Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
Manusia merupakan makhluk sosial yang hidup dalam sistem biologis (biological systems). Fakta biologis kehidupan manusia tidak membatasi berbagai macam aktivitas yang dilakukannya.
Kebebasan manusia bertindak mempunyai dua kemungkinan, membawa dampak yang lebih baik atau lebih buruk. Menurut para ahli ekologi humanis, manusia dapat mewujudnyatakan kreativitasnya melalui lingkungan alam dan sosial.
Manusia adalah agen moral (moral agents) dan mempunyai kapasitas menentukan pilihan. Oleh karena itu, manusia harus menentukan sikap ketika berhadapan dengan alam.
Harapannya manusia mampu memberikan rasa hormat (respect) dan perhatian (care) terhadap alam. Karena alam bukan sekadar instrumental murni, sistem pendukung kehidupan, dan sumber untuk dijarah sesuka hati.
Alam pada dasarnya menyediakan sistem pendukung bagi kehidupan manusia. Namun, dalam perjalanan waktu, manusia senantiasa menambah beban dan harus ditanggung oleh alam.
Sesuatu yang dikhawatirkan yaitu manusia bertindak terlalu jauh dan membuat rumah yang ditempatinya tidak lagi bisa dihuni. Oleh karena itu, harus diambil langkah untuk meminimalisir kerusakan lingkungan.
Humanisme ekologis meminta manusia menghormati dan peduli terhadap alam. Bahkan pada tataran tertentu, kebijakan ekonomi dan politik harus memerhatikan serta bertanggung jawab apabila terjadi kerusakan di alam. Karena manusia dan alam pada dasarnya saling terkait serta tergantung (interdependent).
Dalam lingkungan masyarakat, jumlah manusia yang terisolasi dari yang lain semakin meningkat. Hal ini merupakan persoalan besar dan harus mendapatkan perhatian. Selain itu, manusia terasing dari alam (alienation from nature).
Menurut humanisme ekologis, ekologi ilmiah (scientific ecology) memberikan solusi untuk menangani persoalan keterasiangan atau terisolasi. Terkait hal ini, hidup yang berharga harus disertai dengan kepedulian terhadap nilai-nilai biologis dan ekologi.
Perlu diketahui bahwa manusia berupaya melepaskan diri dari niat buruk (bad faith). Niat buruk atau penipuan diri (self-deception) mencakup penyembunyian sejumlah aspek tertentu dari situasi dan kondisi manusia.
Sehingga manusia melihat fenomena yang terjadi di luar dirinya sebagai sesuatu yang diberikan (given). Misalnya, pemilik pabrik mengabaikan polusi dan memusatkan perhatian pada kekayaan serta pekerjaan yang sedang dijalani. Polusi dianggap sebagai pemberian dan tidak mungkin dikontrol.
Ketika berupaya memaafkan diri sendiri dan lembaga, terdapat dua pilihan yang dimiliki manusia. Melanjutkan niat buruk atau bertanggung jawab atas tindakan yang telah dilakukan.
Menurut para humanis ekologi, pengakuan akan niat buruk mengarahkan manusia pada perubahan perilaku (change in behavior). Selain itu, manusia menipu diri sendiri apabila berniat buruk dan tidak peka terhadap persoalan lingkungan.
Alam pikiran komunitarian dinilai mengancam kebebasan manusia untuk mengejar tujuan pribadi. Sehingga alam pikiran komunitarian dianggap tidak demokratis. Perlu diketahui bahwa tidak ada masyarakat yang percaya pada pilihan manusia yang sepenuhnya bebas (free).
Melalui pendidikan, manusia ditempatkan dalam posisi menerima budaya, tradisi, ketrampilan, dan keragaman nilai komunitas. Sebagaimana dikatakan para humanis ekologi, untuk menangani niat buruk, penting menyertakan dimensi ekologi dalam pendidikan (education).
Belajar menghargai alam dan segala sesuatu yang ada di dalamnya. Karena keberlangsungan alam dan segala sesuatu yang ada di dalamnya tergantung dari keputusan serta tindakan manusia.
Sumber Bacaan:
Brennan, A.A. “Ecological Humanism.” https://biopolitics.gr/biowp/wp-content/uploads/2013/04/ah-brennan.pdf. Diakses pada 28 November 2020 pukul 17.00 WIB.