Sdr. Andrew Labur

Budaya membuang (throw away culture) kini menjadi habitus yang semakin mendarah daging. Bahkan, sulit dilepas pisahkan dari kehidupan manusia. Di bagian awal Ensiklik Laudato Si, Paus Fransiskus menyebut budaya membuang yang sudah mendarah daging pada masyarakat manusia menjadi salah satu sebab penting dari segala macam kehancuran lingkungan hidup. Bagi Paus, budaya membuang ini adalah cermin dari setiap ketidakpedulian manusia yang merasa menjadi tuan bagi seluruh ciptaan, bukan hanya sampah yang ditimbulkan, tetapi juga kerusakan alam, dan berujung pada kemiskinan banyak orang. Tidak hanya sampah yang dibuang, juga membuang manusia seperti maraknya kasus penelantaran bayi oleh orang tua yang tidak bertanggung jawab karena anak-anak dari hubungan gelap atau pun karena mengalami masalah dalam kehidupan rumah tangga. Anak-anak yang tidak tahu apa-apa terpaksa menjadi korban. Begitu pun dalam korelasinya dengan lingkungan, ia harus menjadi korban akibat keserakahan manusia. Hal ini mengindikasikan budaya membuang erat kaitanya dengan kemerosotan moral seseorang. Dalam artian, kemerosotan moral sangat berpengaruh besar terhadap cara pandang, sikap dan prilaku seseorang terhadap segala sesuatu termasuk bagaimana seseorang memeperlakukan alam ciptaan. Membuang sampah di sembarang tempat adalah bukti konkret minimnya kesadaran moral seseorang terhadap alam ciptaan.

Dalam hal ini, pemecahan terhadap persoalan krisis lingkungan yang kini melanda seluruh dunia tidak hanya terletak pada segi teknis atau ekonomis. Persepsi seorang individu terhadap alam sering kali mempengaruhi tindakan-tindakanya. Sebagaimana pendapat R. D. Laing, seperti yang dikutip oleh Fritjof Capra dalam the web and life (London, 1996), menyatakan bahwa “kita telah menghancurkan dunia ini secara teori sebelum kita menghancurkanya dalam praktek” (Sudjoko, dkk, 2013: 9). Artinya, sangat diperlukan perubahan cara pandang untuk mengantisipasi perlakuan yang salah terhadap alam ciptaan. Salah satunya membangun kesadaran dan pertobatan ekologis dengan tidak membuang sampah di sembarang tempat. Sadar atau pun tidak, secuil sampah yang dibuang begitu saja telah merugikan banyak pihak. Paus Fransiskus menyatakan bahwa kerusakan yang terus-menerus dilakukan oleh manusia terhadap lingkungan sebagai salah satu tanda kecil dari krisis etika, budaya dan spiritual modernitas. “Bumi, rumah milik bersama, semakin menyerupai tumpukan sampah. Di berbagai wilayah bumi, daerah yang semula cantik telah tertutupi dengan sampah” (F. X. Adisusanto, dkk, 2016: 18). Untuk mengatasinya sangat dibutuhkan pengorbanan dan revolusi budaya di seluruh dunia.

Hubungan Ekologi Dengan Ilmu Sosial Budaya

Pada dasarnya sosial budaya dalam lingkungan berkaitan dengan hubungan manusia dengan lingkungan. Unsur sosial adalah hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat. Unsur budaya dalam lingkungan hidup adalah adalah keseluruhan sistem nilai, gagasan, tindakan dan kewajiban yang dimiliki manusia untuk menentukan prilaku sebagai makhluk sosial dalam kehidupan bermasyarakat yang didapatnya dengan cara belajar. Unsur sosial budaya dapat dikembangkan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, terutama untuk kebutuhan pokok dan kemudahan hidupnya (Koes Irianto, 2010: 23). Kebudayaan itu lahir seturut manusia ada di bumi ini. manusia sebagai aktor budaya atau pelaku dari budaya itu sendiri. Tepatnya, kebudayaan itu muncul karena habitus manusia itu sendiri. Misalnya, seseorang memiliki kebiasaan membuang sampah di sembarang tempat, jika kebiasaan itu dilakukan secara berkelanjutan dan terus menerus maka hal tersebut akan semakin terinternalisasi dalam diri seseorang yang berujung pada munculnya budaya membuang. Seperti yang ditegaskan oleh Paus Fransiskus, untuk meminimalisasi masalah ini sangat dibutuhkan pengorbanan dan revolusi budaya. Dengan kata lain, menggantikan kebiasaan tersebut dengan membudayakan gaya hidup yang ramah dan dekat dengan alam. Salah satunya, mendesain atau menggunakan barang-barang tertentu, khususnya dari sampah plastik dengan melakukan proses pendauran ulang, selain mengurangi pencemaran lingkungan juga bagian dari gaya hidup yang ramah dan dekat dengan alam atau memisahkan sampah plastik, membuat lingkungan sekitarrumah menjadi hijau dengan tanam-tanaman. Selain itu, hasil yang didapatkan dari proses pendauran ulang bisa diperjualbelikan sehingga memiliki nilai ekonomis. Aspek lain, dapat diganti dengan usaha mengembangkan pastoral yang peduli pada pelestariaan keseimbangan lingkungan hidup atau Eko-Pastoral, dengan mengupayakan cara hidup organik bagi seluruh masyarakat. Cara hidup organik ini terwujud dalam kegiatan pertanian ramah lingkungan, yang mengolah dan memproduksi hasil-hasil tanaman organik, misalnya sayur-sayuran organik atau buah-buahan organik.

Namun, gaya hidup semacam ini sangat tidak dimungkinkan untuk konteks manusia Zaman ini, dengan hadirnya beragam kemudahan karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat. Seolah-olah kenyataan, kebaikan, dan kebenaran otomatis mengalir begitu saja dari kekuatan teknologi. Tidak salah orang sering kali berasumsi teknologi merupakan suatu bentuk transformasi diri, baik dari cara berpikir maupun cara seorang bertindak, dari hal-hal yang sifatnya primitif menuju hal-hal yang lebih kompleks dan modern atau dari gaya hidup yang arkais menuju gaya hidup yang lebih kekinian. Konsumerisme lebih mendominasi dibanding usaha menghasilkan sendiri. Tendensi manusia dewasa ini yang sering kali mendewa-dewakan teknologi terkadang kurang menyadari ternyata hadirnya teknologi turut membawa masalah baru.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mengantarkan manusia pada teknologi industri dan mekanisasi. Keadaan yang demikian mengakibatkan jutaan orang pindah dari daerah pedesaan menuju perkotaan. Berbagai macam pabrik berdiri dimana-mana. Segala keperluan manusia pun dapat terpenuhi. Namun pencemaran juga tak bisa dielakan, misalnya, pembangunan pabrik di kota-kota besar menimbulkan pencemaran udara, pencemaran air tanah dan air sungai, karena pembuangan limbah-limbah industri, sehingga persediaan air bersih untuk kebutuhan primer hidup seluruh warga negara kurang terjamin. Belum lagi beragam produk dihasilkan dan didistribusikan kepada konsumen dalam tempo waktu yang sangat singkat karena kebutuhan akan barang semakin meningkat. Banyak produk yang dihasilkan, sampah pun semakin meningkat karena minus kesadaran.

 Masalah-masalah yang ditimbulkan dari aspek industri yang tidak terkontrol bisa berakibat pada persoalan-persoalan yang lebih pelik. Mulai dari limbah industri besar sampai limbah rumah tangga (sebagai konsumen industri) akan merusak sistem perairan. Pencemaran air mengakibatkan krisis air besar. Padahal industralisasi tadinya bertujuan utama meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan manusia. Tapi, jika mengelola alam dengan tidak bijaksana, akhirnya bisa merugikan manusia itu sendiri (Sarwono Kusumaatmadja, 2017: 71).

Apa Yang Harus Direkonstruksi?

Habitus membuang menjadi permasalahan yang sangat krusial saat ini. karena itu, kita perlu memutar haluan, mencanangkan upaya-upaya soluktif dan merubah persepsi kita tentang alam ciptaan. Dalam hal ini, yang harus direkonstruksi adalah kesadaran setiap individu akan pentingnya menjaga, memelihara dan merawat seluruh alam ciptaan agar lanskap yang dulunya indah bisa dihadirkan kembali. Karena asal muasal dari budaya membuang tentu berakar pada minimnya kesadaran dan kemerosotan moral seseorang. Hal terpenting yang harus dilakukan yakni kesadaran yang berkelanjutan, berkala dan semangat terus-menerus. Dalam Ensiklik Laudato Si, Paus Fransiskus menyebutkan upaya-upaya kecil yang harus dicanangkan secara bersama seperti peduli sampah, mengurangi plastik, membatasi sebanyak mungkin penggunanaan sumber daya terbarukan, menggunakan secukupnya, memaksimalkan penggunaan yang efisien, menggunakan kembali dan mendaur ulangnya. Memberi perhatian serius kepada masalah-masalah ini menjadi salah satu cara menangkal budaya memmbuang yang pada akhirnya mempengaruhi cara orang memandang alam ciptaan dari sudut yang berbeda. Artinya, tidak lagi melihat alam ciptaan sebagai subjek yang harus diperlakukan secara otoriter dan menodainya sampah pada ambang kehancuran, melainkan dengan satu semangat baru dan kesadaran untuk memulihkan segala kerusakan yang ada.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

fifteen − five =