Marciano A. Soares OFM
Pengatar
Tulisan singkat ini akan menguraikan pokok pemikiran Paus Emeritus Benediktus XVI mengenai ekologi perdamaian. Ekologi perdamaian menekan pada ecology of nature atau ekologi kodrati, yang dapat disebut dengan ekologi “manusia” (Human ecology) yang menghendaki ekologis “sosial” (social ecology). Konsep ekologi ini bertumpu pada manusia sebagai makhluk relasional; bahwa pada satu sisi manusia berelasi dengan alam yang merupakan pemberian dari Allah, tetapi juga berelasi dengan diri dan sesamanya. Dalam relasi timbal balik inilah setiap insan manusia berkolaborasi dalam menciptakan Sebuah ekologi yang damai.
Korelasi Antara Ekologi Manusia dan Ekologi Sosial
Benedikatus XVI mengutip Centecimus Annus (seterusnya CA) untuk mengawali konsep pemikirannya mengenai ekologi perdamian. Dalam CA no. 38 dikatakan, “Bukan saja Allah mengurniakan bumi kepada manusia, yang harus mengolahnya dengan mematuhi tujuan semula, mengapa bumi itu dianugerahkan sebagai harta kepadanya. Akan tetapi oleh Allah manusia juga dikurniakan kepada dirinya sendiri. Maka manusia wajib juga menghormati struktur kodrati dan moril yang diterimanya dari Allah (CA. 38).” Dalam terang ensiklik ini, kita dapat mengatakan bahwa setiap pria dan wanita dipercayakan tanggung jawab yang begitu besar (atau dipanggil) untuk mewujudkan dunia yang damai. Perwujudan dunia yang damai itu tidak terlepas dari ekologi kodrati/alam. Bersamaan dengan ekologi alam, hadi apa yang kita sebut degan ekologi “manusia”, yang pada gilirannya menuntut ekologi “sosial”.
Artinya, ketika manusia mengehendaki atau sungguh-sungguh menginginkan perdamaian, ia harus semakin sadar akan hubungan antara ekologi alam, atau penghormatan terhadap alam, dan ekologi manusia. Pengalaman menunjukkan bahwa pengabaian terhadap lingkungan selalu merugikan hidup berdampingan manusia, dan sebaliknya. Itu artinya semakin jelas bagi kita bahwa ada hubungan yang tidak terpisahkan antara perdamaian dengan penciptaan dan perdamaian di antara manusia. Keduanya mengandaikan perdamaian dengan Tuhan. Doa-doa Santo Fransiskus, yang dikenal sebagai “The Canticle of Brother Sun atau Kidung Saudara Matahari/Gita Sang Suria” adalah contoh yang luar biasa dan tepat waktu dari ekologi perdamaian yang beragam ini.
Benediktus XVI mengatakan, “Hubungan yang erat antara kedua ekologi ini dapat dipahami dari semakin seriusnya masalah pasokan energi.” Lebih lanjut, ia mengatakan dalam beberapa tahun terakhir, negara-negara baru telah dengan antusias memasuki produksi industri, sehingga meningkatkan kebutuhan energi yang sangat besar. Hal ini menyebabkan perlombaan pemasokan enrgi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sementara itu, beberapa bagian dari planet ini tetap terbelakang dan pembangunan terhambat secara efektif, sebagian lagi karena kenaikan harga energi.
Berhadapan dengan realita ini, Paus Emeritus ini mengajukan beberapa pertanyaa berikut. Apa yang akan terjadi pada orang-orang itu? Pengembangan apa yang akan dikenakan pada mereka karena kelangkaan pasokan energi? Ketidakadilan dan konflik apa yang akan dipicu oleh perlombaan untuk sumber energi? Dan apa yang akan menjadi reaksi dari mereka yang dikecualikan dari ras ini? Ini adalah pertanyaan yang menunjukkan bagaimana rasa hormat terhadap alam terkait erat dengan kebutuhan untuk membangun, antara individu dan antar bangsa, hubungan yang memperhatikan martabat orang tersebut dan mampu memuaskan kebutuhan otentiknya.
Bendiktus XVI mengatakan bahwa penghancuran lingkungan, penggunaannya yang tidak tepat atau egois, dan penimbunan sumber daya bumi yang kejam menyebabkan keluhan, konflik, dan perang, justru karena itu adalah konsekuensi dari konsep pembangunan yang tidak manusiawi. Memang, jika pembangunan terbatas pada aspek teknis-ekonomi, mengaburkan dimensi moral-religius, itu tidak akan menjadi pembangunan manusia yang integral, tetapi distorsi satu sisi yang akan berakhir dengan melepaskan kapasitas destruktif manusia.
Pereduksian Terhadap Visi Manusia
Berhadapan dengan realitas yang timpang ini, Paus kebangsaan Zerman ini mengatakan, “Jadi ada kebutuhan mendesak, bahkan dalam kerangka saat ini kesulitan dan ketegangan internasional, untuk komitmen pada ekologi manusia yang dapat mendukung pertumbuhan “pohon perdamaian.”” Ia mengegaskan bahwa agar hal ini terjadi, kita harus dibimbing oleh visi tentang orang yang tidak ternodai oleh prasangka ideologis dan budaya atau oleh kepentingan politik dan ekonomi yang dapat menanamkan kebencian dan kekerasan. Dapat dipahami bahwa visi manusia akan berbeda dari satu budaya ke budaya lainnya. Namun yang tidak bisa diterima adalah penanaman konsepsi antropologis yang mengandung benih permusuhan dan kekerasan. Selain itu, konsep yang tidak dapat diterima adalah konsepsi Tuhan yang akan mendorong intoleransi dan jalan kekerasan terhadap orang lain. Ini adalah poin yang harus ditegaskan kembali dengan jelas: Perang atas nama Tuhan tidak pernah dapat diterima! Ketika ada gagasan tertentu tentang Tuhan adalah asal mula tindakan kriminal, itu adalah tanda bahwa gagasan itu sudah menjadi ideologi.
Paus Emeritus itu mengatakan bahwa dewasa ini, perdamaian tidak hanya terancam oleh konflik antara visi reduktif tentang manusia, atau dengan kata lain, antara ideologi. Tetapi juga terancam karena ketidakpedulian manusia akan kodrat hakiki manusia. Artinya ketidakpeduliaan akan manusia sebagai citra Allah yang selalu relasional. Banyak orang zaman ini yang benar-benar menyangkal keberadaan sifat hakiki manusia. Penyangkalan ini membuka pintu bagi interpretasi yang paling berlembihan tentang apa yang pada dasarnya membentuk manusia. Di sini juga diperlukan kejelasan: visi “lemah” dari manusia yang akan meninggalkan ruang untuk setiap konsepsi, bahkan yang paling aneh, hanya nampaknya mendukung perdamaian. Pada kenyataannya, ini menghambat dialog otentik dan membuka jalan bagi penyimpangan otoriter, yang pada akhirnya membuat orang tidak berdaya dan, sebagai akibatnya, mudah menjadi mangsa penindasan dan kekerasan.
Kesimpulan
Benediktus XVI membayangkan suatu ekologi manusia pada hakikatnya adalah relasional. Dalam relasionalitas itu, maka manusia tidak terlepas dari yang lain dan relasinya dengan alam. Dalam kerangka inilah ia berbicara mengenai ekologi social. Relasi harimnis antara manusia dengan alam, sesaman dan penciptanya itulah yang dapat memungkinkan sebuah ekologi perdamian. Akan tetapi, realitas dunia saat ini menunjukkan sebaliknya karena konsep yang keliru akan kodrat hakiki manusia sebagai makhluk sosial. Manusia lebih ditekankan sebagai individu yang melulu terfokus pada dirinya dan merasa dapat melakukan segalanya. Kesadaran manusia ini membawa malapetaka bagi alam dan sesama.
Selain itu, pembangunan yang tidak merata menciptakan ketidakadilan antar bangsa. Ada bangsa-bangsa tertentu menjadi pemasok energi terbesar hanya untuk mendukung pembangunan bangsa-bangsa yang maju, sementara bangsa lain melarat dan alamnya semakin rusak. Mungkin di Indonesia misalya, ada daerah tertentu yang memasok energy batubara untuk daerah lain sementara daerah itu sendiri tertinggal dan alamnya semakin rusak serta masyarakat local tercerabut dari pekerjaan mereka sebagai petani. Dalam rangka inilah Paus Emeritus Benediktus XVI berbicara mengenai ekologi perdamaian. Sebuah ekologi yang memungkikan relasi harmonis antara manusia, alam dan penciptanya, tanpa mendiskreditkan satupun.