Prologue.
Hukum seharusnya mempunyai kekuatan yang mengikat, mengatur dan menjamin kehidupan bersama menjadi lebih bermakna. Selain itu, hukum melindungi dan menjamin kesetaraan manusia dalam relasinya dengan sesama, tetapi juga dengan yang Transenden. Akan tetapi, dewasa ini hukum lebih banyak berlaku, atau menjerat orang-orang kecil dan lemah. Mahfud MD (Sekarang Mengko Polhukam), mengatakan, “hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas.” Ada beberapa fakta yang secara jelas memperlihatkan bagaimana korupnya hukum. Misalnya, proses peradilan Nenek Asyani di Situbondo, Jawa Timur, dan Mbah Harso Taruno di Pengadilan Negeri Wonosari, Gunung Kidul, Yogyakarta. Selain itu, kita dapat melihat begitu jelas bagaimana para koruptor yang merugikan uang Negara, namun dilindungi hukum, atau kendati mereka tertangkappun penjara menjadi hotel bagi mereka dan lain-lain.
Realitas ini menunjukkan bahwa hukum lebih berpihak pada orang-orang yang mempunyai kekuatan. Berbagai hukum yang dibuat untuk melindungi para pembuat hukum atau para penguasa. Benedictus XVI dalam dialognya dengan Habermas, mengatakan bahwa hukum dewasa ini adalah hukum orang-orang kuat, bukan hukum yang mempunyai kekuatan. Hukum bukan menunjukkan kekuatannya, akan tetapi menunjukkan arogansi para legislative yang adalah subjek yang berkuasa.
Berangkat dari hukum yang semakin korup dan tidak adil ini, kami mencoba merefleksikan Sepuluh Perintah Allah sebagai hukum yang mempunyai kekuatan, dan menjamin kesetaraan manusia dalam relasinya dengan sesama di hadapan Allah. Tetapi juga hukum menjadi jalan bagi menusia untuk menuju Allah kesempurnaan dan kasih sejati. Tulisan ini didasarkan pada refleksi teologis Bonaventura mengenai Sepuluh Perintah Allah. Dalam pembacaan kami Bonaventura menunjukkan bahwa sepuluh perintah Allah merupakan hukum yang didasarkan pada kebenaran. Kebenaran yang membebaskan manusia, bukan hanya pada saat ini dan di sini, tetapi juga pada realitas manusia kelak. Artinya, kepatuhan manusia pada hukum atau Sepuluh Perintah Allah akan menghantar manusia pada Pencipta yang adalah Horizon dan telos kesempurnaan manusia.
Turutilah Seluruh Perintah Allah
Bonaventura dalam karyanya Collation on the Ten Commandment mengawali refleksinya atas sepuluh perintah Allah dengan kata-kata Yesus kepada orang muda yang hendak mengikuti Dia. Yesus mengatakan kepada orang muda itu, “…Tetapi jikalau engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah” (Mat. 19:17). Kata-kata Yesus ini memperlihatkan dua hal. Pertama, berbicara mengenai hasrat atau kerinduan terdalam setiap manusia. Kerinduan manusia itu adalah kehendak akan suatu hidup yang berbeda dari hidup saat ini dan di ini, yakni hidup yang sempurna, dan hidup yang mulia pada masa scaton. Untuk memperoleh hidup yang sempurna itu, kedua yaitu, turutilah segala perintah Allah. Perintah Allah itu tidak lain adalah perintah cinta kasih kepada Allah dan sesama yang secara eksplisit tertulis dalam sepuluh perintah Allah. Bonaventura menempatkan sepuluh perintah Allah tidak hanya sebagai aturan moral, tetapi juga sebagai komponen dasar hidup Kristiani, karena Kristus memerintahkan manusia untuk menepatinya.
Sepuluh perintah Allah memuat dua hal mendasar, yaitu mengenai relasi manusia dengan Allah dan relasi manusia dengan sesama ciptaan. Relasi yang dimaksud tidak lain adalah relasi yang adil dan harmonis antara manusia dengan Allah dan sesama. Sepuluh perintah Allah memperlihatkan relasi yang adil dan harmonis itu dan relasi itu dapat terwujud ketika manusia dengan setia menepatinya.
Pertanyaannya adalah mengapa harus menepati Sepuluh Perintah Allah? Ada empat alasan yang dikemukakan oleh Bonaventura: Pertama, otoritas dari yang memerintah. Otoritas yang memerintah itu adalah Allah. Otoritas Allah itu termanifestasi dalam kuasa penciptaannya, kebijaksanannya, dan dalam penyelamatannya. Dengan kata lain, Ia yang memerintahkan mempunyai kuasa menciptakan, bijaksana dalam memerintah dan mempunyai kuasa menyelamatkan manusia.
Kedua, manfaat dari mematuhi perintah Allah. Orang yang mematuhi perintah Allah akan memperoleh tiga hal, yaitu menerima rahmat ilahi; memahami isi Kitab Suci; dan mendapat ganjaran surgawi. Ketiga, orang yang tidak menepati perintah Allah akan mendapatkan hukuman. Hukumannya, adalah kehilangan banyak kebajikan dari dirinya; akan masuk dalam kejahatan yang taktergambarkan; dan akan mendapatkan hukuman kekal. Keempat, karakter sempurna dari perintah Allah. Perintah itu dikatan sempuran karena perintah itu tidak memberatkan orang yang menghayatinya, karena mengadung nilai kebaikan, dan keadilan.
Hukum Menjamin Relasi Manusia Dengan Allah
Relasi ideal manusia dengan Allah menurut Bonaventura termuat dalam ketiga perintah pertama. Ketiga perintah pertama memerlihatkan atribut kuasa, kebenaran dan kebaikan yang melekat pada Allah Trinitas. Kuasa dialamatkan kepada Allah Bapa yang berkuasa menciptakan dan sekaligus membebaskan manusia. Kebenaran dialamatkan kepada Allah Putra yang beringkarnasi dan menjadi Sabda yang hidup. Sementara kebaikan dialamatkan kepada Allah Roh Kudus yang senantiasi menyertai manusia sepanjang jaman.
Oleh karena Allah Mahakuasa, Mahabenar dan Mahabaik, maka manusia dituntut sebuah sikap yang tepat sebaigaimana diperintahkan dalam ketiga perintah. Pertama, orang dituntut untuk memuji dan menyembah Allah saja. Kedua, orang diperintahkan untuk mengakui Allah kebenaran sejati, dengan tidak menyebut nama Allah secara tidak hormat. Ketiga, orang harus mencintai kebaikan dengan mengkontemplasikan Allah, melakukan pekerjaan kemurahan hati dan pekerjaan keutamaan pada hari Tuhan.
Hukum Menjamin Relasi Manusia dengan Sesama
Ketujuh Perinta yang lain menunjukkan relasi etis antara manusia dengan sesamanya. Relasi etis manusia itu terwujud ketika manusia melakukan kebaikan terhadap sesama dengan menghormati orang tua, menaruh perhatian pada yang lemah, yang membutuhkan dan yang teraniaya. Selain itu, dilarang menyakiti sesamanya, baik melalui tindakan, perkataan maupun kehendak, pikiran, dan keinginan.
Perintah untuk berbuat baik oleh Bonaventura disebut dengan kindness, sementara larangan untuk berbuat dosa dan kejahatan disebut dengan blamelessness atau disebut dengan perintah afirmatif dan perintah negatif. Perintah keempat disebut sebagai perintah afirmatif sementara keenam perintah yang lain disebut dengan perintah negatif. Akan tetapi pembagian ini tidak serta-merta mengatakan bahwa perintah-perintah yang lain tidak mengandung kedua unsur itu. Artinya, semua perintah Allah itu memuat dua unsur itu, yaitu unsur afirmatif dan unsur negatif. Manusia diperintahkan untuk berbuat baik, pada tempat yang sama manusia dilarang untuk berbuat dosa dan kejahatan.
Seluruh perintah menunjukkan hidup dan kesejahteraan dan juga kematian dan kejahatan. Orang akan memperolah hidup dan kesejahteraan, jika ia menepati perintah Allah. Sebaliknya, orang akan mendapatkan kematian dan kejahatan jika melanggar perintah. Di satu sisi, orang yang menepati perintah Allah menjadi orang sangat hormat pada Allah, setia, bertekun, lembut, suci, bermurah hati, jujur, berbahagia dengan segala yang ada pada dirinya, dan dengan hati dan budi yang murni. Di sisi lain, orang akan menjadi penyembah berhala, penghujat, kehilangan devosi, tidak beriman, Pembunuh, pezina pencuri, pendusta, iri hati atau tamak, dan kiinginan daging.
Epilogue.
Kekuatan Sepuluh Perintah Allah sebagai sebuah hukum terletak pada tiga hal: Pertama, hukum Allah itu mengadung kuasa, kebenaran dan kebaikan. Ketiganya melekat pada sang pembuat Hukum, yaitu pada Allah Trinitas yang adalah kuasa, kebenaran dan kebaikan sejati. Kedua, sepuluh perintah Allah menjamin relasi manuisa dengan Allah Pencipta. Otoritas hukum disini mendorong manusia untuk taat dan setia pada kuasa, kebenaran dan kebaikan sejati. Jaminannya adalah hidup kekal kelak. Ketiga, sepuluh perintah Allah menjamin relasi etis antarmanusia. Tuntutan hukumnya adalah kasih. Setiap manusia dituntut untuk menaruh kasih terhadap sesama, mencitai yang lain seperti diri sendiri. Singkatnya, sepuluh perintah Allah menjamin relasi etis dan kesetaraan manusia di dunia dan menjamin relasi manusia dengan Allah penciptanya.
Sdr. Marciano A. Soares OFM
Artikel ini sudah dimuat dalam GSS vol.14 no.5