Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
Menurut Herbert Marcuse (1898-1979), logika kapitalisme dipaksakan melalui budaya periklanan, pemasaran, dan hiburan. Kapitalisme beroperasi pada tataran yang tidak disadari (unconscious level) . Hal ini disebut sebagai desublimasi represif (repressive desublimation).
Berdasarkan sistem kapitalisme, masyarakat terlibat dalam lanskap komoditas dan upah serta harga dan keuntungan. Akibatnya, masyarakat merasa puas ketika selera (appetites) dan keinginan (desires) diatur serta dikendalikan.
Sebagaimana ditegaskan Marcuse, budaya modern pada dasarnya bersifat represif. Dalam upaya mengatasi persoalan tersebut, Marcuse membuka perspektif baru dalam teori sosial kritis dengan mengacu pada psikoanalisis Sigmund Freud (1856-1939).
Marcuse melihat kapitalisme merambah ke dalam pengalaman hidup dan subjektivitas pribadi manusia. Kapitalisme mengejawantah dalam rupa mekanisasi dan standarisasi teknologi yang tertanam di dalam identitas manusia.
Pada 1950 masyarakat Amerika masuk kategori paling kaya dan maju dalam bidang industri. Namun, kemakmuran ekonomi tersebut bertolak belakang dengan kehidupan masyarakat yang dibatasi (constrained), terutama terkait aspek emosional dan relasi interpersonal (interpersonal relationship).
Marcuse memerlihatkan represi yang dialami masyarakat kontemporer dalam bentuk penindasan terus meningkat. Selain itu, kehidupan masyarakat diwarnai harga (prices) dan keuntungan (profits) serta uang (money) dan korporasi monopoli (monopolistic corporations).
Marcuse membedakan dua macam represi, yaitu represi dasar (basic repression) dan represi surplus (surplus repression). Represi dasar mengacu pada penolakan menghadapi kehidupan sosial dan tugas-tugas budaya.
Sebagaimana dikatakan Marcuse, penindasan diperlukan dalam rangka mengaktualisasikan sosialisasi dan tatanan sosial yang efektif. Terkait hal ini, represi surplus mengacu pada intensifikasi pengekangan diri (self-restraint) yang disebabkan oleh eksploitasi kapitalis dan relasi kekuasaan yang asimetris.
Marcuse meyakini bahwa represi merupakan hasil dari prinsip kinerja (performance principle), di mana tuntutan sosial budaya tertentu dilembagakan oleh tatanan ekonomi kapitalisme. Prinsip kinerja kapitalis tersebut membuat manusia memandang yang lain sebagai benda (things) atau objek (objects).
Pada abad XX, kehidupan pribadi dan sosial manusia ditarik menuju dua arah dalam waktu bersamaan. Hal ini melatarbelakangi munculnya masyarakat industri maju. Selain itu, perjumpaan manusia dengan budaya menjadi lebih dekat, kompleks, dan halus.
Pada era konsumerisme massa dan budaya populer, tatanan sosial baru membatasi individualitas, perbedaan pendapat, dan oposisi. Selain itu, kapitalisme maju menghasilkan masyarakat satu dimensi (one-dimentional society), di mana kebutuhan masyarakat sebagai konsumen bersifat palsu (false).
Manusia diintegrasikan ke dalam sistem dominasi massa dan ketidaksetaraan sosial. Dengan kata lain, ciri menonjol dunia modern adalah kesesuaian (conformity). Akibatnya, desublimasi yang merajalela dalam masyarakat industri maju memerlihatkan fungsi konformisnya.
Sebagaimana ditunjukkan Marcuse, prinsip kinerja menghasilkan budaya yang diperlukan untuk transformasi masyarakat. Sedangkan represi surplus menghasilkan kemajuan teknologi industri.
Kemakmuran materi yang dihasilkan industrialisasi kapitalis Barat dan ilmu teknologi membuka jalan bagi terurainya represi. Terkait hal ini, tindakan mengatasi dominasi budaya berdampak pada lepasnya kekuatan bawah sadar manusia yang tertekan.
Rekonsiliasi antara budaya dan alam bawah sadar mengantar manusia pada realitas baru yang sensual. Sebuah realitas yang disebut Marcuse sebagai rasionalitas libidinal (libidinal rationality). Rasionalitas libidinal pada hakikatnya bersifat abstrak.
Sebagai sebuah konsep, rasionalitas libidinal memungkinkan pembalikan radikal dari surplus represi. Rasionalitas libidinal dapat diartikan sebagai pendorong komunikasi emosional (emotional communication) dan keintiman (intimacy).
Sumber Bacaan:
Lemert, Charles C. dan Anthony Elliott. Introduction to Contemporary Social Theory. New York: Routledge, 2014.