Bicara keadilan di Indonesia, tak usah jauh-jauh. Langsung dapat ditemukan dalam konstitusi tertulis NKRI, UUD NRI Thn 1945 alinea ke-4 dan Bab XA. Bagi penganut keyakinan Katolik, keadilan itu tiap tahun diulangi pada perayaan puncak liturgi tersuci di malam Paskah, sebagai Janji Baptis HAM. Bunyinya “Sanggupkah Saudara berjuang melawan segala tindakan dan kebiasaan yang tidak adil atau tidak jujur dan yang melanggar hak-hak asasi manusia?” Tentu saja semua orang Katolik menjawab “Ya, kami sanggup”. Dengan itu, tiap orang Katolik yang dibaptis, terikat janji abadi harus melaksanakan keadilan, kejujuran, dan HAM. Namun, paham sadarkah semua orang Katolik tentang apa itu HAM?

DOGMATIKA KEADILAN TRANSENDEN
Dogmatika Katolik menyatukan “keadilan” tak terpisahkan dari “kejujuran” dan HAM. Ketiganya itu dipermuliakan menjadi transenden di dalam sakramen yang diimani pasti benar. Karenanya, itu wajib dilaksanakan dengan segala upaya terbaik, praktik terbaik, dan layanan terbaik (best efforts, best practices, best services). HAM itu juga ternyata sekaligus jadi dogmatika konstitusi NKRI, di UUD NRI Thn 1945, dalam Bab XA, Pasal 28A-J. Dengan itu HAM di dalam keyakinan Katolik menjadi jauh lebih suci. Bukan lagi sekadar perintah (imperatif) hukum dasar dan hukum positif NKRI. Orang Katolik Indonesia dengan itu menjadi yang pertama-tama bertanggungjawab, bertugas, dan berkewajiban untuk digugat “tanggung-renteng” bilamana keadilan HAM tak terlaksana baik dan benar di negara ini.

Dogmatika hukum konstitusi secara filosofis di dalam alinea ke-4 UUD NRI Thn 1945, menyatakan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” tak terpisahkan dari kombinasi “Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan”. Kombinasi 5 unsur/sila itu tidak hirarkis bernomor urut sebagaimana sering dihafal di sekolah dan di luar itu. Rumus kombinasi matematis [(2n)-1] terhadap yang 5 itu berarti [(25)-1], dua pangkat lima kurang satu. Maka total jumlahnya berarti 31 (32-1). Jadi bukan sekadar 5 itu saja. Apalagi, unsur yang satu tidak jadi lebih atau kurang penting dari yang lain. Keadilan sosial bukan jadi kurang penting dari Ketuhanan, dan seterusnya. Melainkan keadilan itu harus dikombinasi matematis ke dalam integrasi total 31 yang lain-lainnya.

Istilah “Pancasila” karena itu tidak ditemukan dalam teks konstitusi UUD NRI Thn 1945. Melainkan yang disebut itu 5 sila, masing-masing diantarai tiap koma, koma, dst., baru ada titik setelah kata “Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Istilah Pancasila itu hanya ada dalam Pidato 1 Juni 1945 oleh Bung Karno, yang intinya menyatakan bahwa 5 sila itu adalah kesatuan tak terpisahkan. Bahkan itu bisa diperas jadi 3 atau 1 saja sebagai “gotong royong”. Peristiwa 1 Juni 1945 itu sendiri pun jadi “satu tarikan nafas” dengan kesatuan 5 peristiwa sangat penting sebelum dan sesudahnya yakni: 28 Oktober 1928, 22 Mei 1945, 1 Juni, 22 Juni, 17 Agustus dan 18 Agustus 1945. Satu catatan untuk perhatian serius mengenai “Ketuhanan” Yang Maha Esa di dalam salah satu sila terintegrasi itu, harus dibaca sebagai sifat (ke-an) bukan subyek atau dzat. Sebab bila “subyek Tuhan” maka itu dimaknai berbeda oleh bermacam-macam agama yang dianut masyarakat Indonesia. Itu bisa jadi masalah HAM serius yang tidak mungkin dinegosiasi untuk didamaikan. Namun dengan sifat-sifat Tuhan, dalam Ketuhanan yang Maha Esa, Maha Adil, dst., segala yang maha, maka semua penganut agama yang berbeda-beda jadi sepakat dengan itu.

Begitulah cara membaca dogmatika keadilan hukum ini secara baik dan benar. Begitu pula harus diterapkan ke dalam praktik hukum Indonesia. Dalam konteks pemahaman itu, praktik hukum acara di pengadilan Indonesia selalu membuat judul setiap keputusan hukumnya dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan itu, keadilan di dalam praktik hukum Indonesia adalah “Keadilan Transenden” sekaligus immanen karena didasarkan pada sifat-sifat Tuhan. Begitu juga di dalam setiap awal Undang-undang yang berlaku, selalu didahului dengan frasa “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa Presiden RI Dengan Persetujuan Bersama DPR RI” menetapkan memutuskan Undang-undang … (setiap/semua UU selalu dimulai dengan frasa itu). Sekali lagi, Keadilan Transenden menjadi esensi tak terbantahkan berlaku teoritis filosofis dan praktis di dalam konstitusi NKRI, di semua UU yang berlaku, dan di semua putusan pengadilan yang berkekuatan hukum eksekutorial. Wujud nyatanya? Itu soal praktis lain!

KEADILAN HAM/HUKUM
HAM harus dibaca dalam dua segi. Semua hukum adalah HAM. Tetapi masih ada juga HAM yang belum/tidak perlu dibuat jadi berbentuk hukum (positif). Itulah yang kita kenal sebagai “HAM kodrati”. Keadilan itu sendiri adalah “HAM kodrati” sekaligus juga “HAM hukum”. Dengan itu bisa dipahami mengapa dogmatika Katolik memosisikan HAM jadi begitu suci. Keadilan itu pun jadi yang transenden sekaligus immanen.

Keadilan sebagai HAM konstitusional NKRI terkini jadi kesatuan konteks dengan sustainability sebagai HAM “kesehatan lingkungan hidup dan pelayanan kesehatan… mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Keadilan itu juga tak lepas dari “pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.” [UUD NRI Thn 1945 Pasal 28D (1-2), 28H (1-2)].

Teori keadilan selama ini telah lama dikenal dari kaum ilmuwan seperti John Rawls (A Theory of Justice, 1971, 1995), Michael Walzer, (Sphere of Justice, 1983) dan Henryk Skolimowski (Eco-Social Justice, Living Philosophy, Eco-Philosophy as Tree of Life, 1992) dan seterusnya. Keadilan dalam teori-teori itu tampak masih perlu ditata-ulang ke dalam teori hukum Indonesia saat ini. Konteks situasi lokal, nasional, dan global terus berkembang pesat. Dengan itu juga jadi berimplikasi langsung dan tak-langsung secara praktis dan teoritis terhadap konsep keadilan yang selama ini dipahami, khususnya dalam filsafat, teori hukum, politik, ekonomi, dan sosial budaya, serta tentu saja jadi soal nyata ke dalam wujud praktis.

KEADILAN EKO-SOSIAL
Konteks terkini keadilan eko-sosial yang telah lama ditekuni para teoritisi, saat ini telah dapat dirumuskan oleh para ahli pikir dunia masa terkini, seperti yang dikemukakan oleh Henryk Skolimowski. Keadilan eko-sosial bersifat esensial tentang alam, bukan hanya yang bersifat instrumental bagi manusia. Relasi internal dari ekologi itu sendiri, setidaknya ada tiga unsur penting yaitu: hewan, tanaman, dan “benda mati” seperti air, tanah, dan udara. Kemudian menjadi lebih rumit lagi adalah pemaknaan hubungan antara alam dengan manusia dan juga dengan masyarakat sebagai entitas. Kritik di dalamnya adalah mengenai “antroposentrisme” yang menjadikan manusia sebagai titik pijak, atau fokus pembicaraan, sehingga keadilan ekologis memisahkan manusia dengan dunianya.

Dua kata kunci penting dalam pemahaman “keadilan eko-sosial” yakni dunia sebagai “tempat suci” (sanctuary) dan hormat terhadap hidup. Pandangan teoritis ini mau menegaskan bahwa dunia ini adalah alam ciptaan yang “baik adanya”. Semua berharga, dan semua mempunyai hak hidup dalam kesaling-ketergantungannya dengan yang lain. Itulah sebabnya semua bentuk kehidupan harus dihargai dan dihormati. “Keadilan eko-sosial” adalah dimensi keadilan yang “lebih luas dan lebih dalam” dari keadilan sosial dan keadilan ekologis. “kesaling-tergantungan hidup” termasuk di dalamnya alam abiotik, atau “benda mati” sebagai keniscayaan dari kehidupan. Kesalingtergantungan ini pun bersifat dinamis, karena bergerak evolutif. Keadilan eko-sosial ini adalah penghargaan, pengakuan, dan perlakuan yang baik terhadap hidup dari semua yang ada di alam ini, baik sebagai individu atau spesies, maupun dalam kebersamaan atau kesatuannya dalam relasi yang saling-tergantung. Dalam prinsip antropik, manusia mempunyai peran penting dalam mewujudkan keadilan eko-sosial sebagai proses yang terus berlanjut dalam kesalingtergantungan. Begitu mengenai teori keadilan eko-sosial dari Henryk Skolimowski yang antara lain diuraikan dalam tulisan Rm. Andang Binawan SJ (Basis No.05-06, 2015).

Ulasan mengenai debat serius ilmiah antara Walzer dkk yang melawan kaum Rawlsian itu, dengan sengaja diajukan di sini untuk menunjukkan bahwa masih ada kerja yang “belum selesai” dalam formula “kepastian hukum yang adil” sebagai HAM. Implikasi praktis terapannya, bisa jadi berakibat pada terjadinya pelanggaran HAM tentang kepastian hukum. Sebab, di dalam praktiknya tidak ada jaminan bahwa semua hukum yang telah diputuskan secara berkepastian-tetap (inkracht) lalu bisa diterima sebagai yang sekaligus juga benar-benar adil secara transenden dan immanen. Kebenaran hukum yang diputuskan pengadilan atau pejabat negara yang berwenang, bisa jadi hanya benar karena telah diputuskan oleh otoritas pejabat yang sah. Kebenaran seperti itu, menurut hemat Penulis (NS), jadinya bisa disebut hanya sekadar sebagai “kebenaran otoritatif dekoratif” tentang keadilan (Nikolas Simanjuntak, 2009: 321-331).

Kinerja HAM/hukum selalu masih berlangsung dalam pertarungan panjang yang rumit penuh liku-liku. Di dalamnya, selalu berlangsung rangkaian adu-tarung panjang dengan nafas panjang agar keadilan benar-benar bisa memenuhi syarat kualitatif nilai keadilan bagi pemuliaan kemanusiaan yang beradab luhur mulia seperti selalu dimaksudkan oleh HAM (Nikolas Simanjuntak, 2018: 218-222).

 

Nikolas Simanjuntak
(Pengajar Hukum & HAM, Advokat, Staf Ahli di DPR RI sejak tahun 2000, Penulis Buku “Sirkus Hukum” 2009 dan “HAM Pertarungan Peradaban, 2018)

Artikel ini sudah dimuat dalam GSS vol.14 no.5

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here