Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM

Sains harus dilihat secara eksplisit sebagai pengetahuan instrumental yang tidak mempunyai makna religius atau metafisik. Keyakinan tersebut berguna bagi sains, agama, dan otoritas negara. Pada abad XVII, sains menjadi sistem penjelas yang signifikan dan dapat dipegang serta dipertahankan oleh otoritas tradisional, yaitu kelompok agama dan kelompok sekuler.

Sains mengajarkan bahwa bukan melalui wahyu (revelation) kebenaran diketahui, melainkan melalui pengalaman (experience) dan akal budi (reason). Meskipun sains memerlihatkan bahwa dirinya menjunjung tinggi netralitas (neutrality), pada dasarnya sains menjadi pendukung utama sekularisme di dalam tatanan sosial.

Pemisahan tegas antara sains dan agama dapat dilacak pada abad XIX. Terkait hal ini, meningkatnya popularitas filsafat materialis (ilmiah dan politik) dan kemajuan sains menciptakan jurang pemisah antara yang profan (the profane) serta yang sakral (the sacred).

Mengemukanya teori evolusi Darwin menjadi simbol pertempuran (battle) antara sains dan agama. Perlu diketaui bahwa sains terkait dengan modernisasi. Dengan kata lain, sains merupakan pengetahuan ilmiah yang berperan meningkatkan domain penjelas dan epistemologi melalui tatanan tindakan, ekonomi, politik, dan sosial.

Menurut Francis Bacon, Allah menulis dua buku, yaitu Firman (Word) atau Kitab Suci (Bible) dan Kitab Alam (Book of Nature). Kitab Alam merupakan karya Allah yang ditampilkan di bumi. Oleh karena itu, kehendak Allah dapat diketahui melalui studi mengenai Firman dan memeriksa struktur produksi duniawi yang dihasilkan-Nya. Sedangkan menurut John Ray, Allah merupakan pencipta hukum alam. Sehingga alam dipandang sebagai hasil dari rancangan Allah.

Sebagaimana ditegaskan Robert K. Merton, terjadi tumpang tindih di dalam struktur nilai keagamaan Puritan dan praktek ilmiah. Hal ini sejalan dengan gagasan Max Weber mengenai relasi antara Protestan dan munculnya kapitalisme. Menurut para fundamentalis, komitmen beragama menjadi penghalang untuk terlibat di dalam dinamika sains.

Perlu diketahui bahwa pada abad XIX sejumlah cendekiawan berhasil menunjukkan relasi antara agama dan sains. Namun, pada abad XX, jarang ditemukan cendekiawan yang mengintegrasikan antara kehidupan profesional dan tindakan keagamaan.

Sumber Bacaan:

Mendelsohn, Everett. “Religious Fundamentalism and the Sciences.” Dalam Martin E. Marty dan R. Scott Appleby. Fundamentalism and Society: Reclaiming the Sciences, the Family, and Education. Chicago: The University of Chicago Press, 1993, hlm. 23-41.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

eight − 7 =