Fransiskus Momang
- Pendahuluan
Ketika konsili vatikan pertama runtuh Gereja Katolik membuka babak baru dalam petualangan misinya di tengah dunia. Keruntuhan konsili vatikan pertama menjadi titik awal adanya konsili vatikan kedua. Konsili vatikan kedua, Gereja membaharui diri seradikal mungkin dan berbalik pada keselamatan yang bersifat universal dan turun dari “tahkta” untuk membela harkat dan martabat manusiawi. Tujuan misi Konsili vatikan kedua bukan lagi terarah “keselamatan jiwa” dan “penambahan anggota Gereja” sebagaimana dalam konsili vatikan pertama, tetapi lebih pada membela maratabat manusiawi yang dilecehkan oleh kekuatan irrasionaltas manusia moderen. Gereja dipanggil untuk mendengar ratapan para korban akibat gempuran modernitas yang kerapkali melanggar rambu-rambu nilai kemanusiaan.
Tulisan ini merupakan sebuah upaya filosofis membaca kembali pemikiran Emanuel Levinas tentang tanggungjawab yang lain dan relevansinya dengan misi Gereja Katolik di tengah dunia dewasa ini. Bhawasanya yang lain bagi Emanuel Levinas merupakan yang telanjang, janda dan yatim piatu. Mereka(telanjang, janda dan yatim piatu)ialah orang-orang yang tidak memiliki apa-apa. Ratapan dan tangisan mereka menutut respon yang baik dari kita dengan penuh belas kasih melalui sikap tanggungjawab secara totalitas. Demikian halnya misi utama Gereja yakni mendengar ratapan para kaum lemah dan mengangkat martabat manusiawi mereka. Memasuki konsili vatikan kedua Gereja memiliki keperhatian sosial. Geraja terlibat dan turun ke realitas hidup manusia. Gereja memiliki tanggungjawab untuk memperjuangkan nilai kemanusiaan. Ini merupakan tanggungjawab utama Gereja dewasa ini sebagai misi Allah di tengah dunia. Sebab yang lain merupakan manifestasi diri Allah.
- Gagasan Emanuel Levinas Tentang Yang Lain
Emmanuel Levinas[1] adalah seorang pemikir postmodern yang cukup terkenal pada abad ke-20 khususnya dalam bidang etika. Ia keturunan Yahudi, sehingga pemikiranya dipengaruhi kehidupan orang-orang yahudi. Pemikirannya sangat menyentuh unsur-unsur esensial dari kehidupan manusia. Walaupun konsep etikanya bercorak metafisik, tetapi pemikirannya tentang etika, khususnya konsep tanggung jawab[2] akan yang lain sangat menyentuh realitas kehidupan manusia. Kehadiran yang lain merupakan sebuah tuntutan untuk bertanggungjawab secara totalitas.
Konsep Emanuel Levinas tentang yang lain merupakan sebuah respon tanggungjawab etis terhadap pelbagai kompleksitas kehidupan pada era moderen. Bahwasanya yang lain merupakan objek analsis, diskursus dan penelitian. Hal ini dipengaruhi bangunan filsafat moderen yang sangat ego, yakni titik sentral segala sesuatu ialah aku. Hal ini terlihat dalam pemikiran Rene Descartes (cogito ergo sum). Konsep Rene Descartes merupakan cermianan filsafat totalitas. Filsafat totalitas cenderung melihat diri (aku) sebagai titik awal dalam memahami realitas. Konsekuensi logis filsafat totalitas ialah pengobjekan akan yang lain.
Levinas dalam merumuskan tentang yang lain memiliki rumusan tersendiri dan menarik garis demarkasi yang jelas. Dia yang lain menurut Levinas ialah yang bukan aku. Untuk memahami yang lain, aku tidak memulai dari diriku, karena memulai dari diriku berarti memulai dari dunia pemahaman, prespsi, cara berpikir dan tindakanku. Itu berarti mulai dari totalitas kebenaran yang saya miliki. Jalan yang baik untuk memahami yang lain ialah memulai dari yang lain itu, dari dunianya, yaitu dari keberlainann itu sendiri. Dunianya ialah keberlainannya.[3] Levinas dalam rangka memahami yang lain memproposalkan untuk bertolak dari yang lain dan keberlainannya. Upaya ini merupakan metode untuk meruntuhkan filsafat totalitas yang melihat yang lain sebagai objek diskrusus dan analisis. Emanuel levinas menegaskan:
while I might be able to grasp and fully comprehend an object, I should not do so with another person because in doing so I would reduce the other precisely to an object I can grasp and manipulate.[4]
Hal yang mau ditegaskan Levinas ialah kekonsistensiana pada bangunan filsafatnya tentang yang lain. Levinas di sini sejatinya memiliki pemahaman yang cukup mendalam dan komprehensif mengenai “objek”, tetapi itu tidak digunakan untuk mereduksi yang lain. ketika ia merdekusi yang lain sebagai “objek” maka di sana ada manipulasi.
- Yang Lain Datang Sebagai Wajah
Emanuel Levinas mengklaim bahwa yang lain datang kepada saya sebagai wajah. Saya tidak melihat namun, mendegarkanya (The other comes to me, Lévinas claims, as the “face.” I do not “see” the face, but hear it).[5] Wajah dalam Emannuel levinas bukanlah dalam bentu fisik yang bisa disentuh atau diraba, melainkan kepekaan untuk mendengar. Wajah dalam hal ini merupakan menghadirkan aspek transendensi. Wajah adalah bagian dari ketakberhingaan itu. Penyingkapan dari yang tak berhingga dalam bentuk wajah terjadi secara langsung tanpa mediasi. Penyingkapan wajah itu polos. Terminologi polos ini dikaitkan dengan apa yang disebut ketelanjangan (la nudite). Suatu ketelanjangan atau kepolosan biasanya tidak mempunyai referensi pada suatu sistem.[6] Ketelanjangan merupakan menunjukan kemiskinan yang hakiki.
Yang lain merupakan mereka yang telanjang, anak yatim, janda dan orang asing. Ini merupakan memwakili kaum lemah dalam kehidupan masyarakat secara luas. Yang lain merupakan para kaum lemah yang seringkali tidak dihargai bahkan martabatnya dilecehkan. Para kaum lemah ini datang sebagai wajah. Levinas ingin menegaskan setiap ekpresi wajah mengandung suatu pesan yang kuat inviolable. Tatapan matanya yang langsung, ketelanjanagan dan kemiskinannya berbicara tentang suatu penolakan. Penolakan paling kuat ialah jangan membunuh.[7] Jangan mmbunuh merupakan sebuah perintah etis untuk menghargai martabat manuisa.
- Tanggungjawab Yang Lain
Tanggungjawab yang lain merupakan hal yang paling substansial dalam sejarah pemikiran Emanuel Levinas. Ia coba menunjukan bahwa manusia dalam segala penghayatan dan segala sikapnya didorong oleh sebuah implus etis yakni tanggungjawab terhadap sesama. Kenyataan paling mendasar ialah perjumpaan dengan sesorang yang menampakan wajah dan mengundang saya untuk bertanggungjawab.[8] Penampakan yang lain mengugugat tanggungjawab serentak merobohkan sikap egoisme yang diwariskan filsafat moderen. Kehadiran yang lain menuntut kita untuk turun tahkta dan bertanggungjawab terhadap yang lain. Berkaitan dengan tanggungjawab ini, levinas menulis:
I have a responsibility even for the other’s responsibility, that in some way I become “hostage” to the other by “substituting” for the other, taking the other’s place[9]
Penegasan levinas ini menenjukan sebuah pemberian diri secara total dan seradikal mungkin untuk bertanggungjawab terhadap yang lain sebagai kaum lemah di tengah mayarakat. Levinas berkomitmen untuk bertanggungjawab atas penderitaan yang lain. Keberadaan yang lain mentuntut tanggungjawab hakiki. Sebab yang lain tidak memiiki segalanya selain kemiskinan dan penderitaan. Tanggungjawab yang lain merupakan sebuah tindakan etis untuk mengangkat martabat manusia yang dilecehkan. Yang lain datang dalam bentuk wajah merupakan manifestasi hal yang transenden atau ketakberhinggaan. Dengan itu levinas tidak berbicara tentang wajah secara fisik yang bisa dilihat, tetapi lebih merupakan sebuah kepekaan indara pendengaran. Hal yang dituntut di sini ialah mendengar tangisan penderitaan kaum lemah dan turun takhta berani bertanggungjawab atas penderitaan tersebut.
Objek Sasaran Misi Gereja di Tengah Dunia
Objek sasaran sosial Gereja bukan hanya keselamatan jiwa, tetapi juga memperjuangkan harkat dan martabat manusiawi. Misi Gerjeja di tengah dunia ialah memperjuangkan nilai kemanusiaan. Pada empat dekade terakhir, banyak kalau bukan sebagaian besar misiolog menolak pandangan yang telah lama dianut bahwa tujuan misi adalah “keselamatan jiwa” dan penamaan Gereja”. Keselamatan jiwa cenderung mengevaluasi keselamatan, meremehkan aspek lain misi Gereja, seperti inkulturasi, dialog lintas agama dan pembebasan.[10] Dengan itu misi Gereja yang berorinetasi pada keselamatan jiwa dan penambahan anggota Gereja merupakan bertentangan misi Allah yang membebaskan.
Memasuki konsili vatikan kedua Gereja memiliki keperhatian sosial. Geraja terlibat dan turun ke realitas hidup manusia. Gereja memiliki tanggungjawab untuk memperjuangkan nilai kemanusiaan. Akhir-akhir ini ada perubahan ke arah usaha untuk mencabut akar kemiskinan, bukan lagi hanya meringankan gejala-gejala amal bakti. Pada dasarnya ada tiga pola pendekatan terhadap persoalaan sosial itu di dalam Gereja. Pertama, karya amal. Pendekatan itu memperlihatkan rasa belas kasih kepada orang miskin dan berusaha memberikan derma dari kelebihan kekayaan yang dimiliki orang yang berada guna meringankan penderitaan orang miskin. Kedua, pembagunan. Pendekatan ini memandang orang miskin sebagai kelompok yang ketinggalan dalam perkembagnan zaman. Kedua, pembebasan. Pendekatan ini memandang orang miskin dari korban struktur sosial dan ekonomi yang tidak adil, yang menguntungkan kelompok kuat dan berkuasa sambil merugikan mereka yang lemah dan tidak bisa menang dalam persaingan.[11]
Ketiga pendekatan Gereja di atas merupakan sebagai reaksi atas tanggungjawab Gereja terhadap masalah-masakah sosial dewasa ini. Misi Gereja di tengah dunia dewasa ini ialah mengangkat martabat manusiawi, memperjuangkan misi kemanusiaan yang dilecehkan oleh serangan kapitalisme dan neoliberalisme yang sangat agresf.
- Emanuel Levinas: Tanggungjawab Yang Lain dan Misi Gereja di Tengah Dunia
Tanggungjawab yang lain dalam kerangka berpikir Emanuel Levinas memiliki kaitan yang cukup erat dengan misi Gereja. Bhawasanya misi Gereja ialah membela dan membebaskan orang-orang lemah, miskin dan menderita. Orang-orang lemah, miskin dan menderita dalam bahasa Emanuel Levinas sebagai wajah (The other comes to me, Levinas claims, as the face). Gagasan Emanuel Levinas mengenai tanggungjawab etis terhadap yang lain memiliki relevansi yang cukup erat dengan misi Gereja di tengah dewasa ini. Pertama, mengangkat martabat manusiawi. Memperjuangkan martabat manusiawi merupakan misi dasar gagasan yang lain dari Emanuel Levinas dan misi Gereja. Keduanya merupakan respon atas situasi manusia yang dijadikan sebagai objek, bahan komoditi dan lain sebagainya. Kedua, menunjukan kasih Allah yang setia. Levinas tidak menyebutkan nama Tuhan dalam petualangan intelektualnya, tetapi pemikirannya sangat teologis, khususnya dalam konsepnya tentang yang lain sebagai kaum lemah. Tanggungjawab yang lain datang sebagai wajah merupakan sepadan dengan misi Allah di tengah dunia. Misi Gereja di dunia untuk menunjukan kasih Allah yang setia. Misi Gereja dalam tanggungjawab yang lain merupakan cerminan kasih Allah yang tak terbatas kepada manusia. Sebab Allah telah mendahului menunjukan kasihNya kepada manusia. Tindakan kasih Allah yang konkret ini terlihat dalam pengurbanan Yesus di kayu salib. Yesus menggantikan penderitaan manusia yang berdosa. Yesus bertanggungjawab secara radikal terhadap penderitaan orang berdosa. Tangungjawab secara radikal terhadap kaum lemah ini merupakan proyek Levinas yang mau dicapai. Levinas speaks of the ethical encounter now as a kind of substitution, where I take the place of the other even to the point of the death.[12] Komitmen ini menunjukan kesediaan tanggungjawab terhadap yang lain. Levinas menganjurkan agar kita menggantikan penderitaan yang lain. Gagasan persuasif ini merupakan setara dengan misi Gereja. Gereja harus mengantikan penderitaan yang lain sebagaimana yang ditunjukan Yesus. Ketiga, berpihak pada orang lemah. Gagasan Levinas dan misi gereja jelas sekali berada di posisi kaum lemah. Sebab yang lain merupakan yang telanjang, janda dan yatim. Mereka tidak mempunyai pembela. Mereka telanjang dan datang sebagai wajah. Di sini misi Gereja yang paling utama ialah membela kaum lemah.
Ketiga hal di atas meruapakan sebuah misi kemanusiaan antara konsep levinas tentang tanggungjawab yang lain dan misi Gereja dewasa ini. Konsep levinas tentang yang lain juga memilki sumbangsih terhadap misi Gereja di tengah dunia dewasa ini, yakni Gereja terus membuka diri dan tiada henti menyurakan suara yang tidak sanggup bersuara, yakni kaum lemah, tertindas dan orang miskin.
- Penutup
Konsep Emanuel Levinas tentang tanggungjawab yang lain merupakan sangat relevan dengan misi Gereja di tengah dunia dewasa ini. Yang lain datang sebagai wajah dalam bentuk telanjang. Ketelanjangan menunjukan kepolosan, kesederhanan dan kelemahan yang hakiki. Berhadapan dengan wajah merupakan mengguggah tanggungjawab etis terhadap yang lain.
Tanggungjawab yang lain ini merupakan misi Gereja. Misi Gereja ialah tanggungjawab terhadap orang-orang lemah, mengangkat harkat dan martabat manusiawi. Memperjuangkan nilai kemanusiaan misi Gereja yang paling hakiki.
Daftar pustaka
Baghi, Feliks. Alteritas, pengakuan, hospitalitas, persahabatan, etika politik dan postmodernisme. Maumere: Penerbit Ledalero, 2012.
C phan, Peter. Memperjuangkan misi Allah di Tengah dunia dewasa ini. Ende: Nusa Indah, 2004.
Kirchberger, Georg. Allah Menggugat, Sebuah Dogmatik Kristiani. Maumere: Penerbit Ledalero, 2007.
M christina, Gschwandtner. Postmodern Apologetics? Argument for God in Contemporary Philosophy. New york: Fordham University Press, 2013.
Sobon, Kosmos. “Konsep Tanggungjawab dalam Filsafat Emanuel Levinas”, Jurnal Filsafat, 28:1, Febuari 2018.
[1] Emmanuel Levinas adalah filsuf postmodernisme asal Prancis yang mengimbau agar filsafat harus memberi perioritas pada etika sebagai filsafat pertama-Ethique comme philosophie premiere. Afirmasi ini tentu bertujuan untuk merevisi pengertian klasik tentang filsafat yang selalu dilihat sebagai theoria permenungan abstrak terhadap cinta akan kebijaksanaan. Kini tiba saatnya filsafat mengarah pada praksis dan harus menerjemahkan dirinya secara baru sebagai kebijaksanaan dalam mencintai. Kebijaksanaan dalam mencintai adalah insprasi dalam setiap tindakan etis untuk bertanggungjawab akan yang lain. Felix Baghi, Alteritas, Pengakuan, Hospitalitas, Persahabatan, Etika Politik dan Postmoderenisme (Maumere: Ledalero, 2012)., hlm. 14.
[2] Kosmas Sobon, “Konsep tanggungjawab dalam filsafat emanuel levinas”, dalam Jurnal Filsafat, 28:1( Manado: Febuari 2018), hlm. 48.
[3] Dikutip dalam Felix Baghi , Alteritas, Pengakuan, Hospitalitas, Persahabatan, Etika Politik dan Postmoderenisme (Maumere: Ledalero, 2012), hlm. 23.
[4] Christina M. Gschwandtner, Postmodern Apologetics?Argument for God in Contemporary Philosophy, ed Jhon D Caputo (New York: Fordham University Press, 2013), hlm. 43.
[5] Ibid., hlm. 44.
[6] Felix Baghi (ed).,op. cit., hlm. 32-33.
[7] Ibid., hlm. 67.
[8] Kosmas Sobon., op. Cit., hlm. 63
[9] Christina M. Gschwandtner., op. Cit., hlm. 45.
[10] Peter C. Phan, Memperjuangkan Misi Allah di Tengah Dunia Dewasa Ini ( Ende: Nusa Indah, 2004)., hlm. 11.
[11] Georg Kirchberger, Allah Menggugat, Sebuah Dogmatik Kristiani ( Maumere: Penerbit Ledalero, 2007), hlm. 744-745.
[12] Christina M. Gschwandtner., op.Cit., hlm. 47.