Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
Pada 1 Januari 2021, Paus Fransiskus menyampaikan pesan dalam rangka memeringati hari perdamaian dunia ke-54 dengan tema a culture of care as a path to peace. Paus Fransiskus berharap supaya pada tahun baru 2021 masyarakat di seluruh dunia mengejawantahkan nilai-nilai persaudaraan, keadilan, dan perdamaian. Meskipun sejak awal 2020 dunia harus berhadapan dengan pandemi Covid-19 yang mengakibatkan krisis kesehatan, penderitaan, dan kesulitan.
Paus Fransiskus berduka atas situasi dan kondisi di mana masyarakat kehilangan anggota keluarga serta pekerjaan yang selama ini diperjuangkan. Dalam upaya menanggulangi Covid-19, sejumlah pihak seperti dokter, perawat, apoteker, peneliti, relawan, pemuka agama, personel rumah sakit, dan pusat kesehatan berupaya memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk meringankan penderitaan dan menyelamatkan nyawa masyarakat. Perlu diketahui bahwa Paus Fransiskus menekankan pentingnya vaksin Covid-19 dan teknologi kesehatan untuk merawat orang sakit, orang miskin, dan mereka yang paling rentan.
Selain berhadapan dengan pandemi Covid-19, dewasa ini dunia diwarnai rasisme dan xenophobia serta perang dan konflik yang mengakibatkan kematian serta kehancuran masyarakat. Realitas tersebut memerlihatkan pentingnya menumbuhkan dan mengembangkan sikap peduli (care) kepada yang lain serta membangun masyarakat yang didasarkan pada semangat persaudaraan. Menurut Paus Fransiskus, budaya peduli dapat digunakan untuk memerangi ketidakpedulian (indifference), pemborosan (waste), dan konfrontasi (confrontation) yang terjadi di tengah masyarakat.
Paus Fransiskus menegaskan bahwa tradisi agama-agama mengajarkan mengenai asal-usul manusia dan relasi manusia dengan Allah, sesama, dan ciptaan lainnya. Terkait hal ini, kitab Kejadian memerlihatkan relasi manusia (adam) dan bumi (adamah) serta relasi antarmanusia sebagai saudara dan saudari. Sebagaimana dilukiskan dalam Kej 2:8-15, Allah memberi kepercayaan kepada manusia untuk mengolah dan memelihara bumi. Hal ini dimaksudkan Allah supaya manusia melindungi dan melestarikan bumi.
Kisah Kain dan Habel memulai sejarah kehidupan yang seharusnya diwarnai semangat persaudaraan. Setelah membunuh Habel, Kain menjawab pertanyaan Allah, apakah aku penjaga adikku (Kej 4:9). Sebagaimana dikatakan Paus Fransiskus, kita dipanggil untuk menjadi penjaga saudara (brother’s keeper). Kisah Kain dan Habel bernada simbolisme (symbolism), di mana segala sesuatu saling terkait dan kepedulian manusia terhadap sesama serta ciptaan lainnya harus dilandaskan pada semangat persaudaraan (fraternity), keadilan (justice), dan kesetiaan (faithfulness).
Kitab Suci menampilkan Allah sebagai Pencipta yang peduli terhadap ciptaan-Nya, yaitu Adam dan Hawa serta keturunannya. Terkait hal ini, meskipun Kain kejam, ia memeroleh perlindungan dan keselamatan dari Allah. Dapat dikatakan bahwa Allah pada dasarnya ingin menjaga keharmonisan ciptaan-Nya. Karena perdamaian dan kekerasan tidak bisa tinggal bersama (peace and violence cannot dwell together).
Paus Fransiskus meyakini bahwa kepedulian merupakan inti hukum Sabat, di mana menghormati Yang Ilahi harus disertai dengan pemulihan tatanan sosial serta perhatian kepada orang miskin. Bahkan Amos dan Yesaya senantiasa menuntut keadilan bagi orang miskin. Orang miskin digambarkan Amos dan Yesaya sebagai pribadi yang berseru serta didengarkan Allah.
Perlu diketahui bahwa kehidupan dan pelayanan Yesus Kristus memerlihatkan kasih Allah Bapa kepada umat manusia. Bahkan Yesus Kristus menegaskan, Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku (Luk 4:18). Selain itu, Yesus Kristus mendekati dan menyembuhkan orang yang sakit secara jasmani serta rohani. Yesus Kristus juga mengampuni orang yang berdosa dan memberi mereka hidup baru (new life).
Sebagaimana dikatakan Paus Fransiskus, Yesus Kristus adalah gembala yang baik (good shepherd), senantiasa merawat domba-domba-Nya. Yesus Kristus adalah orang Samaria yang baik hati, membantu orang yang terluka dan merawatnya. Pada puncak misi-Nya, Yesus Kristus mempersembahkan diri di kayu salib, membebaskan manusia dari perbudakan dosa dan maut (slavery of sin and death). Hal ini dilakukan Yesus Kristus untuk membuka jalan kasih (path of love) bagi umat manusia.
Sebab tidak ada seorang pun yang berkekurangan di antara mereka; karena semua orang yang mempunyai tanah atau rumah, menjual kepunyaannya itu, dan hasil penjualan itu mereka bawa dan mereka letakkan di depan kaki rasul-rasul; lalu dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya (Kis 4:34-35). Semangat Gereja perdana sebagaimana diuraikan dalam Kisah Para Rasul tersebut menunjukkan sikap ramah, peduli, dan kemauan merawat orang-orang yang membutuhkan pertolongan.
Menurut Santo Ambrosius, alam seharusnya digunakan oleh semua orang dan menghasilkan hak bersama (common right). Namun, sikap serakah (greed) manusia membuat alam hanya dinikmati sejumlah orang. Perlu diketahui bahwa kebutuhan zaman memunculkan upaya baru dalam pelayanan kasih Kristiani. Sehingga karya-karya Gereja di tengah orang-orang miskin menjadi terorganisir. Hal ini nampak dengan adanya berbagai macam institusi seperti rumah sakit, panti asuhan, dan tempat penampungan.
Menurut Paus Fransiskus, tradisi Kristen menekankan pentingnya mengembangkan pribadi manusia yang integral. Mengutamakan relasi, bukan individualisme. Mengejawantahkan sikap inklusif, bukan eksklusif. Selain itu, pribadi manusia tidak boleh dieksploitasi. Karena setiap pribadi manusia pada dasarnya mempunyai martabat yang unik dan tidak dapat diganggu gugat.
Setiap pribadi manusia adalah tujuan pada dirinya sendiri. Bukan sekadar sarana yang dihargai berdasarkan kegunaannya. Karena setiap pribadi manusia pada hakikatnya mempunyai martabat yang sama (equal in dignity). Sehingga setiap orang mempunyai tanggung jawab membantu orang sakit (the sick), orang miskin (the poor), dan yang tersisih (the excluded).
Sebagaimana dikatakan Paus Fransiskus, kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya seharusnya melayani kepentingan bersama. Oleh karena itu, berbagai macam kegiatan yang dilakukan harus memperhitungkan pengaruhnya terhadap seluruh masyarakat yang mencakup generasi kini dan mendatang. Misalnya, ketika berhadapan dengan pandemi Covid-19, masyarakat harus menyadari bahwa mereka berada pada perahu yang sama dan dipanggil untuk mendayung bersama.
Harus diingat bahwa tidak ada seorang pun yang mampu mencapai keselamatan dengan mengandalkan diri sendiri. Selain itu, tidak ada negara yang dapat menjamin kesejahteraan umum masyarakatnya apabila menutup diri. Terkait hal ini, solidaritas (solidarity) mengungkapkan kasih kepada yang lain. Berkomitmen dan bertanggung jawab pada kebaikan bersama (common good).
Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si menegaskan bahwa seluruh ciptaan pada dasarnya saling terkait. Selain itu, Paus Fransiskus melihat pentingnya mendengarkan jeritan orang miskin (cry of the poor) dan jeritan ciptaan (cry of creation). Mendengarkan jeritan orang miskin dan ciptaan dengan penuh perhatian serta merawat bumi dan memberi perhatian kepada saudara serta saudari yang membutuhkan. Hal ini harus didasarkan pada kelembutan, kasih sayang, dan perhatian terhadap sesama serta ciptaan lainnya. Dengan demikian, perdamaian, keadilan, dan kepeduliaan merupakan nilai-nilai yang tidak terpisah satu sama lain serta harus diejawantahkan secara bersamaan.
Berhadapan dengan budaya pemborosan (culture of waste) dan ketidaksetaraan (inequalities), Paus Fransiskus mendesak para pemimpin pemerintah, organisasi internasional, ilmuwan, komunikator, dan pendidik untuk memastikan masa depan yang lebih manusiawi (a more humane future) di tengah globalisasi. Menghargai nilai dan martabat setiap orang, bersikap solider untuk kebaikan bersama, dan memberikan bantuan kepada orang-orang yang menderita kemiskinan, penyakit, perbudakan, konflik bersenjata, dan diskriminasi. Menjadi nabi untuk mewartakan budaya peduli dan berupaya mengatasi ketidaksetaraan sosial.
Paus Fransiskus juga menegaskan pentingnya relasi antarnegara yang diwarnai persaudaraan, saling menghormati, solidaritas, dan ketaatan pada hukum internasional. Membela dan mewartakan hak asasi manusia sebagai sesuatu yang fundamental, tidak dapat dicabut, dan universal. Karena dewasa ini telah terjadi kehancuran dan krisis kemanusiaan (destruction and humanitarian crisis). Sehingga untuk mengejawantahkan perdamaian, solidaritas, dan persaudaraan, masyarakat harus mengubah cara pandang serta membuka hati dan pikiran.
Realitas memerlihatkan bahwa sumber daya dihabiskan untuk memaksimalkan persenjataan seperti nuklir. Padahal sumber daya dapat digunakan untuk keselamatan individu, mewartakan perdamaian, membangun manusia yang integral, melawan kemiskinan, dan menyediakan peralatan serta perlengkapan kesehatan. Terkait hal ini, pandemi Covid-19 dan perubahan iklim membuat persoalan yang terjadi di tengah masyarakat semakin kompleks. Sejatinya uang yang digunakan untuk mendanai persenjataan seperti nuklir dan peralatan serta perlengkapan militer lainnya dapat digunakan untuk meminimalisir kelaparan dan membangun negara-negara yang miskin.
Pendidikan merupakan salah satu sarana yang dapat digunakan untuk mempromosikan budaya peduli. Sebagaimana dikatakan Paus Fransiskus, terdapat empat langkah yang dapat ditempuh untuk mewartakan budaya peduli melalui pendidikan. Pertama, menanamkan budaya peduli sejak di dalam keluarga. Mengajarkan cara menjalin relasi dengan yang lain dan saling menghormati.
Kedua, menanamkan budaya peduli melalui sekolah, perguruan tinggi, dan media komunikasi. Mewariskan sistem nilai yang didasarkan pada pengakuan atas martabat setiap orang yang mempunyai latar belakang suku, agama, ras, bahasa, dan budaya yang beragam. Sehingga nilai-nilai keadilan dan persaudaraan dimungkinkan.
Ketiga, agama dan para pemimpin agama mempunyai tanggung jawab menyampaikan nilai-nilai solidaritas, menghormati perbedaan, dan kepedulian terhadap saudara serta saudari yang membutuhkan. Keempat, mendorong semua pihak yang terlibat dalam pelayanan publik dan organisasi internasional supaya menumbuhkan serta mengembangkan pendidikan yang lebih terbuka atau inklusif dan mau mendengarkan serta berdialog.
Budaya peduli membutuhkan komitmen bersama untuk melindungi dan mewartakan martabat setiap orang. Menunjukkan perhatian dan kasih sayang kepada yang lain. Saling menghormati dan menerima. Hal ini membuka jalan menuju perdamaian. Harapannya kita tidak menyerah terhadap godaan untuk mengabaikan yang lain, terutama mereka yang paling membutuhkan. Berjuang sedemikian rupa dengan cara yang konkret dan praktis serta membentuk komunitas yang saling menerima dan peduli.
Sumber Bacaan:
Pope Francis. A Culture of Care as a Path to Peace. http://www.vatican.va/content/francesco/en/messages/peace/documents/papa-francesco_20201208_messaggio-54giornatamondiale-pace2021.html. Diakses pada 25 Januari 2021 pukul 10.00 WIB.
Mantapp….
mantap… izin ku save ya