Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
Jürgen Habermas meyakini asumsi dasar pencerahan (enlightenment) yang terkait dengan kebebasan (freedom) dan solidaritas (solidarity) mampu mentransformasi masyarakat. Dalam kebebasan dan kesetaraan, setiap orang dituntut mengambil perspektif orang lain dan memproyeksikan dirinya kedalam perspektif orang lain tersebut serta diri sendiri.
Habermas menjadikan bahasa sebagai landasan teori sosial, sarana memahami kekuatan rasionalitas dalam kehidupan sehari-hari. Karena bahasa selalu berorientasi pada kesepakatan dan konsensus bersama. Hal ini terlihat dalam kapasitas manusia yang paling mendasar, yaitu berbicara (speaking), mendengar (hearing), bernalar (reasoning), dan berargumentasi (argumentation).
Habermas sejatinya menekankan pendekatan radikal terhadap kebenaran melalui dialog komunikatif (communicative dialogue). Sebagaimana ditegaskan Habermas, dialog komunikatif memungkinkan kebebasan (freedom), kesetaraan (equality), kebersamaan (mutuality), dan tanggung jawab etis (ethical responsibility).
Habermas membedakan antara ruang publik (public sphere) dan kehidupan pribadi (private live). Terkait hal ini, ruang publik di Yunani kuno dibentuk sebagai arena dialogis, tempat di mana setiap orang datang untuk bertemu dan terlibat dalam diskursus publik. Dengan menurunnya peradaban Yunani kuno, keterlibatan di dalam ruang publik menghilang.
Menurut habermas, munculnya ruang publik borjuis dapat dilacak dalam berbagai forum diskusi publik. Selain itu, surat kabar dan jurnal mingguan digunakan para cendekiawan untuk berdebat serta mempertanyakan otoritas politik serta perilaku pemimpin negara. Namun, seringkali surat kabar menjadi senjata opini partai politik (weapons of party politics).
Habermas memerlihatkan bahwa dalam demokrasi massa yang maju, aspek kritis ruang publik mengalami penurunan. Komersialisasi media mengubah ruang publik borjuis menjadi wadah kritik politik dan pengambilan keputusan publik. Komersialisasi media dan pertumbuhan industri berakibat pada menurunnya keterlibatan sipil serta kualitas debat politik publik.
Perlu diketahui bahwa modernitas menggabungkan rasionalitas yang mematikan (lethal) dan konsumerisme yang menggoda (seductive). Hal ini menurut Habermas mengakibatkan fragmentasi kesadaran sosial (fragmentation of social consciousness).
Habermas menempatkan teori sosialnya dengan mengacu pada dunia kehidupan (life-world). Dunia kehidupan merupakan ruang interaksi simbolik (symbolic interaction) dan dialog komunikatif (communicative dialogue), di mana setiap orang menghasilkan praktik tertentu serta menghadapi struktur sosial dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagaimana dikatakan Habermas, masyarakat bertumbuh dan berkembang tidak hanya melalui teknologi, melainkan juga melalui interaksi simbolik atau tindakan komunikatif (communicative action). Karena kehidupan sosial disusun melalui bahasa, komunikasi, dan pertukaran simbolik. Selain itu, kehidupan sosial mengandung dimensi kognitif dan moral.
Menurut Habermas, rasionalitas sistem dan rasionalitas dunia kehidupan menerapkan logika yang sepenuhnya berbeda. Terlepasnya sistem (system) dari dunia kehidupan (life-world) bukanlah tanda dominasi budaya. Sebagaimana diungkapkan Habermas, budaya modern tunduk pada kontrol administratif dan birokrasi. Dalam masyarakat modern, rasionalitas fungsional mengancam fondasi transmisi budaya, sosialisasi, dan pembentukan identitas diri manusia.
Habermas mengemukakan bahwa negara bangsa (nation-state) tidak mempunyai sarana yang memadai untuk menghadapi tantangan politik dan hukum yang ditimbulkan globalisasi. Oleh karena itu, dibutuhkan rasionalitas komunikatif (communicative rationality) yang berpusat pada proses demokratis pengambilan keputusan kolektif lintas batas teritorial. Karena tantangan moral dan politik tidak dapat diatasi dengan menggunakan teori globalisasi neo-liberal atau postmodern.
Gagasan Habermas menginspirasi ilmuwan sosial seperti Amy Gutmann, Seyla Benhabib, dan Iris Young. Mereka menggunakan gagasan Habermas mengenai rasionalitas komunikatif. Komunikasi yang bersifat transparan dan adil tersebut disebut para ahli ilmu sosial serta politik sebagai demokrasi deliberatif (deliberative democracy).
Konsepsi demokrasi deliberatif berakar kuat pada penilaian kolektif rakyat (collective judgment of the people). Menurut Amy Gutmann dan Dennis Thompson, dalam demokrasi deliberatif keputusan dibuat oleh warga negara dan perwakilan mereka. Selain itu, pemimpin harus memberikan alasan terkait keputusan yang diambil dan menanggapi pendapat warga negara.
Sumber Bacaan:
Lemert, Charles C. dan Anthony Elliott. Introduction to Contemporary Social Theory. New York: Routledge, 2014.