Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM

Sains dan akal budi merupakan cara kerja yang dapat diandalkan untuk sampai pada keyakinan atau kebenaran sejati (true belief). Selain itu, sains mempunyai rekam jejak yang bagus dalam mengungkap kebohongan (falsehoods) dan kebenaran (truth).

Sains menempuhnya dengan menggunakan penalaran induktif. Namun, para humanis yang menyatakan bahwa sains dan akal budi dapat diandalkan untuk memeroleh keyakinan atau kebenaran sejati masih bisa diperdebatkan.

Orang-orang yang menjunjung tinggi agama dapat bertanya demikian kepada para penganut sains dan akal budi, bukankah sains dan akal budi merupakan posisi iman? Karena setiap aliran keyakinan yang dianut (sains, akal budi, dan agama) didasarkan pada iman, mengimaninya.

Keyakinan agama tidak kurang masuk akal apabila dibandingkan dengan keyakinan sains dan akal budi. Pertanyaan tersebut dilontarkan dalam rangka membawa agama dan sains sampai pada tataran irasionalitas serta rasionalitas yang sama.

Jika ramalan (prophecy) agama yang didasarkan pada Kitab Suci tidak selaras dengan data atau bukti, maka orang-orang beragama harus menafsirkan ulang pandangan yang diyakini kebenarannya. Oleh karena itu, kisah penciptaan sebagaimana dilukiskan dalam kitab Kejadian seharusnya tidak dibaca secara harafiah.

Kisah penciptaan mempunyai nilai dan makna yang tepat apabila ditafsirkan ulang. Terkait hal ini, suatu teori dapat dikonfirmasi dengan cara membuat prediksi. Membuat prediksi dimaksudkan untuk memberikan penjelasan.

Sumber Bacaan:

Law, Stephen. “Science, Reason, and Scepticism.” Dalam Andrew Capson dan A.C. Grayling (editor). The Wiley Blackwell Handbook of Humanism. Chichester: John Wiley & Sons, 2015, hlm. 55-71.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

seventeen − fourteen =