Oleh: P. Yulius Fery Kurniawan OFM

1. Pengantar

Pertanyaan tentang problem kejahatan dalam teodicea setua dengan sejarah peradaban manusia. Kejahatan jelas-jelas merupakan kenyataan faktual dalam kehidupan manusia, sekaligus lebih radikal daripada sekedar hasil kontruksi dan definisi dalam ranah hukum. Radikalitas kejahatan tidak hanya disadari oleh manusia modern, tetapi manusia zaman dahulu juga menyadari dan mengungkapkannya secara berbeda dalam kisah-kisah mitologis Melalui hermeneutika, pemahaman lampau atas kejahatan hendak ditampilkan kembali dan dipahami sebagaimana orang modern menghayatinya.

Paul Ricoeur dalam karyanya Symbolism of Evil menguraikan kondisi manusia yang dapat berbuat salah melalui kekayaan makna simbolis dari kisah-kisah mitologis. Melalui mitos-mitos yang dikaji, Ricoeur juga bermaksud menunjukkan hubungan sirkular antara percaya dan memahami dalam motode hermeneutikanya. Tulisan ini bermaksud mengulas hermeneutika melingkar yang digagas Ricoeur dalam Symbolism of Evil dan penerapannya dalam rangka memahami teks-teks mitis dan sakral. Kami akan mengawalinya dengan bertolak dari metode heremenutik Ricoeur, lalu penerapannya dalam teks-teks kuno, dan diakhiri dengan kesimpulan.

2. Lingkaran Hermeneutik antara Percaya dan Memahami

Apakah simbol dan mitos masih berbicara kepada orang-orang modern dan mampu membangkitkan pemikiran yang semakin luas tentang makna kehidupannya? Pertanyaan ini menarik perhatian Ricoeur untuk merumuskan hermeneutikanya. Ia sendiri mengakui adanya momen pelupaan akan “tanda-tanda sakral” dalam sejarah filsafat sejak pencerahan. Namun dalam momen pelupaan manusia modern seakan kehilangan dirinya, mengingat makna dirinya sebagai manusia termasuk di dalam “yang sakral” itu. Dari rasa kehilangan itu, munculah harapan akan adanya penciptaan kembali bahasa-bahasa mitis yang memanggil kembali manusia modern dari padang gurun kritisisme menuju kekayaan makna kehidupan dalam simbol (Ricoeur 1967: 352). Momen pelupaan justru menjadi titik awal bagi momen pemulihan.

Ricoeur menolak kecenderungan demitisasi sejak pencerahan yang meremehkan pentingnya simbol atau mitos lampau untuk kehidupan manusia modern. Demitisasi melupakan fakta ambiguitas manusia yang memiliki kehendak bebas di satu pihak, tetapi juga keterbatasan untuk menghadapi hal-hal yang tidak disengaja di lain pihak. Simbol dan mitos merupakan medium pengungkapan manusia pra-kritis di hadapan pengalaman keterbatasan itu: Simbol-simbol tidaklah asing bagi diskursus filosofis. Sebab simbol sudah dalam unsur perbincangan. Simbol menjaga manusia dari ketakutan akan kebisuan dan kebingungan. Tidak ada satupun suatu bahasa simbolik tanpa hermeneutika; dimana pun seorang manusia bermimpi dan kagum, orang lain datang untuk memberikan suatu interpretasi; bahkan jika tidak terdapat koherensi dalam perbincangan tersebut, maka hermeneutika menjadikannya koheren.[1] Sejauh manusia di setiap zaman sama-sama memiliki pengalaman universal tentang ketakutan dan kebisuan, termasuk di hadapan problem kejahatan, maka simbol dan mitos masih berbicara manusia modern. Hermeneutika di sini menjadi jalan tidak langsung bagi orang-orang modern agar dapat berkomunikasi dengan yang sakral atau simbol-simbol adiluhung di masa lampau.

Paul Ricouer menyebut hermeneutikanya bersifat restoratif (Ricoeur 1967: 350). Maksudnya, refleksi kritis tetap digunakan dalam kegiatan memahami simbol justru untuk melampaui refleksi yang reduktif dalam demitisasi. Simbol dan mitos benar-benar dipercayai akan mampu menstimulasi penafsir untuk memperluas pemikirannya, atau dirumuskan secara ringkas oleh Ricoeur: “The symbol gives rise to thought. Dalam hermeneutika, seorang penafsir tidak larut atau sekedar bernostalgia dengan ungkapan simbolis masa lampau, tetapi berlanjut dengan menemukan makna eksistensial tentang kehidupannya sejauh simbol memunculkannya.

Simbol membangkitkan pemikiran tatkala pemberian makna simbol dan usaha penafsir untuk memahaminya tersimpul bersama. Paul Ricoeur lantas mengajukan suatu jalan tidak langsung, yang disebut dengan hermeneutika melingkar: Simpul yang dimaksud adalah ikatan dimana simbol memberi (makna) dan kritisisme menginterpretasikannya, sehingga hermeneutika merupakan suatu lingkaran: “Kita harus memahami agar percaya, tetapi kita harus percaya agar memahami.” Lingkaran tersebut bukanlah lingkaran setan atau maut; itu adalah suatu lingkaran yang menghidupkan dan menstimulasi.[2] Di sini akan dibagi dua tahapan dalam lingkaran hermeneutik: Tahapan pertama disebut pra-kritis sebagaimana terungkap dalam pernyataan, “Saya percaya agar memahami”. Sedangkan tahapan kedua disebut post-kritis diungkapkan dalam pernyataan, “Saya percaya agar memahami.”

Dalam tahap pertama, seorang penafsir mempercayai simbol secara langsung, atau dalam bentuk kenaifan pertama. Dikatakan secara langsung karena penafsir langsung terlibat dengan problem-problem yang dimunculkan teks. Di sini Ricoeur bertolak dari pernyataan Bultmann: “Semua pemahaman, seperti semua interpretasi, terarah terus menerus dengan cara menentukan pertanyaan dan kemana arah dari upaya memahami itu” (Ricoeur 1967: 351). Konsekuensinya, setiap upaya memahami mitos tidak pernah lepas dari presuposisi yang terbangun dari konteks kehidupan penafsir. Jadi, presuposisi mengarahkan penafsir pada pokok tertentu dari simbol-simbol dalam teks mitis dan melalui pokok-pokok itu, penafsir dapat menginterogasi teks (Vollmer 2006: 245).

Pertanyaan-pertanyaan atas teks tidak akan muncul apabila penafsir tidak sungguh hidup di dalam aura makna simbol yang ia pertanyakan (Ricoeur 1967: 351). Sikap hormat akan pemberian makna simbol diungkapkan dengan cara problem-problem yang dimunculkan teks harus pula menjadi problem si penafsir. Dengan bertanya, seorang penafsir dapat memahami kisah-kisah mitis dengan lebih baik. Walaupun demikian, penghormatan tersebut tidak melepaskan penafsir dari dirinya karena setiap pertanyaan bertolak dari konteks kehidupan penafsir dalam wujud presuposisi-presuposisi. Penafsir masih tetap bertanya dengan cara orang modern dan terpisah dari penghayatan asali akan simbol itu.

Jarak ruang, waktu, dan konteks kehidupan antara orang-orang yang mempercayai simbol-simbol sebagai hierophany di masa lampau dengan orang-orang modern yang berusaha untuk berkontak lagi dengannya, sudah tidak terjembatani lagi. Namun, hilangnya kemungkinan untuk dapat sampai pada kepercayaan asali justru membuka jalan bagi penafsiran yang positifdan produktif terhadap simbol-simbol dan kisah-kisah mitis (Simms 2003: 39). Orang-orang modern masih dapat percaya adanya hal-hal yang masih bisa didengar dari simbol, sekalipun tidak lagi  di bawah bentuk pra-kritis dari kepercayaan asali, tetapi dalam bentuk post-kritis: Dalam tahapan post-kritis, seorang penafsir mempercayai simbol secara tidak langsung, atau melalui mediasi. Karena memahami dalam bentuk kedua  yang kita cari dan kenaifan kedua yang kita nantikan tidak tersedia bagi kita di manapun selain dari dalam suatu hermeneutika; kita hanya dapat meyakini dengan menginterpretasi. Ini merupakan sebentuk keyakinan “modern” akan simbol-simbol, suatu ungkapan atas penderitaan modernitas dan suatu obat bagi penderitaan tersebut.[3]

Di dalam hermeneutika modern, penafsir mengeksplisitkan pra-pemahaman atau presuposisi yang memberikan hidup bagi interpretasi. Ricoueur merumuskannya demikian:  Hermeneutika muncul dari pra-pemahaman mengenai pokok yang dikaji, lantas hermeneutika berusaha memahami dengan menginterpretasikannya. Sebagaimana presuposisi memungkinkan penafsir untuk menjadikan problem suatu teks kuno menjadi problem dirinya, dalam wujud pertanyaan-pertanyaan, demikian juga interpretasi atau refleksi kritis memungkinkan penafsir memahami teks-teks kuno secara eksistensial. Simbol-simbol lalu dapat dipercayai karena memberikan makna-makna yang berkaitan dengan hidup dan dunia penafsir. Kepercayaan ini berada dalam tahapan post-kritis, artinya penafsir dapat mempercayai simbol-simbol yang tersingkap setelah terlebih dahulu memahaminya melalui refleksi kritis. Simbol-simbol yang memberikan makna dihayati dan dipercayai seturut cara berada orang-orang modern dan karenanya disebut kenaifan kedua.

Hermeneutika, sebagai buah dari modernitas, merupakan sebentuk cara agar modernitas melampaui dirinya, sejauh modernitas adalah pelupaan akan yang sakral. Sakralitas tersebut berkaitan dengan kesadaran akan pengalaman yang mendasar sebagai manusia. Makna eksistensial sebagai manusia merupakan logos yang dapat dipercaya setelah dilepaskan dari muatan mitos (sejarah-sejarah semu) melalui jalan demitologisasi dalam hermeneutika. Paul Ricoeur menunjukkan cara kerja demitologisasi dalam hermeneutika melingkarnya itu dengan melakukan interpretasi terhadap simbolisme kejahatan.

3. Penerapan Hermeneutika Melingkar terhadap Simbolisme Kejahatan

Dalam simbolisme kejahatan, Ricoeur bermaksud menunjukkan transisi dari kemungkinan manusia untuk jatuh pada kejahatan menuju aktualisasi dari potensialitas tersebut: dari dapat berbuat salah menjadi manusia yang bersalah. Kejahatan itu selalu mendahului pengalaman manusia akan kejahatan, sehingga setiap manusia tidak dapat tidak mengakui adanya kejahatan. Secara fenomenologis, Ricoeur berusaha mendengarkan kembali pengakuan akan kejahatan dari manusia di masa lampau yang “bersuara” melalui kisah-kisah mitis, atau yang disebutnya dengan istilah fenomenologi pengakuan.

A. Fenomenologi Pengakuan terhadap Kejahatan

Di dalam fenomenologi pengakuan, seorang penafsir memerankan/mementaskan kembali (re-enacting) pengakuan-pengakuan dari suatu kesadaran religius dalam bentuk simbol yang dipercayai, sehingga pengalaman tersebut dapat ditelusuri dari sudut pandang filosofis (Ricoeur 1967: 4). Penelusuran dilakukan dengan bergerak mundur mulai dari ekspresi spekulatif terhadap pengalaman tentang kejahatan menuju ekspresi spontan dari orang-orang yang menghayatinya. Konsep dosa asal dipandang sebagai bentuk terakhir dari pengalaman orang-orang kristiani akan kejahatan dan termasuk dalam kriteria gnosis (teologi). Bagi Ricoeur, penafsir mesti bergerak mundur lagi ke dalam bentuk yang lebih awal dalam kisah-kisah mitis dan menemukan bentuk paling asali dalam simbol-simbol primer.

Di dalam mementaskan kembali pengakuan perlu ada imajinasi empati, yakni mengadopsi sementara waktu motivasi dan intensi dari “jiwa yang percaya,” kemudian mengintegrasikannya ke dalam refleksi (Ricoeur 1967: 9, 19). Imajinasi empati merupakan sikap yang dipakai penafsir ketika mempercayai simbol-simbol dalam tataran kenaifan pertama, sedangkan refleksi membawa pemahaman akan simbol ke dalam pemahaman akan eksistensi diri. Dengan demikian, hermeneutika filosofis mengintegrasikan pengakuan dengan kesadaran diri dalam kriteria simbol-simbol (Ricoeur 1967: 10).

Dari pengakuan akan adanya kejahatan dapat ditunjukkan beberapa bentuk kesalahan, yakni: Noda, dosa, dan rasa bersalah. Noda merupakan kesadaran religius akan ketidakmurnian karena seseorang atau sekelompok orang terinfeksi melalui suatu kontak dengan obyek eksternal, lalu dialami dalam bentuk ketakutan etis atau ancaman akan hilangnya inti terdalam dari keberadaan diri (Ricoeur 1967: 29-30, 33, 41). Pemurnian atas noda dilakukan dengan menjatuhkan hukuman yang adil, seperti didapati praktek hukum retributif dan dalam masyarakat yang masih belum mengenal konsep tentang Allah. Sedangkan pengakuan akan dosa terdapat dalam masyarakat yang sudah memiliki konsep tentang Allah. Kesalahan tampil bukan lagi dalam bentuk kontaminasi, tetapi suatu relasi yang rusak, antara manusia dan Allah. Pendosa digambarkan sebagai manusia yang gagal mencapai target/perintah, melintasi jalan yang berliku, yang memberontak, dan tersesat, bahkan sampai kehilangan Allah (Ricoeur 1967: 72-74). Pemulihan relasi menuntut adanya penebusan yang memungkinkan pendosa dapat kembali lagi kepada Allah.

Rasa bersalah merupakan tahapan pengakuan dalam arti yang sesungguhnya, karena ketika dalam noda, saya masih menuduh yang lain, dalam dosa saya tertuduh, sedangkan baru dalam kesalahan saya menuduh diriku sendiri (Karl Simms 2003: 23). Rasa bersalah ini berciri subyektif dalam arti hukuman atas kejahatan diantisipasi, diinternalisasi dan ditimbang atas dasar kesadaran diri : Akhirnya, pengakuan akan dosa melengkapi proses internalisasi dosa sebagai kesalahan personal: “Engkau” yang diserukan menjadi “aku” yang menuduh dirinya sendiri. Namun pada waktu yang sama tampaklah pergantian dari tekanan pada makna dosa bergerak menjadi rasa bersalah… rasa bersalah itu menekankan aku yang (berbuat)…[4] Oleh karena itu pertanyaan perihal asal-asul kejahatan, dari perspektif rasa bersalah, akan dijawab sebagai akibat dari penyalahgunaan kebebasan manusia (Ricoeur 1967: 101-102).  Sekalipun dalam rasa bersalah terjadi pergerakan dari kesadaran religius menjadi kesadaran etis, Ricoeur tidak memaksudkan konsep Allah dapat ditinggalkan sama sekali. Konsep rasa bersalah tetap perlu dirujukkan pada simbol yang lebih primordial, yakni noda dan dosa.

Selain berciri kronologis noda, dosa, dan rasa bersalah dapat hadir bersamaan tanpa menghilangkan kekhasannya masing-masing. Bagi Ricoeur, monoteisme bangsa Israel merupakan monoteisme etis karena ketiga tahapan pengakuan akan kejahatan tampil bersama, sebagaimana tampak dalam kutipan Kitab Suci berikut: Karena aku mengetahui dosaku dan kesalahanku selalu ada (noda) di hadapanku. Terhadap Engkau, hanya terhadap Engkau, aku telah berdosa. Aku telah melakukan yang salah di hadapan mata-Mu (Mzm. 51:3-4). Dapat dikatakan monoteisme Yahudi, demikian juga kekristenan, menampilkan pengakuan akan kejahatan secara penuh. Kiranya pandangan Ricoeur ini berkaitan dengan pra-paham yang bertolak dari kehidupannya yang dipengaruhi kekristenan tatkala membaca teks-teks sakral atau kisah-kisah mitis.

B. Mitos-Mitos Tentang Yang Awal dan Yang Akhir

Mitos dapat dipandang sebagai simbol dalam bentuk narasi. Intensinya juga sama, yakni mengkomunikasikan makna (Sastrapratedja 2012: 250). Ricoeur membagi kisah-kisah mitis menjadi empat kategori, yakni: Mitos penciptaan, mitos visi tragis, mitos adamis, dan mitos jiwa yang terbuang (Ricoeur 1967: 172-174). Dalam Mitos Penciptaan, asal-usul kejahatan dikaitkan dengan asal-usul semesta. Kejahatan dipahami sebagai kekacauan primordial, sedangkan keselamatan diidentikkan dengan penciptaan yang terealisasi melalui tindakan kreatif Yang ilahi dalam menata tatanan alam semesta (Ricoeur 1967; 172). Ciri lain dalam mitos ini, penciptaan alam semesta selalu didahului terlebih dahulu oleh kisah teogoni (asal-usul tentang yang ilahi). Misalnya dalam mitos Enuma elish, dari bangsa Akkadia, penciptaan dunia didahului oleh pembunuhan berantai antara keluarga dewa-dewi yang masing-masing mewakili unsur-unsur alam semesta. Dalam mitos ini hendak ditampilkan dua kepercayaan dari orang-orang zaman dahulu: 1) Segala sesuatu yang ada di dunia memiliki asal-usulnya dan 2) kejahatan bersifat primordial yang tampak dalam wujud ketidakteraturan dan kemudian diatur secara tertata menjadi suatu dunia (Simms 2003: 24).

Mitos Visi Tragis dapat ditemukan dalam drama-drama tragedi yunani dan kisah Ayub, orang benar yang menderita. Dalam mitos ini kejahatan diasalkan pada yang ilahi atau dewa yang keji, iri dengki, dan pencemburu. Misalnya dalam kisah Ayub dikisahkan tentang Allah yang menyutujui rencana Iblis untuk mencobai Ayub melalui malapetaka yang bertubi-tubi (Bdk. Ayb. 1: 6-12). Dalam kisah mitis karya Hesiodos, dikisahkan tentang Promotheus yang banyak menolong manusia dengan cara menipu Zeus. Promotheus sang pahlawan manusia akhirnya dihukum Zeus yang mendendam. Visi tragis ini menekankan ciri visual yang dapat ditonton dengan maksud sebagai medium pembebasan bagi para penontonnya. Pembebasan dicapai ketika penonton hanyut dalam kisah pahlawan yang tragis tetapi kemudian kesedihan itu dibersihkan dengan lagu-lagu yang indah (Ricoeur 1967: 227). Jadi, pembebasan manusia akan hidupnya yang tragis dilakukan dengan pembebasan di dalam kisah tragis.

Mitos Adamis dapat disejajarkan dengan rasa bersalah karena keduanya sama-sama berciri subyektif dan bergulat pada problem pilihan bebas manusia. Bagi Ricoeur, mitos ini satu-satunya yang bersifat antropologis karena menggambarkan manusia yang menyalahgunakan kebebasannya (Ricoeur 1967: 232). Ricoeur sendiri dengan sengaja tidak memberi istilah “kejatuhan” pada mitos adamis karena istilah ini bermaksud menggambarkan kondisi “super” manusia sebelum kejatuhannya. Istilah “kejatuhan”, yang diambil dari gagasan yunani,  mereduksi maksud asali mitos adamis yang tidak mencari asal-usul kejahatan dari nenek moyang manusia, tetapi dari keputusan bebas setiap manusia (Simms 2003: 233).

Mitos ini juga bermaksud memisahkan asal-usul kejahatan dari asal-usul kebaikan. Kejahatan memang memiliki asal-usul yang radikal, tetapi asal-usul kebaikan lebih primordial daripada kejahatan. Intensi lain yang tampil dalam mitos ini adalah gagasan tentang penyesalan. Di dalam penyesalan, tersembunyi kesadaran bahwa manusia tidaklah otonom dalam arti ia dilarang untuk menjadi penentu mana yang baik dan mana yang buruk (Simms 2003 : 25). Sekalipun manusia bebas, tetapi kebebasan hanya mungkin karena ditetapkan oleh Allah. Akhirnya mitos adamis bermaksud menampilkan kondisi tak bersalah (innocence) sekaligus kondisi berdosa dalam diri manusia, yang keduanya tidak berurutan tetapi bertumpang tindih. Maksudnya untuk menggambarkan kontingensi manusia yang mengalami bahwa dirinya tidak sama sekali baik karena ia dapat berdosa, tetapi ia juga dapat dibersihkan dari dosa melalui penyesalan (Ricoeur 1967 : 251).

Mitos Jiwa yang Terbuang menggambarkan manusia yang memahami dirinya sama dengan jiwanya, tetapi jiwa itu dialami berlainan dengan tubuhnya (Ricoeur 1967 : 279). Jiwa dipandang sebagai ke-diri-an manusia sementara tubuh merupakan penjara bagi jiwa. Aktualisasi terjauh dari manusia terjadi ketika jiwa terbebaskan dari tubuh. Mitos ini nampak jelas dalam kisah Orpheus yang menjadi titik tolak Plato dalam merumuskan konsep filosofisnya tentang jiwa yang tetap hidup sekalipun badan hancur. Dalam mitos ini, dikisahkan tentang Orpheus seorang pemusik handal yang hendak membawa kekasihnya Euricyde dari “dunia bawah” ke “dunia atas” dengan cara membujuk para penjaga dunia bawah melalui keindahan musik harpanya, sekalipun berakhir dengan kegagalan. Oleh karena itu dikatakan, mitos ini berciri filosofis karena menjadi inspirasi bagi refleksi filosofis perihal identitas jiwa dan badan (Simms 20013: 27).

Dalam kisah Adam (Bdk. Kej 3: 19), konsep kebadian jiwa tentu tidak akan ditemui. Monoteisme Yahudi dan kekristenan tampaknya mempercayai adanya kebadian jiwa dalam suatu proses pertemuan dengan budaya hellenistik. Konsep tentang kebadian jiwa berkembang menjadi kepercayaan akan visi eskatologis dalam sejarah, hukuman neraka, dan ganjaran surga yang dikonseptualisasi dalam teologi eskatologis kekristenan. Walaupun gagasan keabadian jiwa dalam mitos jiwa yang terbuang menyumbang pada antropologi yudaisme dan kekristenan, tetapi Ricoeur selalu tetap melihatnya dari sudut pandang mitos adamis: …jiwa adalah saksi adanya dunia lain, tersembunyi ketika kita terbangun dalam hidup nyata dan dinyatakan dalam mimpi, ekstase, kasih, dan kematian.[5]

Visi antropologis dalam mitos adamis tetap memainkan peran penting karena “dunia lain” tidak bisa tidak hanya dapat dialami dan diakui oleh manusia yang hidup di dunia nyata. Visi eskatologis tidak dapat dilepaskan dari visi antropologis. Secara eksplisit Ricoeur mengungkapkan keunggulan mitos adamis daripada ketiga mitos lainnya, demikian: Presuposisi dari usahaku ini adalah suatu tempat dimana seseorang dapat menyimak, mendengar, dan memahami dengan paling baik apa yang semua mitos ajarkan pada kita, yakni tempat dimana keunggulan salah satu dari mitos-mitos yang masih berkumandang sampai hari ini, yakni mitos adamis.[6] Dengan melihat kisah-kisah mitis dari perspektif mitos adamis, Ricoeur bertaruh bahwa simbol dan mitos di masa lampau masih mengungkapkan kebenaran tentang kehidupan orang-orang modern. Dari sini kelihatan Ia memahami mitos-mitos yang ada dari konteks kehidupannya yang dipengaruhi oleh yudaisme dan kekristenan.

Ricoeur mengajukan tiga pokok penting dalam kekristenan yang masih relevan sampai sekarang. Pertama, iman orang Kristiani tidak berkaitan pertama-tama dengan interpretasi perihal kejahatan. Nada pengakuan iman kristen tidaklah negatif (aku percaya akan dosa), tetapi positif dengan percaya akan pengampunan dosa sebagaimana tampak dalam teologi spekulatif kekristenan perihal yustifikasi. Bagi Ricoeur, penjelasan tentang dosa dan simbolisasi tentang asal-usulnya melalui kisah-kisah mitis diturunkan dari iman kristiani yang berakar dari Injil pembebasan dan harapan (Ricoeur 1967: 307). Kedua, orang kristiani tetap membatasi dirinya terhadap mitos-mitos yang lain, dengan tetap mencari makna yang relevan bagi imannya. Kemampuan untuk memilah dan menyeleksi ini dalam kekristenan dipercayai sebagai kerja Roh Kudus. Roh Kudus ini tidak tampak sebagai penguasaan yang sewenang-wenang menundukkan manusia, tetapi dalam batin manusia merupakan sebentuk discernment (Ricoeur 1967: 308). Discerment itu sendiri menampilkan praktek crede ut intelligas dalam hermeneutika melingkar Ricoeur.

Ketiga, keunggulan mitos adamis tidak dimaksudkan agar mitos-mitos lain harus ditolak sama sekali (Ricoeur 1967: 309). Lebih tepatnya, kehidupan baru diberikan kepada mitos-mitos oleh mitos yang diistimewakan. Kompleksitas dan tegangan dari dalam mitos Adamis, mengingat makna yang terdapat dalam mitos lain terdapat pula dalam mitos adamis, justru menegaskan kembali kadar kebenaran yang beragam dari mitos-mitos lain. Jadi sekalipun mitos adamis memenangkan pertarungan melawan mitos-mitos lainnya, kekayaan makna dari mitos yang kalah tidak dilenyapkan tetapi diberdayakan kembali dalam mitos Adamis, sebagaimana dikatkan Ricoeur: Mitos tentang kejatuhan (Adam) memerlukan mitos-mitos lainnya, sehingga Allah etis yang diandaikan itu tetap berlanjut menjadi Allah yang tersembunyi (Deus Absconditus) dan dengan demikian, manusia bersalah yang dikecam itu dapat juga tampil sebagai penderita dari misteri pelanggaran yang membuatnya menjadi hamba kemalangan dan kemurkaan.[7]

4. Tanggapan Kritis

Hermeneutika Ricoeur terhadap teks-teks mitis menghasilkan kesimpulan ringkas yang diakui oleh manusia di masa lampu tetapi juga dapat diterima secara kritis oleh manusia modern. Kesimpulan yang dimaksud adalah radikalitas kejahatan yang selalu mendahului pengalaman manusia akan kejahatan, tetapi terkait langsung dengan penyelahgunaan kebebasan manusia. Akan tetapi, seradikal apapun kejahatan, kebaikan jauh lebih primordial. Dalam konteks alam pikiran modern, manusia memang dapat menyadari fakta kejahatan selalu diasalkan dari perbuatan manusia, tetapi tidak berarti kodrat manusia sama sekali jahat. Selalu ada harapan akan timbulnya pemulihan dari usaha-usaha manusia yang berkehendak baik. Optimisme sekaligus skeptisisme manusia akan kemampuannya memang disadari secara kritis oleh manusia modern, tetapi manusia zaman dahulu juga menyadari dalam bentuk ekspresi simbol.

Penolakan terhadap otonomi manusia dalam menentukan kebaikan dan kejahatan sebagaimana diungkapkan dalam mitos Adamis masih menyuarakan makna bagi manusia sekarang, bahwa kejahatan bukanlah hasil kontruksi manusia (melalui konsep atau perangkat hukum misalnya) yang bersifat subyektif melulu. Kejahatan itu obyektif, masuk ke dalam pengalaman hidup manusia dan dapat ditengarai keberadaannya dalam kasus-kasus konkrit. Kiranya relativisme moral tidak sesuai dengan kesadaran universal manusia akan fakta kejahatan, dan dengan demikian tidak memiliki tolak ukur yang sahih. Sekalipun obyektif, norma moral tentang jahat tidaknya suatu tindakan bukan merupakan “barang sekali jadi”. Beberapa konsep etis (rasa bersalah dan hukuman misalnya) merupakan hasil perkembangan historis bersama dengan budaya-budaya lain (Sastrapratedja 2012: 262). Oleh karena etika berciri historis dan lintas kultural, maka obyektifikasi moral dimungkinkan melalui pertemuan dengan konteks budaya dan zaman yang berbeda pula.

Secara metodologis, hermeneutika melingkar Ricoeur dipengaruhi oleh beberapa pemikir sebelum dia (Simms 2003: 34-38). Rudolf Bultmann, yang bertolak dari Heidegger, mempengaruhi Ricoeur perihal pra-pemahaman dalam menafsirkan suatu teks. Namun ia tidak mengikuti jalan langsung dalam hermeneutika dan penolakan terhadap refleksi kesadaran sebagaimana dipromosikan oleh Heidegger dan Gadamer, tetapi mengikuti Husserl yang menggunakan metode dalam hermeneutika. Tugas hermeneutika adalah menyingkap intensi-makna simbol melalui berbagai macam metode interpretasi. Di satu pihak, simbol dibiarkan mengatakan tentang dirinya, tetapi di lain pihak, penafsir juga perlu berusaha memahami makna simbol melalui refleksi kritis. Melalui refleksi, tujuan hermeneutika dapat dicapai, yakni memahami teks secara eksistensial. Dalam arti inilah eksistensialisme (secara khusus Gabriel Marcel) mempengaruhi hermeneutika Ricoeur.

Dengan menghormati pengungkapan makna dari simbol sekaligus merefleksikannya secara kritis, makna dari simbol mampu memunculkan pemikiran bagi manusia modern untuk menakar kembali dan memperluas pemahaman tentang dirinya dan dunianya. Manusia modern masih dapat mempercayai mitos yang berasal dari masa lampu melalui hermeneutika. Demikian juga kiranya beriman secara kritis menuntut adanya hermeneutika yang kritis; yang dapat membebaskan logos yang tersembunyi dalam teks kitab Suci dari sejarah semu dalam institusi agama. Seorang kristiani boleh tidak mempercayai Adam sebagai tokoh historis, tetapi boleh juga mempercayai pergulatan hidup manusia yang ditampilkan dalam sosok Adam.

Sumber Pustaka

Ricoeur, Paul. The Symbolism of Evil.  Trans. Emerson Buchanan. Boston: Beacon Press, 1967.

Simms, Karl. Paul Ricoeur. NewYork: Routledge, 2003.

Sastrapratedja. “Hermeneutika dan Etika Naratif Menurut Paul Ricoeur” in KANZ PHILOSOPHIA. Vol.2 / no.2, December 2012.

Vollmer, Kurt Mueller (editor). The Hermenutics Reader. New York: Continuum, 2006.

[1] Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil, trans. Emerson Buchanan, (Boston: Beacon Press, 1967), hlm. 347-357.

[2] Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil, hlm. 351.

[3] Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil, hlm. 352.

[4] Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil, hlm. 103.

[5] Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil, hlm. 286.

[6] Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil, hlm. 306.

[7] Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil, hlm. 346.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

one × two =