabnya. Namun, orang seperti L.J.J. Wittgenstein secara eksplisit menolak keyakinan tersebut. Hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa filsafat sains tidak banyak membantu ilmuwan?
Sains merupakan suatu perkiraan yang bergerak (moving target). Terkait hal ini, teori ilmiah (scientific theories) dikatakan berhasil apabila berubah seiring waktu. Bukan sekadar pandangan manusia terhadap alam semesta yang berubah. Melainkan juga pandangan seperti apa yang harus manusia miliki. Oleh karena itu, seorang filsuf tidak bisa diharapkan memberikan pemahaman yang memadai mengenai alam semesta.
Menurut Aristoteles, ilmu yang sesuai dengan alam (nature) adalah taksonomi. Meskipun ia mengetahui ilmu-ilmu kuantitatif (quantitative sciences) seperti aritmatika dan astronomi. Sehingga orang yang belajar filsafat sains harus melakukan sains, bukan sebaliknya.
Pada 1905, Albert Einstein mengemukakan teori relativitas khusus (special theory of relativity). Beberapa tahun sebelum 1905, sejumlah fisikawan menegaskan bahwa tidak mungkin menemukan efek dalam bentuk apapun pada kecepatan cahaya dari gerakan bumi melalui eter. Karena elektron yang ditemukan pada 1897 merupakan satu-satunya partikel elementer yang diketahui. Bahkan secara luas diyakini bahwa semua materi terdiri dari elektron.
Fisikawan seperti Abraham, Lorentz, dan Poincaré membahas eter serta mengembangkan teori struktur elektron. Menurut mereka, jarak tangkai pengukur dan laju jam yang terbuat dari elektron akan berubah ketika bergerak melalui eter. Sehingga tampak bahwa kecepatan cahaya tidak bergantung pada kecepatan pengamat (observer).
Einstein menggunakan prinsip relativitas sebagai hipotesis fundamental. Hal ini ditempuhnya lantaran tidak mungkin menemukan efek gerakan yang seragam pada kecepatan cahaya. Selanjutnya, Einstein membangun teori mekanika (theory of mechanics) dan diterima para cognoscenti termasuk Lorentz dalam fisika teoretis. Namun, menurut Lorentz, Einstein mengasumsikan sesuatu yang selama ini dipahami Lorentz dan yang lainnya.
Menurut Einstein, sejumlah perubahan terkait sudut pandang tidak dapat dideteksi. Sebagai bagian fundamental dari pengetahuan ilmiah (scientific knowledge), hipotesis berakar pada sains. Hal ini memerlihatkan bahwa Einstein ingin mengubah paradigma ketika menilai suatu teori. Karena dewasa ini teori didasarkan pada eksperimen yang nampak menarik (appetizing) dan menjanjikan (promising).
Standar keberhasilan ilmiah yang terus berubah mempersulit filsafat sains dan menimbulkan permasalahan terkait pemahaman publik mengenai sains. Karena tidak ada metode ilmiah yang pasti untuk dijadikan pegangan bersama dan sarana bertahan. Selain itu, kebanyakan ilmuwan kurang memiliki gagasan mengenai metode ilmiah (scientific method).
Perubahan cara menilai teori mengganggu para filsuf dan sejarawan sains. Menurut Thomas Kuhn, penting menekankan proses perubahan dalam standar ilmiah. Karena tidak ada perbandingan yang memadai antara standar sekarang dan masa lalu. Namun, Kuhn salah ketika meyakini bahwa sains tidak bergerak menuju kebenaran objektif.
David Hume menunjukkan ketidakmungkinan menggunakan argumen rasional untuk membenarkan metode ilmiah. Namun, skeptisisme semacam ini tidak ada gunanya. Karena pada dasarnya manusia tidak mengkhawatirkan apakah pengetahuannya mengenai objek umum (misalnya kursi) bersifat objektif atau dibangun secara sosial.
Fisikawan yang meyakini prinsip-prinsip relativitas, melihat bahwa suatu konstruksi tidak dapat dibuat seiring dengan berjalannya waktu. Terkait hal ini, sebagaimana dikatakan Steven Weinberg, tidak ada diskontinuitas yang relevan secara filosofis. Karena tidak ada gunanya para ilmuwan pura-pura memiliki gagasan apriori dalam metode ilmiah.
Eksperiman selalu terkait dengan pembentukan konsensus ilmiah (scientific consensus). Namun, cara yang ditempuh terkesan sangat rumit atau sulit. Terdapat sejumlah alasan yang mendasarinya. Pertama, relasi antara teori dan eksperimen pada dasarnya rumit. Hal ini terjadi bukan karena teori ada lebih dahulu dan kemudian eksperimentalis atau seorang ahli yang menegaskannya. Teori dan eksperimen seringkali berjalan secara bersama, saling memengaruhi.
Sesuatu yang seringkali diabaikan jurnalis dan sejarawan sains yaitu terkait dua tingkatan teori. Dua tingkatan teori tersebut mencakup gagasan umum (general ideas) dan realisai spesifik serta konkret dari gagasan. Gagasan umum merupakan kerangka kerja untuk suatu teori tertentu. Misalnya teori evolusi melalui seleksi alam yang meninggalkan pertanyaan mengenai mekanisme hereditas.
Gagasan umum sulit diuji lantaran dengan sendirinya tidak mengarah pada prediksi yang spesifik. Hal ini membuat Karl Popper menyimpulkan bahwa gagasan umum tidak dapat dipalsukan (falsified). Oleh karena itu, gagasan umum tidak dapat dianggap benar-benar ilmiah.
Realisai spesifik dan konkret dari gagasan merupakan teori yang bisa diuji dengan eksperimen serta bisa dipalsukan. Namun, pada periode 1970, sebagian besar ahli teori meyakini bahwa gagasan umum bukan realisasi spesifik dan konkret. Terkait hal ini, para eksperimentalis harus membuktikan bahwa sejumlah teori tertentu sudah dibandingkan sebelum menjadi bagian dari konsensus ilmiah.
Kedua, karena prosesnya merupakan proses sosial, sehingga produk akhirnya berupa konstruksi sosial belaka. Selain itu, lingkungan sosial penelitian fisika tidak dijelaskan dengan baik oleh para komentator postmodern. Terkait hal ini, ilmu eksakta (exact sciences) menunjukkan ketahan luar biasa ketika berhadapan dengan berbagai macam pengaruh hegemonik.
Pengaruh dominan dalam sejarah sains adalah pendekatan terhadap realitas objektif. Untuk menegaskan validitas objektif dari sesuatu yang telah dilakukan, para ilmuwan melindungi statusnya sendiri. Menurut Steven Weinberg, komentar konstruktivis sosial dan postmodernis mengenai sains dimotivasi oleh keinginan untuk meningkatkan status komentator. Sehingga komentator tidak dilihat sekadar sebagai tambahan untuk sains. Melainkan sebagai peneliti independen dan unggul.
Paul Forman menggambarkan sejarawan sains sebagai orang yang sibuk dengan kebebasan mereka dari sains. Ia menekankan tingkat kemandirian yang penting untuk pekerjaan mereka sebagai sejarawan. Selain itu, ia menginginkan supaya sejarawan membuat penilaian independen. Tidak hanya mengenai bagaimana suatu kemajuan dikerjakan. Melainkan juga mengenai apakah kemajuan tersebut telah dicapai.
Steven Weinberg menegaskan bahwa sains merupakan model yang baik untuk aktivitas intelektual (intellectual activity). Ia juga meyakini kebenaran objektif yang dapat diketahui. Namun, pada saat yang sama bersedia mempertimbangkan kembali sesuatu yang telah diterima sebelumnya. Hal ini bukan sesuatu yang buruk untuk kehidupan intelektual (intellectual life).
Sumber Bacaan:
Weinberg, Steven. “The Methods of Science… And Those by Which We Live.” Academic Questions (1995), hlm. 7-13.
Mksh bnyk illmunya Frater…❤️
Lahh kok gue gak setujuh yah… Ntar gue kritik nih tulisan melalui tulisan juga disitus https://www.pikirankita.site/