Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
Menurut para humanis, negara harus didasarkan pada pemerintahan sekuler (secular polity). Sebagaimana ditegaskan Alan Haworth, pemerintahan sekuler terejawantah apabila mempunyai rancangan undang-undang, desain lembaga sosial dan politik, dan operasional institusi. Terkait hal ini, prinsip sekularitas (the secularity principle) menekankan supaya tidak ada diskriminasi yang berpihak pada agama tertentu. Selain itu, orang tidak boleh didiskrimasi karena memegang keyakinan tertentu. Prinsip sekularitas tersebut dipahami Alan Haworth sebagai pengejawantahan semangat masyarakat sekuler (secular society) dan negara sekuler (secular country).
Gagasan mengenai pemerintahan sekuler dimulai pada akhir abad XVIII. Hal ini dapat dilihat dalam Deklarasi Prancis mengenai Hak Asasi Manusia dan Warga Negara. Deklarasi Prancis menegaskan bahwa tidak ada yang boleh diganggu karena pendapat atau agamanya, asalkan manifestasinya tidak mengganggu ketertiban umum sebagaimana ditetapkan oleh hukum. Contoh pemikiran yang kontras dengan pemerintahan sekuler adalah Konstitusi Iran dan Konstitusi Arab Saudi.
Bentuk pemerintahan Iran adalah Republik Islam. Berdasarkan pasal kedua Konstitusi Iran ditegaskan bahwa Republik Islam merupakan sistem yang didasarkan pada sejumlah keyakinan. Pertama, tidak ada Tuhan selain Allah, di mana Allah mengatur segala sesuatu dan manusia harus tunduk kepada-Nya. Kedua, wahyu ilahi berperan menetapkan hukum. Ketiga, kembali kepada Allah di akhirat atau perjalanan manusia menuju Allah. Keempat, keadilan Allah dalam penciptaan dan hukum. Sedangkan Konstitusi Arab Saudi menegaskan bahwa kerajaan Arab Saudi adalah negara Arab Islam yang berdaulat dengan Islam, di mana Al-Qur’an dan Sunnah Nabi merupakan konstitusinya.
Perlu diketahui bahwa ada upaya untuk memasukkan gagasan di mana Eropa adalah benua Kristen ke dalam Konstitusi Eropa. Selain itu, menurut seorang politisi Inggris, Inggris adalah negara Kristen. Upaya dan pendapat tersebut memerlihatkan bahwa anti-sekularisme masih hidup. Berhadapan dengan realitas tersebut, Alan Haworth meyakini institusi sekuler dapat mendorong keterbukaan (openness). Keterbukaan pada tataran tertentu memungkinkan religiositas hidup berdampingan dengan konstitusi sekuler.
Pada dasarnya sekularitas dalam operasional lembaga perlu diwujudnyatakan. John Stuart Mill (1806-1873) memberikan ilustrasi terkait pentingnya sekularitas dalam operasional lembaga. Mill menggambarkan George Holyoake dan Edward Truelove dihina oleh hakim. Hal ini terjadi karena mereka mengakui tidak mempunyai kepercayaan teologis (theological belief). Sedangkan Baron de Gleichen tidak memeroleh keadilan karena alasan yang sama. Menurut Mill, perlakuan seperti itu setara dengan menyatakan orang-orang tersebut sebagai penjahat dan dikecualikan dari perlindungan pengadilan.
Mill juga memberikan contoh terkait desakan yang dilakukan dewan kota Bideford supaya doa diucapkan pada awal pertemuan resmi. Terkait hal ini, salah satu anggota dewan kota yang adalah seorang humanis merasa keberatan. Hal ini memerlihatkan kegagalan memperlakukan setiap warga negara dengan rasa hormat yang sama. Selain itu, tindakan tersebut kontras dengan argumen positif sekularitas, yaitu keadilan dan pluralitas.
Sumber Bacaan:
Haworth, Alan. “Humanism and the Political Order.” Dalam Andrew Capson dan A.C. Grayling. The Wiley Blackwell Handbook of Humanism. Chichester: John Wiley & Sons, 2015, hlm. 255-279.
Top. Sukses terus kedelapan yah