Oleh: P. Yulius Fery Kurniawan OFM
Tidak mudah sebenarnya bagi kami untuk menguraikan gerakan mesianisme di Indonesia. Sekurang-kurangnya ada beberapa faktor penyebabnya. Pertama, istilah mesianisme sendiri termasuk ke dalam wawasan dunia Yudeo-Kristiani, apalagi kedua wawasan ini memiliki perbedaan yang tajam. Dilihat dari perspektif keagamaan, menyematkan konsep mesianisme ke konteks Indonesia bersifat rekonstruksi yang bersifat analogis, untuk tidak mengatakan ‘pemaksaan’. Kedua, melihat tidak mungkin menunjukkan secara langsung perihal kebudayaan Indonesia kecuali menemukan kecenderungan umum yang dihidupi pelbagai kebudayaan lokal di Indonesia, maka penjabaran perihal mesianisme di Indonesia tidak lain juga bersifat rekonstruktif.
Kesulitan cukup teratasi karena kami meyakini dalam lapisan terdalam manusia selalu hidup suatu harapan akan menangnya kebaikan dan keadilan dalam dunia ini maupun dalam suatu kondisi yang melampaui dunia. Kemenangan itu bukan hanya membutuhkan peran aktif manusia, tetapi melampaui daya upaya insani sehingga akan gagal sama sekali tanpa adanya intervensi adi-kodrati. Sejauh ini menjadi fakta[1] antropologis paling radikal, dan kemudian fakta-fakta lainnya mengalir daripadanya sebagai yang sekunder, maka kita dapat berbicara mengenai mesianisme di Indonesia sekurang-kurangnya secara analogis.
Tulisan ini akan kami bagi menjadi beberapa bagian. Pertama, kami akan menunjukkan karakteristik dari mesianisme Yahudi-Kristiani. Kedua, penjabaran mengenai sejarah ‘gerakan mesianisme’ di Indonesia. Ketiga, kami akan menunjukkan kesesuaian antara mesianisme Yudeo-Kristiani dan gerakan mesianisme di Indonesia. Keempat, penutup tulisan yang terdiri dari rangkuman dan kesimpulan.
MESIANISME YAHUDI
Mesianisme Yahudi merupakan konsep yang tidak sekali jadi, tetapi mengalami pembentukan dalam konteks sejarah. Pada mulanya, mesias (mashiach: yang diurapi dengan minyak zaitun) mengacu pada upacara pelantikan, sebagai tanda bahwa orang yang diurapi dijadikan milik Yahwe dan diberi tugas khusus sebagai wakil-Nya.[2] Misalnya imam besar dan para imam. Ketika bangsa Israel memasuki fase kerajaan, pengurapan itu dilakukan kepada seorang raja. Perubahan konsep tersebut selalu beriringan dengan gerakan perlawanan terhadap penguasa yang dianggap menindas pada saat itu.
Sekurang-kurangnya dalam Yudaisme terdapat tiga tradisi yang berpengaruh dalam proses pembentukan konsep mesianisme.[3] Pertama, tradisi mitos kerajaan yang memberikan legitimasi pada pemerintahan dalam bentuk monarki melalui kisah-kisah mitis. Tradisi ini berkembang secara umum dalam kerajaan-kerajaan Timur Dekat Kuno. Kedua, tradisi raja populer. Tradisi ini merupakan sebentuk perlawanan terhadap tradisi mitos kerajaan dengan cara menampilkan sosok raja dari kalangan biasa tetapi dipilih Allah melalui upacara pengurapan. Daud merupakan sosok utama dari tradisi raja populer. Ketiga, tradisi eksodus dan perjanjian Sinai yang mendasarkan harapan rakyat pada peristiwa pembebasan dari penjajahan Mesir dan perjanjian Musa di Gunung Sinai. Para Nabi seperti Amos, Yeremia Elia, dan Elisa merupakan tokoh-tokoh yang mewarisi tradisi ini dan melaluinya menentang kekuasaan kerajaan-kerajaan. Ketiga pola ini selalu tampil dalam setiap peralihan kekuasaan dalam sejarah bangsa Israel. Ada kalanya yang satu menentang yang lainnya, tetapi ada kalanya saling berkombinasi.
Mengingat dalam Yudaisme gerakan politik dan keagamaan seringkali berjalan dalam satu jalan, maka tidak cukup bila memahami harapan mesianik terlepas dari perspektif teologis. Sebab dalam masa penjajahan Mesir; pada saat mengalami pengembaraan 40 tahun di padang gurun; berlanjut pada saat pembuangan ke Babel; hingga sampai penghancuran Bait Allah kedua, harapan Bangsa Yahudi akan Yahwe pada akhirnya mengerucut pada kemunculan seorang tokoh utama yang akan membawa mereka kepada masa kejayaan. Singkatnya justru dalam pengalaman penderitaan dan ketertindasan, harapan mesianik sebagai suatu disposisi batin maupun gerakan bertumbuh subur. Yahwe yang berpihak pada umat-Nya yang tertindas menemukan personalitasnya dalam sosok Daud, seorang penggembala dari kalangan rakyat jelata, yang diurapi menjadi Raja Sion.
Yahwe kemudian memberikan jaminan bahwa kejayaan dan perdamaian akan terwujud melalui wangsa Daud: “Aku akan membangkitkan keturunanmu yang kemudian, anak kandungmu, dan Aku akan mengokohkan kerajaannya” (Bdk. 2 Sam. 7: 12-13; 1 Taw. 7: 14; Mzm. 2: 6-9). Apabila nubuat di atas tersebut dipahami dalam keseluruhan konteks perikop, maka akan kelihatan dua hal.[4] Pertama, Kerajaan wangsa Daud bisa direduksi kepada suatu pemerintahan teokratis. Kedua, keturunan Daud secara tak terceraikan terikat oleh Kerajaan Yahwe. Di satu pihak harapan mesianik memberi ruang bagi terbentuknya suatu negara Israel dengan sistem pemerintahan dan kekuasaan teritorial berdaulat. Di lain pihak, bentuk dan saat perwujudan Kerajaan Yahwe hanya dapat diketahui dan dilaksanakan semata-mata oleh rancangan dan kehendak Yahwe. Di sini sudah kelihatan bahwa dalam perspektif orang-orang Yahudi harapan mesianik bersemayan dalam dimensi ruang dan atau waktu.
Dalam perkembangan selanjutnya, kombinasi tradisi raja populer Daud dengan tradisi Sinai akhirnya yang paling mendominasi konsep tentang mesianisme.[5] Kegagalan raja-raja sesudah Daud dan pembuangan ke Babilonia mengarahkan ingatan bangsa Israel akan suatu masa kejayaan kembali yang dikaitkan dengan zaman Kerajaan Daud. Sedangkan pengalaman berulangkali dijajah membangkitkan harapan akan eksodus seperti yang pernah dilakukan Yahwe melalui hambanya Musa. Mesias berkembang menjadi sintesis antara sosok ideal seorang Raja sekaligus Nabi. Gambaran mesianik tersebut menjadi warisan yang hidup dan terinternalisasi dalam setiap orang Yahudi. Dalam perspektif antropologis, nubuat mengenai Mesias bukanlah semacam “ramalan”, suatu “rancangan” masa depan, melainkan suatu sarana berpikir berdasarkan keadaan nyata, sewaktu umat Israel mengungkapkan pengharapannya.[6]
Dalam pengharapan yang tidak bisa dirancang seturut ukuran insani—Yahwe saja yang tahu dan mampu—tampaklah pandangan Yahudi mengenai waktu. Waktu dipandang sebagai pembawa kesinambungan dan unsur masa depan lebih ditekankan. Sebab bangsa Yahudi menghayati suatu janji dan nubuat dari Yahwe yang akan terlaksana di masa depan dengan terwujudnya suatu perdamaian abadi.
Namun beberapa kalangan Yahudi lainnya lebih menekankan dimensi ruang dalam rangka pengharapan mesianiknya. Gerakan zionisme yang ingin mewujudkan negara Israel yang berdaulat dan menguasai dunia dilatarbelakangi oleh penghayatan akan pentingnya dimensi ruang. Bahaya dari gerakan mesianik berorientasi ruang memiliki bahaya religiositas dan etika tunduk oleh kepentingan politis. Sebaliknya apabila harapan mesianik dalam dimensi ruang dipahami dalam kerangka dimensi waktu, maka pemenuhan total harapan mesianik tetap dipandang sebagai janji dan anugerah Yahwe semata.[7]
Sejumlah filsuf Yahudi yang banyak mengambil inspirasi dari para Rabbi secara umum menundukkan dimensi ruang pada waktu. Harapan mesianik dan maksud Yahwe tidak akan bisa dipahami. Perdamaian dan keadilan abadi seperti dibayangkan dalam Kerajaan Daud, bahkan merujuk pada situasi asali di Firdaus,[8] akan dipulihkan kembali di masa depan. Sedangkan upaya mengetahui Allah dan rencana-Nya akan berujung pada jalan buntu. Jalan yang ditawarkan Yahwe bagi manusia adalah menghayati pengharapan mesianik itu dalam tindakan etis. Mereka dipanggil untuk menghayati Shema Israel sembari mengupayakan sebisa mungkin keadilan dan tanggung jawab kepada orang asing dan miskin, para yatim-piatu, dan janda. Manusia diikutsertakan dalam rencana maha besar Yahwe.
MESIANISME KRISTIANI
Mesianisme Yahudi bertumpu pertama-tama pada keyakinan bahwa Yahwe setia kepada perjanjian-Nya dengan Israel. Perjanjian itu bukan hanya menyangkut perwujudan kerajaan damai di dunia, tetapi juga terarah pada keselamatan eskatologis. Baru kemudian dalam rangka pelaksanaan seluruh janji Yahwe ini muncul keyakinan akan adanya seorang tokoh manusiawi yang tampil ke muka.[9] Tokoh tersebut lalu diyakini sebagai pewaris tahta Daud, sosok raja ideal bangsa Israel yang diurapi oleh Yahwe melalui nabi-Nya, Samuel. Namun Perjanjian Baru tidak menggunakan secara langsung dasar-dasar biblis dalam mesianisme Yahudi untuk menunjukkan status mesias Yesus Kristus.[10]
Tradisi mesianik-raja populer yang mendapatkan pendasaran kokoh dalam nubuat Natan (Bdk. 2 Sam. 7:14) dikutip dalam 2 Kor. 6: 18 tetapi tidak dalam konteks Yesus Kristus sebagai mesias. Nubuat itu diulangi dalam Mzm. 89 dan 132, tetapi tidak pernah dikutip dalam Perjanjian Baru. Beberapa kutipan Mazmur 2, 110, 132 digunakan Perjanjian Baru dalam rangka menunjukkan kemuliaan Yesus sebagai raja yang begitu dekat dengan Yahwe, tetapi tidak memiliki kaitan langsung dengan nubuat Natan dan tema mesianisme. Beberapa ayat kitab Yesaya (7:10-17; 9:1-6; 11:1-9) juga dikutip dalam Perjanjian Baru (Bdk. Mat. 1:23, 11:10; Rm. 15:12), tetapi terlepas dari nubuat tentang wangsa Daud dan mesianismenya. Amos 9: 11-12 yang sering dihubungkan dengan harapan mesianis diartikan secara lain dalam Kis. 15:16-18. Dengan semua perbandingan ini hendak dikatakan bahwa Perjanjian Baru tidak mendasarkan status mesias Yesus secara langsung pada tradisi Perjanjian Lama.
Mesianisme Kristiani mendasarkan secara langsung pada keyakinan bangsa Yahudi di zaman Yesus dan jemaat Perdana. Mesianisme pada zaman itu mengambil pandangan komunitas Qumran. Menurut komunitas itu sosok Mesias merupakan kombinasi dari mesias imam (dari keturunan Harun) dan mesias rajawi (dari keturunan Daud). Namun sosok mesias Nabi yang sudah dihidupi bangsa Yahudi sejak lama juga turut ambil bagian dalam membentuk gambaran mesianisme Kristiani. Dapat dipahami kemudian apabila sosok Mesias sebagai nabi, raja, dan imam turut mempengaruhi gambaran Injil mengenai pelayanan dan gerakan mesianik Yesus.[11]
Status mesias (Yunani: Chrystos) Yesus juga dipengaruhi pandangan dalam Kitab Daniel 7 dan Kitab Henokh. Mesias sebagai sosok yang yang diurapi dan dipilih Yahwe diyakini berwajah manusiawi. Namun anak manusia dalam gambaran Kitab Daniel 7 dan Henokh sekaligus sosok surgawi yang datang untuk menjalankan pengadilan akhir zaman dan mewujudkan dunia yang baru. Artinya, Gereja Perdana dan penyusun Injil mengkombinasikan antara mesias duniawi dan mesias eskatologis-surgawi. Dengan demikian, Yesus Kristus diyakini sebagai keturunan Daud yang diurapi dan dipilih Yahwe untuk mewujudkan kerajaan damai yang melampaui kategori ruang dan waktu dunia, sekaligus sebagai pelaksana pengadilan akhir.
Pemisahan paham mesianisme Yahudi dengan mesianisme Kristiani sangat kentara dalam Injil Yohanes yang merubah harapan mesianik Yahudi menjadi klaim kristologis.[12] Klaim kristologi ini terus mewarnai pemahaman mesianisme para Bapa Gereja, teolog Abad Pertengahan dan teologi Kristiani pada umumnya yang menafsirkan nubuat Perjanjian Lama dalam kerangka kristologi. Bagi agama Yahudi, nubuat mesianik dan kalau mempribadi dalam sosok manusia tidak dapat ditentukan secara definitif oleh manusia. Sedangkan dalam agama Kristiani nubuat mesianik menjadi nyata dan definitif dalam sosok pribadi Yesus Kristus, yang bukan hanya insani melainkan sekaligus ilahi.
Sekalipun demikian, keyakinan akan kedatangan Kristus yang kedua kali dalam iman Kristiani menunjukkan arah yang sama dengan Yudaisme, bahwa janji Yahwe sudah dimulai tetapi belum sampai pada kepenuhannya. Keduanya tetap menantikan mesianisme menyeluruh yang kapan terjadinya hanya Yahwe yang tahu. Doa Qaddis yang biasa dikumandangkan di Sinagoga, salah satunya memohon kedatangan Mesias. Dalam pemahaman dan cara yang berbeda dikumandangkan juga oleh umat Kristiani, “Ia yang memberi kesaksian tentang semuanya ini, berfirman: ‘Ya, Aku datang segera!’ Amin, datanglah, Tuhan Yesus” (Why. 22:20).
Pengharapan akan kedatangan kedua kali Yesus Kristus juga tidak bisa diketahui oleh manusia, bagaikan pencuri yang datang di malam hari (Bdk. Mat. 24: 42-44). Manusia berserta sewluruh ciptaan tetap berseru-seru kepada Tuhan, memohon datangnya saat segala sesuatu dipulihkan (Rom. 8: 19-23). Akan tetapi seruan tidaklah cukup, karena pelaksanaan hukum cinta kasih yang membuka kemungkinan setiap orang untuk mengalami secara penuh Kerajaan-Nya (Bdk. Mat. 7:21). Selama di dunia, Allah menyediakan jalan bagi manusia untuk mengalami personalitas Kristus dalam diri orang-orang miskin, menderita, tertawan, telanjang, dan kelaparan (Bdk. Mat. 25: 40).
GERAKAN MESIANISME DI INDONESIA
Dari uraian perihal mesianisme Yahudi dan Kristiani di atas, kita bisa menemukan beberapa karakteristik umum. Pertama, kedua tradisi agama ini sama-sama memiliki struktur mesianik dalam arti memiliki harapan akan datangnya keadilan dan perdamaian abadi yang sudah dimulai di dunia tetapi sekaligus melampaui dunia (dimensi ruang), tanpa bisa diprediksi saat pemenuhannya (dimensi waktu). Kedua, selain mempersoalkan dimensi ruang dan waktu, mesianisme pada umumnya terarah pada munculnya seorang pribadi yang membebaskan dan mampu mewujudkan kerinduan terdalam pengikutnya. Ketiga, harapan mesianik tidak dimaksudkan sebagai suatu pasivitas total dari pihak manusia, tetapi menyertakan tindakan manusia sekalipun pemenuhan secara sempurna tetap bergantung pada tindakan Allah. Oleh karena itu, harapan mesianik seringkali mendorong gerakan baik yang bersifat sosio-politik maupun ritual-kerohanian, atau kombinasi antara keduanya. Keempat, harapan dan gerakan mesianik bersifat antropologis. Artinya, harapan itu muncul dalam situasi batas, ketika manusia mengalami penderitaan, penindasan, kegagalan, dan ketidakberdayaan tetapi masih memiliki keyakinan akan masa depan yang lebih baik.
Pelbagai gerakan di Indonesia dapat diberikan sifat mesianik sejauh memenuhi sebagian atau keseluruhan empat karakteristik di atas. Sekalipun akar gerakan itu cenderung lebih dekat pada hinduisme, kekristenan, budhisme, islam[13] atau percampuran pelbagai tradisi keagamaan dan kepercayaan, karakteristik umum tetap menjadi tumpuan perbandingan. Dalam kenyataannya, pelbagai gerakan mesianik di Indonesia dilatarbelakangi oleh suatu paham yang menyintesakan lebih dari satu tradisi agama dan kepercayaan tertentu.
1. Mesianisme dalam Wacana Ratu Adil
Kami berangkat dari wacana tentang Ratu Adil karena paham ini muncul secara berulang-ulang, memenuhi keempat karakteristik umum di atas, dan menjadi suatu gerakan politis yang merata terjadi di Pulau Jawa. Hal menarik lainnya adalah pelbagai pola gerakan mesianik pada abad ke-19 sampai 20 di Jawa pada umumnya selalu dijiwai oleh wacana Ratu Adil yang sebenarnya berasal dari kebudayaan tradisional. Adanya konsistensi ini memudahkan dalam menarik karakteristik umum dan kontinuitas sejarah gerakan mesianik.
Sosok Ratu Adil merepresentasikan gerakan milienarisme, yang diyakini sebagai juru selamat (mesianisme), memenuhi nubuat kenabian (profetisme), bersifat lokal (nativisme) dan bermaksud menghidupkan kembali semangat yang hilang (revivalisme dan revitalisme).[14] Serupa dengan masyarakat Yahudi dalam dunia Perjanjian Lama dan pada masa Yesus Kristus, wacana Ratu Adil muncul dan semakin menguat dalam konteks sosio-politik di Jawa yang meresahkan, membingungkan, dan di ambang keruntuhan. Keserupaan lainnya adalah Ratu Adil bukan muncul dari proses peradaban belaka, melainkan terutama membutuhkan intervensi Yang Ilahi.[15]
“Serat Kalatida” menunjukkan kemunculan Ratu Adil membawa manusia dari zaman Kala Bendu (zaman Edan, kutukan ) yang penuh rubeda (huru-hara) menuju zaman Kerta (zaman kebahagiaan). Menurut Sartono, harapan akan munculnya zaman keemasan (milleniarisme) sudah ada sebelum adanya pengaruh dari Islam dan Barat.[16] Bersumberkan pada mitos Hindu-Jawa, sejarah universal bergerak dari Kertayuga (zaman keemasan) di masa lampau, merosot menjadi Kaliyuga (zaman edan), lantas kembali lagi ke Kertayuga, dan demikian terus berlangsung secara siklis. Sedangkan, Erucakra (Ratu Adil) selalu muncul dalam setiap alur siklis sejarah tersebut, kemudian ia ditindas penguasa, menghilang, muncul kembali, dan demikian seterusnya.
Serat Kalatida menggambarkan tanda-tanda dari setiap tahap zaman tersebut demikian: “Amenangi zaman edan / Ewuh aya ing pambudi / Milu edan nora tahan / Yen tan milu anglakoni / Boya kaduman melik / Kaliren wekasanipun…” (Hidup di zaman edan / sungguh bikin bingung tidak karuan /mau larut hati takut / tak ikut melarut / tak akan kebagian apapun jua /akhirnya hanya kelaparan yang diderita…).[17] Ungkapan ini bisa dibayangkan terjadi pada masyarakat yang mengalami penjajahan, transisi kekuasaan atau perubahan dari kebudayaan tradisional ke modern.
Perubahan dari zaman Kala Bendu ke zaman Kerta disebut salining zaman. Periode ini merupakan saat-saat kritis. Setiap orang dapat terjerumus dalam kenistaan tetapi juga bisa melewati dengan berhasil, tergantung pada pilihannya. Sikap yang harus dimiliki adalah tahu diri dan berjaga-jaga, sebagaimana dinyatakan dalam Serat Kala Tida: “Begja-begjane kang lali / Luwih Begja kang eling lan waspada” (Bagaimanapun bahagianya orang lupa / Lebih bahagia orang yang ingat dan waspada). Serupa dengan sikap berjaga-jaga yang dituntut Yesus kepada pengikut-Nya selama menantikan kedatangan-Nya yang kedua kali.
Selain berjaga-jaga, agar bisa melewati zaman Kala Bedu menuju zaman baru (Kerta), manusia diajak untuk berdoa: “Ya Allah ya Rasullulah / Kang sipat murah lan asih / Mugi-mugi aparinga / Pitulung ingkang martini / Ing Alam awal akhir / Dumuning gesang ulun / Mangkya sampun awredha / Ing wekasan kadi pundi / Mula mugi wontena pitilung Tuwan” (Ya Allah ya Rasulu’llah / yang bersifat murah dan asih / sudilah menganugerahi / Pertolongan bagi hambamu / di saat awal akhir / sudah tualah hamba ini / tak tahu bagaimana akhirnya nanti / maka hanya pertolongan-Mu yang kami nanti).[18] Pelbagai ungkapan penantian melalui ritus dan doa ini mirip dengan mesianisme Yahudi yang melihat adanya sosok imam-mesias yang saleh dan wakil umat dalam menghunjukkan persembahan serta kurban penebus kepada Allah dalam ritual peribadatan.
Mirip dengan ritus pengurapan dalam tradisi Yudeo-Kristiani, seseorang dapat diakui sebagai Ratu Adil apabila telah mendapatkan wangsit, semacam ilham atau wahyu, dalam wujud sinar pulung atau ndaru.[19] Secara mitis, ilham itu mewujud dalam bentuk bola sinar kebiru-biruan sebesar kelapa. Ndaru, sinar gaib yang datang pada malam hari merupakan pertanda rezeki besar bagi penerimanya. Sedangkan pulung, cahaya mirip bintang jatuh merupakan pertanda kekuasaan bagi penerimanya. Pada pokoknya, Yang Ilahi menginspirasi dan memilih seseorang sebagai Ratu Adil yang akan mengembalikan tatanan masyarakat yang rusak menjadi harmonis.
Nubuat kenabian mengenai kedatangan Ratu Adil seringkali dirujukkan pada ramalan Raja Jayabaya dan Jangka Ranggawarsita. Sindhunata[20] mengacu pada serat Dandhanggula bait 11, menggambarkan bahwa sebelum datangnya zaman keemasan, akan datang suatu kekacauan kosmik dan konflik habis-habisan. Dalam bait 12 disebutkan kemunculan Ratu Sakti yang akan membinasakan penyebab semua kekacauan itu. Akhirnya bait 14 menggambarkan suatu dunia Jawa yang berlimpah sandang, papan, pangan, dan mengangkat martabat orang miskin (gemah ripah, loh jinawi, mudah sandang, pangan lan papan, tata-titi-tentrem, karta raharja). Dikaitkan dengan serat Kakawin, pencapaian menuju zaman keemasan itu (Kertayuga) harus melalui suatu perjuangan berdarah, dengan Ratu Sakti sebagai pemimpinnya. Dalam artian ini bisa dipahami apabila dalam kemunculan wacana Ratu Adil seringkali disertai dengan gerakan revolusioner yang menumpahkan darah.
Dapat dikatakan bahwa nubuat dan sosok raja yang adil nan saleh dalam wacana Ratu Adil memiliki kemiripan dengan sosok mesias yang mengkombinasikan sosok ideal seorang raja, nabi, dan imam. Sartono mengungkapkannya demikian: “…dalam kebudayaan Jawa, harapan-harapan millenarian yang tersembunyi sangat mendorong ke arah munculnya tokoh-tokoh prophetic. Mereka itu kebanyakan adalah orang-orang yang terkenal sebagai guru ilmu, kiai, atau orang suci yang pada umumnya memiliki karisma…apa yang sebenarnya mereka lakukan adalah mengajukan teknik agama untuk mempercepat datangnya milleniarium, misalnya mengadakan selamatan, upacara agama mistik, membagi-bagikan jimat, melakukan puasa, dsb… Di samping hidupnya kembali nilai-nilai tradisional, para millenarian biasanya mengidamkan suatu masyarakat yang ideal dan meromantiskan zaman yang akan datang sebagai zaman keemasan.”[21]
Kemiripan lain dengan mesianisme Yahudi adalah sosok “raja populer”. Wacana Ratu Adil tidak jarang merupakan bentuk perlawanan terhadap kekuasaan yang mapan. Gerakan-gerakan politis yang menyertai wacana Ratu Adil menunjukkan suatu cara pandang yang menekankan dimensi ruang, sebagaimana juga dihayati oleh sebagian bangsa Yahudi, yang mereduksi keharmonisan dalam lingkup dunia sekarang ini. Menurut Benedict Anderson pola sejarah sosio-politik yang siklis dalam wacana Ratu Adil tetap tercetak dalam situasi politik di Indonesia Modern. Pola siklis itu mengambil bentuk dalam pola kekuasaan yang bergerak di antara dua kutub: konsentrasi kekuasaan dan pemendaran kekuasaan.[22] Pergantian berulang-ulang rezim dalam sejarah politik Indonesia ditafsirkan sebagai perwujudan simbol mitis dari paham tentang Ratu Adil.[23]
Seperti mesianisme Yahudi yang melihat masa kejayaan dalam bayang-bayang pemerintahan Raja Daud, demikian juga wacana Ratu Adil bersifat tradisional.[24] Artinya harapan mesianik merupakan utopia tentang masa lalu yang indah dan gerak kembali kepada keluhuran tradisi lampau. Namun perbedaannya juga ada. Apabila Ratu Adil kemunculannya bersifat sementara dan berulang-ulang, hal ini merupakan konsekuensi dari pola sejarah yang siklis. Sedangkan dari perspektif Yahudi, kegagalan orang-orang yang mengklaim diri mesias sekedar menunjukkan identitas mereka sebagai mesias-mesias palsu.
Pertanyaan yang tersisa adalah apakah wacana Ratu Adil mengenal suatu harapan akan datangnya zaman keemasan yang sifatnya abadi—jadi memotong sejarah siklis tanpa ujung? Apakah masa perdamaian itu hanya bersifat sementara saja di dunia ini atau akan datang saatnya, entah kapan, perdamaian abadi yang tidak akan merosot lagi ke zaman edan? Sebagaimana terjadi dalam proses pembentukan mesianisme Yudeo-kristiani yang dinamis, wacana Ratu Adil juga mengalami perubahan dari sekedar wacana mengenai pola sejarah masyarakat dan kekuasaan menjadi pengharapan eskatologis.
Sindhunata menerangkan penghayatan eskatologis dalam Ratu Adil dari sudut antropologi-eksistensial.[25] Peralihan dari zaman edan (Kaliyuga) ke zaman keemasan (Kertayuga) sebenarnya menunjukkan pengalaman eksistensial manusia dalam menghayati sejarah yang selalu bergerak dan karenanya membutuhkan harapan. Harapan itu tidak kosong karena harapan akan masa depan yang baik mengacu pada suatu masa yang pernah ada, tetapi saat ini masih belum terwujud lagi karena sedang diperjuangkan.[26] Cara berpikir ini selaras dengan harapan eskatologis Yudeo-Kristiani yang melihat pemenuhan eskatologis sebagai suatu pemulihan ke situasi asali, ketika manusia belum dikuasai kejahatan dan dosa. Jadi, sosok Ratu Adil mempersonifikasikan faktisitas manusia yang hidup dalam tegangan antara penderitaan dan harapan bahwa penderitaan bukan kata akhir.[27]
2. Sejarah Gerakan Mesianisme di Indonesia
Memang terdapat dimensi eskatologis dalam wacana Ratu Adil, tetapi dalam kenyataannya gerakan sosio-politik lebih sering ditekankan. Dengan kata lain status “yang tidak dapat diprediksi” dari wacana Ratu Adil diturunkan, diberi isi, dan digunakan untuk melegitimasi gerakan melawan status quo. Pola gerakan semacam Ratu Adil ini juga muncul di pelbagai daerah di Indonesia. Jadi, pelbagai karakteristik yang disematkan pada wacana Ratu Adil tidaklah eksklusif terjadi dalam masyarakat Jawa, tetapi dapat ditemukan di beberapa daerah di Indonesia. Namun dalam situasi yang kurang lebih sama, gerakan mesianisme ini selalu muncul dalam rangka perjuangan melawan penindasan. Di sini kami hanya akan menunjukkan seperlunya saja berdasarkan periodisasi sejarah.
Pada periode kolonialisme Belanda, munculah tokoh mesianik seperti Pangeran Ontowiryo atau yang dikenal Diponegoro (1785-1855).[28] Melalui mimpi, ia bermimpi dipilih Allah menjadi Wali Wudhar kesembilan. Dalam tradisi Islam-Jawa, Wali Wudhar merujuk kepada sosok nabi. Berdasarkan petuah Kyai Rahmanuddin, Diponegoro melengkapi kedelapan wali sebelumnya, yakni: Ibrahim, Nuh, Musa, Yesus, Muhammad, Sunan Giri, dan Sultan Agung. Legitimasi kepemimpinanya juga mendasarkan pada ramalan Jaya Baya yang menubuatkan munculnya Erucakra (Ratu Adil) di tanah Jawa. Berkat upayanya dalam membangkitkan iman Islam ke dalam hati rakyat, Diponegoro mendapatkan dukungan penuh dari para Kyai dan Santri dalam melawan hegemoni Kesultanan Yogyakarta dan Pemerintah Belanda.
Di sepanjang wilayah Bojonegoro, Pati, Blora dan Rembang munculah sosok Nabi bernama Samin Surosentiko (1859-1914).[29] Ia mengajarkan filsafat keutamaan hidup yang berfokus pada kerendahan hati, kejujuran, dan hak ulayat tanah. Dia dan pengikutnya, Kaum Samin, melakukan perlawanan bukan hanya kepada pemerintah Kolonial Belanda, melainkan juga kepada dominasi para Santri yang mereka pandang menganut “agama asing”. Perlawanannya terhadap pemerintahan membuat ia dibuang ke Sumatera sampai akhir hidupnya. Gerakan Samin ini tetap bertahan sampai sekarang dan terus menghidupi harapan akan kedatangan kembali mesiasnya, Samin Surasentiko.
Dalam kurun waktu yang sama sosok nabi-mesianik juga tampil di wilayah Sumatera Utara dalam diri Si Sisingamangaraja XII (1849-1817), Somalaing Pardede (1840-1896), dan Nas Siak Bagi.[30] Ketiga-tiganya merupakan tokoh kharismatik yang memimpin rakyat Sumatra Utara melawan kolonialisasi dan kristenisasi. Penganut agama populer “Malim” meyakini adanya Dewa tertinggi yang disebut Mula Jadi Na Bolon. Dewa ini lalu melahirkan Bathara Guru (Dewa keadilan yang menciptakan dunia), Soripata (dewa belaskasih) dan Mengala Bulan (Tuhan atas Kejahatan). Si Singamangaraja XII dipercaya sebagai keturunan Bathara Guru yang menjadi perantara antara dunia manusia dan dewa-dewa. Ia merupakan pemimpin utama gerakan rakyat Batak melawan Belanda selama 30 tahun dan berakhir setelah kemudian ia mati ditembak.
Somalaing Pardede yang sebelumnya adalah penasehat Si Sisingamangaraja XII melanjutkan gerakan melawan Si Bontar Mata (Si Mata Putih/Pemerintah Kolonial Belanda) dan agama Kristen yang diwartakan para misionaris Eropa. Sesudah kematian Sang pemimpin, Somalaing mendapat wahyu dari Jehova—jadi merujuk pada Allah orang Kristiani—untuk mewartakan versi paling tua dari agama Malim. Dalam penghayatannya, agama Malim versi Somalaing ini mensikretiskan ajaran leluhur dengan kekristenan. Karena perlawanannya terhadap pemerintah Belanda, Somalaing ditangkap dan diasingkan ke Banyuwangi. Namun para pengikutnya meneruskan ajarannya dan sebagai akibatnya diasingkan sampai ke Madiun.
Na Siak Bagi mengklaim telah menerima wahyu dari Mula Jadi Na Bolon dan mewartakan versi lain dari agama Malim. Seperti Somalaing, ia juga mengakomodasi kekristenan ke dalam Malim. Ia menyerukan agar orang Batak bertobat dari “dosa asal” dengan memuja Jadi Na Bolon dan menghormati Si Singamangaraja dan dan Na Siak Bagi. Selain itu dilarangnya para pemeluk agama Malim untuk melakukan perzinahan, pembunuhan, pencurian, dan penghinaan terhadap orang miskin.
Pada periode sesudah kemerdekaan muncul ratusan nabi-mesianik, tetapi hanya enam orang yang dapat dipandang sebagai pendiri aliran kebatinan yang cukup besar pengikutnya. Pola gerakannya tidak lagi berbentuk perlawanan terhadap institusi politik, tetapi lebih bersifat mistik dan pengolahan diri. Muhammad Subuh Sumodiwidjojo dari Yogyakarta (lahir 1901) adalah pendiri Susilo Budhi Dharma (Subud).[31] Ia mengklaim sebagai keturunan dari Raja Mataram Islam, Senopati. Menurutnya roh Sunan Kalijaga sering mengunjungi Subuh dan menubuatkan masa depannya sebagai pembimbing spiritual banyak orang. Ia mengajarkan jalan spiritual menuju kebahagiaan dan ketentraman batin serta penyerahan total kepada Allah. Perkumpulan Subud yang didirikannya bukan hanya mendapatkan pengikut dari Indonesia, tetapi ratusan pengikut yang tersebar di Jepang, Hong Kong, Siprus, dan Inggris. Beberapa bukunya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan menjadikannya sebagai fenomena global.
Sunarto dari Yogyakarta (lahir 1899) adalah pendiri aliran kebatinan Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu).[32] Berdasarkan pewahyuan Guru Sejati yang ia terima dari Allah, Sunarto menghidupkan kembali suatu sinkretisme kebijaksanaan Jawa, Budhisme, Islam dan Kristiani. Dalam menjelaskan Allah, Pangestu menggunakan terminolog Kristiani, Tri-purusa (tiga dimensi), yakni: Suksma Kawekas (sumber hidup), suksma sejati (kehidupan sejati yang menciptakan kehidupan), dan Roh Suci (Roh Kudus yang menjadi sumber segala roh yang hidup). Pokok ajaran etisnya adalah mengajak manusia untuk rido (apa adanya), narima (menerima), jujur, sabar, dan berbudi luhur.
Tokoh ketiga adalah Sukino Hartono (1897-1971) pendiri aliran Sumanah (Tunduk kepada Allah) di Yogyakarta.[33] Menurutnya, ia dibimbing oleh Malaikat Gabriel dalam suatu perjalanan spiritual, bahkan sampai bertemu Muhammad, Yesus Kristus, Nyai Roro Kidul, dan Senopati. Melalui pewahyuan itu, ia mengajarkan suatu aliran kebatinan yang bersifat monoteistik dan mengajarkan jalan pengendalian terhadap hasrat insani melalui Doa Sujud. Tokoh keempat adalah Harjosaputro (lahir pada 1910), pendiri aliran Sapta Dharma di Kediri.[34] Ia memberikan gelar kepada dirinya sebagai Panuntun Agung Sri Gautama dan Resi Brahmana. Berdasarkan pewahyuan, ia mengajarkan suatu latihan rohani yang mengantarkan orang kepada racut, semacam situasi ekstatis. Dalam keadaan racut, seseorang akan mengalami intimitas dengan Yang Ilahi sebagai yang adoh tanpa wangenan, cedak tanpa senggolan, kumpul datan rumongso (jauh tanpa imajinasi, dekat tanpa menyentuh, bersatu tanpa merasakan)
Tokoh kelima adalah Sukisman (lahir 1901), pendiri aliran Sumarah Purbo di Bantul.[35] Ia menerima pewahyuan pada umur 29 tahun dan sejak itu terpanggil untuk menghidupkan kembali kebijaksanaan tua dan mistisisme Jawa dalam bentuk yang ia modifikasi sendiri. Ajaran pokoknya bersumberkan pada ajaran Jawa, sedulur papat lima pancer (saudara empat dan yang kelima sebagai pusat), yang berbicara mengenai kekuatan harmonis dari alam berupa empat kekuatan dari keempat arah mata angin yang bertemu di pusat, yakni tempat bersemayamnya terang Ilahi. Akhirnya tokoh keenam adalah Darmopodo, pendiri aliran Sampuraning Kautamaan (pencarian keutamaan) di Yogyakarta.[36] Melalui pewahyuan yang diterimanya sat menjalani masa pembuangan di Pulau Seribu lantaran melawan pemerintah Belanda, Darmopodo mengajarkan doa meditatif sujud yang berpusat pada pengoptimalan perasaan dan kesadaran.
Pada periode Orde Baru sampai Reformasi, bermunculan para nabi-mesianik yang tersebar di wilayah Sulawesi, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sumatera, dan Jawa. Pada umumnya mereka berjuang melawan dominasi ortodoksi Islam yang terinstitusionalisasi di bawah payung MUI. Sebagian besar tidak bertahan karena berbekalkan pasal penistaan agama 1965 dan dukungan pemerintah, MUI berhasil menggagalkan gerakan itu membentuk semacam agama baru.
Di Sulawesi terdapat beberapa tokoh termasyur seperti Haji Ali Taetang Laikabu yang mengklaim dirinya sebagai nabi dan pendiri sekte Imamullah. Amiruddin Pasolong yang menerima pewahyuan melalui anak perempuan yang menurutnya sering dirasuki roh Nabi Muhammad. Ia juga mengaku sebagai Khalifah Allah yang akan menghakimi manusia pada dunia yang akan datang. Selain itu terdapat Arifin yang mengaku sebagai Imam Mahdi, tetapi mati ditembak polisi setelah dia bersama pengikutnya melakukan perlawanan terhadap aparat kepolisian. Ada juga Muhammad Nasiraka Ambo yang mendirikan Madikka Lekko Pini Bunda sebagai suatu agama baru yang melengkapi Islam. Tokoh kelima adalah Syamsuddin yang mengklaim menerima pewahyuan dan diangkat sebagai Nabi Khidr.
Di Lombok Timur, NTB, Amaq Bakri mengklaim telah menerima pewahyuan melalui perjalanan spiritual menuju Surga lapis ketujuh dengan bimbingan Malaikat Gabriel.[37] Ia yakin dipanggil Allah untuk mendirikan agama Istijnar yang mengajarkan pembersihan jiwa manusia. Sedangkan di Kalimantan, Chandra Adnan Rasyad mengaku dirinya sebagai nabi baru.[38] Baginya, Muhammad bukanlah nabi terakhir, melainkan dalam setiap periode sejarah Allah mengutus Nabinya untuk mewartakan kedatangan milleniarisme. Dalam ajarannya, ia mencampurkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Kitab Suci Kristiani.
Di Jawa Timur juga banyak bermunculan tokoh yang mengklaim dirinya sebagai nabi. Salah satunya ialah Sukarno dari Madiun.[39] Ia percaya dirinya sudah ditakdirkan untuk menajdi raja dan mengaku telah bertemu dengan jiwa-jiwa para Nabi serta para tokoh nasional, seperti: Nabi Adam, Muhammad Hatta, dan Supriyadi, pemimpin pemberontakan PETA. Di Kudus, Jawa Tengah, Kusmanto Sujono merupakan tokoh yang paling terkenal.[40] Ia mendirikan sekte Sabda Kusuma dan mengganti peran Muhammad sebagai nabi dalam syahadat Islam dengan Sabda Kusuma. Sujono juga mengklaim dirinya keturunan Sunan Gunung Jati dan telah ditetapkan sebagai Imam Mahdi dan reinkarnasi dari banyak tokoh legendaris Jawa.
Sedangkah di Jawa Barat begitu banyak tokoh yang mengaku dirinya sebagai nabi baru.[41] Secara umum mereka mengaitkan status “mesianiknya” pada tokoh-tokoh besar dalam agama Islam dan menempatkannya dalam konteks kebudayaan Sunda. Bahkan salah seorang tokoh bernama Syarif Hidayat mengaku dirinya sebagai reinkarnasi dari Nabi Adam dan Nabi Muhammad. Beberapa lainnya mengaitkan status kenabiannya pada para raja dan menggelarkan dirinya sebagai Imam Mahdi.
Sesudah reformasi, Lia Aminuddin muncul sebagai tokoh mesianik yang paling dikenal dan kontroversial.[42] Sejak tahun 1997, ia mengklaim bahwa Allah telah menurunkan Roh Kudusnya kepada dirinya dan mengangkatnya menjadi Ratu Adil. Ratu Adil itu akan datang bersamaan dengan munculnya Satriyo Piningit yang tidak lain adalah titisan Malaikat Gabriel. Melalui komunitas Salamullah (disebut juga komunitas Eden) yang didirikannya, Lia mewariskan pewahyuan Ilahi yang diterimanya sampai sekarang. Ia memberikan banyak nubuat mulai dari situasi politik Indonesia sampai kemunculan Donald Trump dan Jokowi, mulai dari kehancuran moral sampai bencana alam. Semua kejadian dunia ini mengarahkan kepada zaman Pengadilan Akhir. Lia Eden percaya bahwa pewahyuan yang diterimanya merupakan penjelasan dan pelaksanakan dari nubuat-nubuat yang tercantum dalam Kitab Suci dari berbagai macam agama. Ia pernah dua kali dijeboskan ke dalam penjaran atas tuduhan penistaan agama, pada 2006 ia divonis 2 tahun penjara dan pada 2009 divonis penjara selama 2 tahun 6 bulan. Sesudah dibebaskan, Lia Eden kembali memimpin komunitasnya dan terus mewariskan pewahyuan yang diterimanya sampai sekarang.
PENUTUP
Seperti pernah disinggung sebelumnya struktur mesianik dalam tradisi Yahudi dan kristiani memiliki satu titik persamaan.[43] Momen pemenuhan harapan mesianik merupakan suatu peristiwa yang tidak dapat diprediksi dan ditentukan. Harapan tersebut melampaui daya-daya insani, dialami dalam situasi batas, dan merupakan iman akan “kemungkinan” yang muncul dari “ketidakmungkinan”.[44] Dari sini, harapan mesianik dapat dipahami sebagai penghayatan hidup sehari-hari. Namun melampui durasi waktu dan ranah individu, harapan mesianik juga bersifat paripurna dan total. Dalam arti terakhir ini, kemunculan Mesias bukan suatu gerakan politis di dunia, melainkan suatu pemenuhan janji Allah yang bersifat eskatologis.[45]
Penghormatan terhadap struktur mesianik yang bersemayam dalam kerinduan terdalam setiap manusia dan dalam tradisi agama-agama serta aliran kepercayaan merupakan sikap yang penting bagi orang Kristiani. Pengharapan akan kedatangan Yesus, Sang Mesias, yang kedua kalinya menjiwai suatu peziarahan yang dihayati dengan sikap bijak. Pertama, iman yang inklusif membuka cakrawala akan daya Roh Kudus yang berkarya dengan cara yang tak terpahami di dalam setiap budaya dan tradisi agama-agama. Dari sikap hormat pada daya penyelamatan universal Roh Allah, maka iman akan Allah yang menyelamatkan dan memnuhi janji-Nya diperluas melampaui sekat institusi-institusi keagamaan. Kedua, penantian mesianik yang dihayati sepanjang hidup di dunia merupakan kesempatan bagi setiap orang Kristiani untuk menempatkan panggilan etis sebagai konsekuensi dan ungkapan iman.
Selain penghormatan akan universalitas harapan mesianik, keunikan mesianisme Kristiani juga harus ditegaskan. Iman akan Yesus Kristus berada dalam tegangan antara keyakinan bahwa mesias telah datang dalam diri Yesus dari Nazareth di satu pihak, dan penyelamatan Mesias sudah berlangsung tetapi belum selesai di lain pihak. Iman Kristiani benar-benar menghidupi kriteria mesianik yang jelas sekaligus belum paripurna. Ketegangan ini justru memungkinkan orang Kristiani lebih waspada terhadap mesias-mesias palsu—mengingat Yesus Kristus, Sang Mesias Sejati telah datang—dalam wujud pengkultusan terhadap sosok idola, konsumerisme, fanatisme, kesalehan yang egois, dan aktivisme. Orang kristiani juga diajak untuk tetap awas terhadap kecenderungan memenjarakan Kristus ke dalam pikiran sendiri dan dijadikan alat legitimasi untuk menguasai orang lain—mengingat Kristus masih akan datang kembali.
Di sini juga perlu disinggung sedikit perihal kekhasan Yesus Kristus sebagai Mesias. Dalam tradisi Yahudi maupun berdasarkan fakta gerakan mesianisme di Indonesia, sosok mesias digambarkan sebagai pembawa dan pelaksana wahyu Ilahi, selain beberapa aliran meyakininya sebagai hakim pada zaman akhir. Artinya, Mesias diyakini sebagai perantara antara “Yang transenden” dan “yang insani”. Dalam hal ini tradisi Kristiani juga meyakininya. Namun, kekristenan memutus jalur tradisi dan kontinuitas persis pada keyakinannya akan sosok mesias bukan hanya sebagai pembawa wahyu, melainkan juga sebagai wahyu ilahi itu sendiri. Dalam diri Yesus Kristus, wahyu Ilahi dan pembawa wahyu menjadi identik sepenuhnya sebagai subyek yang diutus Allah. Tentu saja kekhasan ini tidak akan diterima oleh komunitas di luar kristiani. Apalagi gambaran Mesias yang sungguh ilahi, sungguh insani, merangkum pula gambaran hamba Yahwe yang menderita (Yesaya 52:13-53:12). Sosok Kristus yang tersalib menjadi “batu sandungan” bagi umat Yahudi. Jadi, mesianisme Kristiani hanya dapat diyakini dan dipahami sepenuhnya dalam wawasan dunia khas komunitas yang mempercayainya.
Akhirnya, mesianisme sejati menunjukkan batas-batas kemampuan manusiawi dan daya kekuatan ilahi yang memungkinkan apa yang tidak mungkin bagi manusia. Di sini aktivitas berteologi dan praksis hidup beriman idealnya membawa seseorang kepada kesadaran akan kelemahan diri. Seruan doa dan pengakuan akan kerentanan diri tidak boleh lenyap dalam refleksi teologis, sebab apabila demikian yang terjadi sebenarnya adalah Allah disingkirkan dari perannya sebagai pelaksana perjanjian. Teologi hanya akan sekedar menjadi antropologi yang menolak diangkat ke taraf adikodrati. Sedangkan hidup beriman menjadi kering-tersedot habis oleh proyek-proyek dan aturan-aturan institusional. Harapan berubah menjadi sekedar optimisme insani belaka.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:
Anderson, Benedict. Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia. Jakarta-Kuala Lumpur: Equinox Publishing, 2006.
Al Makin. Challenging Islamic Orthodoxy: Accounts of Lia Eden and Other Prophets in Indonesia. Switzerland: Springer, 2016.
Aslan, Reza. “Mahdi” dalam Juan E. Campo (editor). Encyclopedia of Islam. New York: Fact on File, 2009.
Brink, Gijsbert van den. Philosophy of Science for Theologians: An Introduction. Frankfurt am Main: Peter Lang, 2004.
Caputo, John D. The Prayers and Tears of Jacques Derrida: Religion without Religion. Indianapolis: Indiana University Press, 1997.
______________. “The Experience of God and the Axioloogy of the Impossible” dalam Mark A. Wrathall (editor). Religion after Metaphysics. London: Cambridge University Press, 2003.
Franz Magnis Suseno. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia, 1984.
Fromm, Erich. You Shall Be As Gods: A Radical Interpretation of the Old Testament and Its Tradition. Greenwich: Fawcett Publications, 1966.
Groenen, Cletus. Pengantar ke dalam Perjanjian Lama. Yogyakarta: Kanisius, 1980).
Jacobs, Tom. Siapa Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius, 1982.
Kartodirdjo, Sartono. Ratu Adil. Jakarta: Sinar Harapan, 1984.
Paus Benediktus. Ensiklik Spe Salvi. Diterjemahkan oleh Mgr. Hadisumarta & Mgr. A.B. Anicetus Sinaga. Jakarta: Dokpen KWI, 2014.
Sindhunata, Bayang-Bayang Ratu Adil. Jakarta: Gramedia, 1999.
Wibowo, Setyo. ” Ratu Adil Jawa dan Ratu Filsuf Platon” dalam Borobudur Writers and Cultural Festival. Yogyakarta, 2014.
Sumber Jurnal:
Lanur, Alex “Sekelumit Masalah Filsafat Yahudi” dalam Orientasi: Pustaka Filsafat dan Teologi. Vol. XV. Yogyakarta: Kanisius, 1988.
Horsley, Richard. “Palestinian Jewish Group and Their Messiah in Late Second Temple Times”, dalam Concilium I: Messianism Through History. New York: Orbis Books, 1993.
Sean Freyne, “The Early Christian and Jewish Messianic Ideas” dalam Concilium I: Messianism Through History. New York: Orbis Books, 1993.
Beuken, Wim. “Did Israel Need the Messiah?” dalam Concilium I: Messianism Through History. New York: Orbis Books, 1993.
Sumber Internet:
Website resmi Komunitas Eden: https://komunitaseden.com.
“Begini Perjalanan Metamorfosa Lia Eden” diunduh dari https://nasional.tempo.co, edisi Sabtu, 6 Juni 2016. (Diunduh pada Rabu, 29 November 2017, pkl. 3.19).
[1] Fakta antropologis tidak dipahami dalam cara pandang positivis yang mereduksinya pada data inderawi, dan ini menjadi alasan umum bagi teologi tidak memenuhi kriteria sebagai scientia dalam pengertian modern. Kembali pada asal katanya facere (latin) yang berarti “membentuk, menjadikan,” fakta berarti kenyataan yang sudah dikonstruksi oleh kerangka pemahaman yang lebih luas. Jadi, tidak ada fakta murni dan netral. Bahkan dalam ilmu-ilmu alam dan kemanusiaan, fakta inderawi itu sekurang-kurangnya dipahami dalam kerangka kausalitas, sehingga bisa dipahami. Istilah “fakta” wilayahnya lebih luas, bukan hanya soal data inderawi, melainkan juga mencakup pengalaman yang dihidupi dalam kehidupan nyata. Bdk. Gijsbert van den Brink, Philosophy of Science for Theologians: An Introduction, (Frankfurt am Main: Peter Lang, 2004), hlm. 198.
[2] Bdk. Cletus Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian Lama, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 81.
[3] Bdk. Richard Horsley, “Palestinian Jewish Group and Their Messiah in Late Second Temple Times”, dalam Concilium 1993/I: Messianism Through History, (New York: Orbis Books, 1993), hlm. 16-17.
[4] Bdk.Wim Beuken, “Did Israel Need the Messiah?” dalam Concilium 1993/I, hlm. 9.
[5] Tradisi ini menjiwai beberapa gerakan revolusi melawan penjajah Romawi, seperti dilakukan oleh Simon Giora (66-70 SM). Kemudian revolusi 132-135 M, ketika Rabbi Akiba memproklamirkan Bar Kobha sebagai Bintang Yakub (Bil. 24:17). Sosok Mesias sebagai raja dan nabi ini juga menjadi paradigma berpikir masyarakat Yahudi pada zaman Yesus.
[6] Bdk. Cletus Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian Lama, hlm. 82.
[7] Bdk. Alex Lanur, “Sekelumit Masalah Filsafat Yahudi”, dalam Orientasi: Pustaka Filsafat dan Teologi, vol. XV, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 51-52, 63-64.
[8] “ Dilihat dari pijakan filosofi biblis, proses sejarah adalah proses manusia mengembangkan daya akal budi dan kasih, yang di dalamnya dia menuju kepenuhan dirinya, kembali kepada dirinya sendiri…Terdapat relasi dialektis antara Firdaus dan zaman Mesianik. Firdaus adalah zaman keemasan dari masa lampau, sebagaimana banyak legenda dalam budaya lainnya juga menghayati. zaman Mesianik adalah zaman keemasan di masa depan” Bdk. Erich Fromm, You Shall Be As Gods: A Radical Interpretation of the Old Testament and Its Tradition, (Greenwich: Fawcett Publications, 1966), hlm. 97-98.
[9] Bdk. Tom Jacobs, Siapa Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru, (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hlm. 179.
[10] Artinya, para jemaat Perdana dan penyusun Injil tidak langsung mengutip dan mengartikan secara setia kitab suci Ibrani perihal mesianisme Yahudi, tetapi melalui penghayatan bangsa Yahudi pada waktu itu. Kami mendasarkannya pada uraian dari Tom Jacobs, Siapa Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru, hlm. 179-188.
[11] Bdk. Richard Horsley, “Palestinian Jewish Group and Their Messiah in Late Second Temple Times”, hlm. 28.
[12] Bdk. Sean Freyne, “The Early Christian and Jewish Messianic Ideas” dalam Concilium, hlm. 39.
[13] Dalam Islam terdapat juga figur mesianik yang disebut Imam Mahdi (artinya: orang yang dibimbing secara benar). Figur ini akan kembali pada akhir zaman untuk memulihkan Islam kepada kesempurnaan asalinya. Walaupun kata Mahdi tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an, tetapi sejak Muhammad ibn al-Hanafiyya melawan Kalifah Umaiyah, istilah Imam Mahdi mulai dipahami sebagai penguasa yang dinanti-nantikan untuk melaksanakan hari penghakiman akhir. Keyakinan akan Imam Mahdi berkembang sejak abad ke-10 dalam teologi Syiah dan terus dipegang teguh sampai saat ini. Revolusi Iran yang dipimpin oleh Ayatollah Khomeini diinspirasikan oleh semangat Imam Mahdi, bahkan Ayatollah diyakini oleh beberapa rakyat Iran sebagai Mahdi yang dinanti-nantikan. Bdk. Reza Aslan, “Mahdi” dalam Juan E. Campo (editor), Encyclopedia of Islam, (New York: Fact on File, 2009), hlm. 447-448.
[14] Contoh gerakan bermotifkan Ratu Adil seperti peristiwa Tambakmerang, peristiwa Srandakan, peristiwa Tegalreja, dan kasus Nanggulan. Bdk. Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hlm. 9-10, 13.
[15] Bdk. Setyo Wibowo,” Ratu Adil Jawa dan Ratu Filsuf Platon”, dalam Borobudur Writers and Cultural Festival, (Yogyakarta, 2014), hlm. 2.
[16] Bdk. Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, hlm. 15.
[17] Bdk. Sindhunata, “Lelakon Hidup Ini Belum Gamblang”, Bayang-Bayang Ratu Adil, (Jakarta: Gramedia, 1999), hlm. 52.
[18] Bdk. Sindhunata, “Lelakon Hidup Ini Belum Gamblang”, hlm. 55.
[19] Bdk. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa, (Jakarta: Gramedia, 1984), hlm. 103-104; Bdk. Setyo Wibowo,” Ratu Adil Jawa dan Ratu Filsuf Platon”, hlm. 8-9.
[20] Bdk. Sindhunata, “Mengenang Prabu Jayabaya”, Bayang-Bayang Ratu Adil, (Jakarta: Gramedia, 1999), hlm. 9-11.
[21] Bdk. Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, hlm. 14.
[22] Bdk. Benedict Anderson, Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia, Jakarta-Kuala Lumpur: Equinox Publishing, 2006), hlm 34-35
[23] Pola pergantian rezim diuraikan secara ringkas tapi padat oleh: Setyo Wibowo, “Ratu Adil Jawa dan Ratu Filsuf Platon”, hlm. 10.
[24] Bdk. Setyo Wibowo, “Ratu Adil Jawa dan Ratu Filsuf Platon”, hlm. 18.
[25] Bdk. Sindhunata, “Wayang di Zaman Kalabendu”, Bayang-Bayang Ratu Adil, hlm. 199-201.
[26] Bdk. Setyo Wibowo, “Ratu Adil Jawa dan Ratu Filsuf Platon”, hlm. 22.
[27] Bdk. Setyo Wibowo, “Ratu Adil Jawa dan Ratu Filsuf Platon”, hlm. 24.
[28] Bdk. Al Makin, Challenging Islamic Orthodoxy: Accounts of Lia Eden and Other Prophets in Indonesia, (Switzerland: Springer, 2016), hlm. 145-146.
[29] Bdk. Al Makin, Challenging Islamic Orthodoxy…hlm. 151-152.
[30] Bdk. Al Makin, Challenging Islamic Orthodoxy, hlm. 146-150.
[31] Bdk. Al Makin, Challenging Islamic Orthodoxy, hlm. 156-158.
[32] Bdk. Al Makin, Challenging Islamic Orthodoxy, hlm. 158-160.
[33] Bdk. Al Makin, Challenging Islamic Orthodoxy, hlm. 160-162.
[34] Bdk. Al Makin, Challenging Islamic Orthodoxy, hlm. 162-163.
[35] Bdk. Al Makin, Challenging Islamic Orthodoxy, hlm. 163-164.
[36] Bdk. Al Makin, Challenging Islamic Orthodoxy, hlm. 165.
[37] Bdk. Al Makin, Challenging Islamic Orthodoxy, hlm. 167.
[38] Bdk. Al Makin, Challenging Islamic Orthodoxy, hlm. 168.
[39] Bdk. Al Makin, Challenging Islamic Orthodoxy, hlm. 168-169.
[40] Bdk. Al Makin, Challenging Islamic Orthodoxy, hlm. 170.
[41] Bdk. Al Makin, Challenging Islamic Orthodoxy, hlm. 170-172.
[42] Perihal ajaran lengkapnya dapat dilihat di situs resmi komunitas Salamullah: https://komunitaseden.com. Bdk. “Begini Perjalanan Metamorfosa Lia Eden” diunduh dari https://nasional.tempo.co, edisi Sabtu, 6 Juni 2016, (diunduh pada Rabu, 29 November 2017, pkl. 3.19 WIB).
[43] Bdk. John D. Caputo, The Prayers and Tears of Jacques Derrida: Religion without Religion, (Indianapolis: Indiana University Press, 1997), hlm. 79-80.
[44] Bdk. John D. Caputo, “The Experience of God and the Axioloogy of the Impossible” dalam Mark A. Wrathall (editor), Religion after Metaphysics, (London: Cambridge University Press, 2003), hlm. 127.
[45] Bdk. Paus Benediktus, Ensiklik Spe Salvi, diterjemahkan oleh Mgr. Hadisumarta & Mgr. A.B. Anicetus Sinaga, (Jakarta: Dokpen KWI, 2014), art. 31, hlm. 35.