Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
Masyarakat modern ditandai paradoks, di mana individualisme (individualism) dan kebebasan (freedom) manusia bersinggungan serta mencabut harapan (expectations) dan kewajiban (obligations) ikatan moral. Perlu diketahui bahwa masyarakat modern mempunyai dua upaya dalam rangka menyelesaikan persoalan sosial dan konflik budaya. Pertama, kesejahteraan pribadi, ekspresi diri, dan otonomi.
Kedua, ikatan moralitas dalam rupa kepercayaan sosial dan jaringan yang memfasilitasi kebijakan sipil. Namun, pada dasarnya tidak ada perselisihan antara individualisme dan ikatan sosial. Karena individualisme tidak tercapai tanpa ikatan moral. Selain itu, tanpa keterlibatan sipil, hidup tidak menarik, eksperimental, dan membebaskan.
Masyarakat modern abad XXI memerlihatkan kehidupan yang hedonistik. Selain itu, pemerintahan yang bebas melemahkan norma kepercayaan, tradisi, dan moral. Menurut Daniel Bell (sosiolog Amerika), semakin manusia memikirkan kepuasan (satisfactions) dan pengejaran (pursuits) pribadi, semangat kewarganegaraan melemah. Selain itu, ketika puritanisme sekuler berubah menjadi konsumerisme, dibutuhkan kebangkitan bisnis multinasional.
Gagasan serupa ditegaskan Richard Sennet, masyarakat modern ditandai dengan pemenuhan diri, kepuasan sensual, dan mengorbankan ikatan moral. Sedangkan menurut Allan Bloom, dalam masyarakat modern terjadi budaya relativisme moral (culture of moral relativism). Selanjutnya, Robert Bellah melihat masyarakat Amerika terperangkap dalam bahasa yang mengisolasi. Bahasa tersebut mengganggu pertumbuhan pribadi manusia, komitmen kepada yang lain, dan keterlibatan dalam politik.
Menurut Robert D. Putnam, krisis yang terjadi di dalam masyarakat modern merupakan krisis keterikatan dan memburuknya demokrasi. Manusia terputus dari kehidupan keluarga, teman, kolega, tetangga, dan sistem sosial. Penurunan ikatan moral terlihat ketika individualisme menggantikan keterlibatan sipil, aturan dikomersialisasikan dalam komunitas kooperatif, dan perjumpaan yang bersifat transaksional menggantikan relasi sejati (genuine relationships). Gagasan Putnam mengenai penurunan ikatan moral (decline of moral bonds) berakar pada pemikiran Émile Durkheim (sosiolog abad XIX) mengenai modernitas sebagai ikatan moral.
Sebagaimana ditunjukkan Durkheim, jaringan moral yang kompleks dari interaksi sosial mendukung struktur individualisme modern. Gagasan Durkheim tersebut muncul dalam konteks masyarakat industri dan terjadinya konflik moral serta sosial dalam masyarakat modern. Terkait hal ini, Putnam menyusun kembali gagasan Durkheim tersebut supaya relevan dengan persoalan yang dihadapi masyarakat modern.
Durkheim melihat pentingnya moralitas dalam perkembangan sosial modern. Harus ada ikatan moral supaya masyarakat tetap eksis. Durkheim menggunakan istilah hati nurani kolektif (conscience collective) untuk memerlihatkan bahwa ketika manusia berpikir (think), manusia berpikir secara kolektif. Sedangkan konflik muncul sebagai akibat dari kegagalan masyarakat membentuk ikatan moral.
Terkait hal ini, dunia dikenal melalui kategori sosial kehidupan bersama. Oleh karena itu, masyarakat modern harus mempertahankan relasi dalam kehidupan sosial. Menurut Durkheim, kohesi sosial tergantung pada ikatan moral. Hal ini sejatinya merupakan tanggapan terhadap dikotomi antara masyarakat tradisional dan masyarakat modern.
Ferdinand Tonnies (sosiolog Jerman) membuat pembedaan antara komunitas (community/gemeinschaft) dan masyarakat (society/gesellchaft). Menurut Tonnies, relasi instrumental dan impersonal dalam masyarakat modern skala besar (large-scale modern societies) menggantikan pola relasi hierarki tradisional dalam komunitas skala kecil (small-scale communities). Sedangkan menurut Durkheim, masyarakat tidak bersifat impersonal dan mekanis, melainkan konstitutif.
Tonnies meyakini bahwa masyarakat modern berskala besar ditandai dengan pola relasi sosial mekanis. Hal ini bertentangan dengan gagasan Durkheim yang meyakini bahwa masyarakat modern pada dasarnya bersifat generatif. Durkheim mencurigai gagasan Tonnies, di mana hanya dalam masyarakat skala kecil yang mampu menopang ikatan moral.
Melalui pergeseran dari masyarakat mekanis dan pra-modern menuju masyarakat organis dan modern, manusia menemukan dirinya secara fungsional sebagai anggota yang terpisah dari keseluruhan. Namun, perluasan pembagian kerja yang didorong kemajuan industri, membuat manusia saling bergantung (interdependent). Terkait hal ini, regulasi dan pemurnian moral merupakan latihan berkelanjutan untuk menyesuaikan dengan situasi fakta sosial (social fact) yang independen.
Manusia merupakan bagian dari hati nurani yang kompleks, di mana rasa moralitas dan etika bekerja. Jika manusia modern secara moral bertindak sebagai subjek yang bebas dan rasional, maka hilangnya kohesi sosial terus membayangi dan manusia berada di ambang anomie. Namun, kebebasan tidak selalu menghalangi realisasi nilai dan harapan kolektif. Sebagaimana dikatakan Durkheim, solidaritas organis mendorong ketergantungan antarpribadi. Selain itu, Durkheim melihat agensi dan individualisme terlibat pada struktur interaksi kompleks antara dunia objektif dan subjektif.
Menurut Durkheim, masyarakat tidak hanya terdiri dari manusia, tanah yang ditempati, segala sesuatu yang digunakan, dan gerakan yang dilakukan. Dalam masyarakat juga terdapat gagasan (idea) yang terbentuk dengan sendirinya. Terkait hal ini, Durkheim melihat bahwa masyarakat modern turun ke dalam anomie. Selain itu, tanda-tanda kerusakan moral (moral decay) ditunjukkan melalui kegagalan masyarakat menetapkan etika untuk memoderasi tindakan manusia dalam memelihara tatanan sosial (social order).
Realitas tersebut nampak pada akhir abad XX dan awal abad XXI. Perlu diketahui bahwa analisis Putnam mengenai fragmentasi ikatan moral (fragmentation of moral bonds) bergantung pada analisis Durkheim. Dewasa ini, terjadi perubahan sosial dan ekonomi yang sangat besar. Bahkan globalisasi, neo-liberalisme, dan deregulasi pasar melemahkan kekuatan ikatan moral dalam kehidupan orang biasa (ordinary people’s live).
Pada abad XXI manusia mengalami konflik dan krisis yang terjadi pada tataran moral. Dalam interpretasi sosiologis Durkheim, modernitas mengubah tabel relasi sosial mekanis (mechanical social relations) dan menyusun kembali pengalaman komunitas yang lebih luas untuk masyarakat modern berskala besar.
Ketika menjembatani kensenjangan antara masyarakat (society) dan komunitas (community), Durkheim mampu mengidentifikasi bentuk-bentuk baru solidaritas yang khusus untuk modernitas. Hal ini dilihat Durkheim sebagai hasil dari pembagian kerja yang dikembangkan secara sosial dan dioperasionalkan melalui hati nurani serta kesadaran kolektif.
Sumber Bacaan:
Lemert, Charles C. dan Anthony Elliott. Introduction to Contemporary Social Theory. New York: Routledge, 2014.