Prinsip-Prinsip Dasar Etika Lingkungan Fransiskan

0
1117

 Fridus Yansianus Derong, OFM
(Sekretaris Eksekutif JPIC-OFM Indonesia)

Etika antroposentrisme dituduh sebagai biang keladi kerusakan lingkungan hidup saat ini. Sebab etika ini memandang manusia sebagai pusat alam semesta, dan hanya manusia yang mempunyai nilai, sementara alam dan segala isinya di luar manusia sekadar alat bagi pemuasan kebutuhan manusia. Manusia dianggap berada di luar, di atas dan terpisah dari ciptaan; dan bahkan manusia dianggap sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan apa saja terhadap alam.  Cara pandang ini melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif terhadap alam.

Demi memperbaiki lingkungan yang rusak saat ini kita dituntut untuk menemukan cara pikir lain; sebuah cara pikir yang membantu orang untuk mengambil sikap dan langkah untuk menyelamatkan lingkungan hidup sebagai rumah bersama. Dalam tulisan ini saya menawarkan kepada para pembaca sala satu alternatif cara pikir dalam merawat lingkungan hidup. Sebuah cara pikir yang telah melahirkan sebuah cara hidup yang selaras dengan alam; sebuah cara pikir yang memapukan Fransiskus dari Assisi memandang seluruh ciptaan sebagai saudara dan saudari dan menempatkan Fransiskus sebagai pelindung ekologi.

Mengikut jejak Santo Fransiskus Assisi, tradisi Fransiskan mengedepankan sebuah pendekatan holistik terhadap ekologi dan memperkenalkan relasi kekeluargaaan atas bumi sebagai rumah bersama (Familial or Kindship ethic). Pendekatan ini mencakupi empat prinsip utama etika yang saling berhubungn erat satu dengan yang lain, yaitu, kebebasan (Freedom), Anugerah cuma-cuma (Gratuitousness), Persaudaraan (Fraternity) dan kebaikan bersama (Common good).

  1. Kebebasan (Freedom)

Mashab Fransiskan disebuat menganut aliran pemikiran “Voluntarisme” karena mereka lebih menekankan peran penting kehendak atas akal budi, kebaikan pada kebenaran, tindakan kasih atas pengetahuan, ortoprakis atas ortodoksi. Kehendak memilki proritas dalam pandangan Fransiskan karena pada kehendak terletak moment yang menentukan tatakala seseorang dituntut untuk memilih secara bebas dan bertanggungjawab. Kehendak berperan penting saat kita berhadapan dengn sebuah pilihan konkret: “Saya memilih ini atau itu.” Walaupun keputusan itu mungkin saja salah atau keliru, entah karena tidak tahu atau karena niat yang tidak baik, hal ini sama sekali tidak meniadakan kebebasan subjek, yang ditengah-tengah segala kemungkinan yang terbatas atau mendesak, harus membuat keputusan.

Para Fransiskan membela kebebasan sebagai elemen penting dan menentukan  pememahaman manusia tentang segala sesuatu yang ada. Allah itu bebas, tanpa ada desakan dari apapun. Tidak ada sesuatu pun di luar Allah yang mempengaruhi keputusan-Nya. Tindakan Allah mengungkapkan dan terarah pada kehendak kasih-Nya itu. Manusia sebagai rupa Allah (imago Dei) juga merupakan buah kasih Allah yang bebas itu, sehingga manusia merupakan pribadi yang dialogis, yang secara ontologis terarah kepada kehidupan dan kepada orang lain. Seluruh makluh ciptaan yang lain juga teraarah kepada relasi dan persekutuan ini karena mereka juga mengalir dari kasih Alah yang bebas itu.

Manusia merupakan gambar dan rupa Allah Tritunggal, sehingga ia mengambil bagian dalam dimensi personal dan kebabasan yang hanya dimiliki Allah dalam sebuah cara yang absolut. Kebebasan manusia merupakan anugerah, yang diterima layaknya sebuah benih yang harus ditanam dan dikembangkan secara bertanggungjawab. Ini merupakan sebuah kebebasan nyata yang dihormati, didukung dan dijujnjung tinggi bahkan oleh Allah sendiri. Pada kenyataannya, seorang pribadi akan manjadi ‘dirinya’ sejauh ia mengembangkan kemampuan bawaan yang diberikan padanya dalam kebebasan.   Sebab hanya dalam iklim kebebasan yang bertanggungjawab kemampuan bawaan itu dapat bertumbuh dengan baik dan memperoleh hasil yang memuaskan.

  1. Pemberian atau anugerah cuma-cuma (Gratuitousness)

Penekanan pada kebebasan mutlak Allah menghantar pada sebuah logika anugerah atau pemberian cuma-cuma. Segala sesautu yang ada dan terjadi pada kita merupakan anugerah; dan di dalamnya kita bertumbuh dalam kebebasan. Sebelum diciptakan, kita bukanlah apa-apa, sehingga kita tidak mempunyai hak atas apapun. Kita hanya memilki eksistensi sebagai gambar dan rupa Allah hanya karena kita dicintai Allah. Bukan karena hal lain, selain karena cinta Allah sendiri.

Segala yang terjadi dan ada pada manusia semata-mata karena anugerah dan kebaikan Allah. Oleh karena itu, tidak ada satupun manusia yang boleh berbangga dan menganggap dirinya lebih tinggi dari yang lain.  Bahkan ketika kita sukses, kita hendaknya tetap berkata “kami hanyalah hamba yang tidak berguna, yang hanya mengerjakan apa yang harus kami lakukan (Lukas: 17:10).

Dalam konteks cara pikir ini, apa yang dikatakan Deccartes tentang manusia sebagai makhluk yang berpikir “Saya berpikir maka saya ada”, diubah menjadi “saya dicintai maka saya ada”.  Ciptaan itu baik karena karena dicintai, dengan demikian, yang harus dilakukan manusia adalah memandang dengan penuh kasih (contemplate); sebuah sikap penuh kagum dan bersyukur sekaligus. Dengan cara pandang itu, manusia sebenarnya diajak agar tidak memandang sesuatu hanya atas dasar asas manfaat belaka; sebab Allah adalah sumber segala sesuatu yang ada. Prinsip ini hendaknya menjadi prinsip personal setiap orang agar ia senantiasa mampu menjalin relasi yang bebas dan penuh sukacita kepada semua orang dan segenap ciptaan.

  1. Persaudaraan (Fraternity)

Menyadari bahwa segala sesuatu adalah anuherah, Fransiskus menghendaki agar saudara-saudaranya menjadi saudara universala bagi semua orang dan segenap ciptaan, karena semuanya mengambil bagian dalam proyek cinta yang ilahi. Para pengikut Fransiskus hendaknya tidak memandang sesame sebagai pesaing, melainkan sebagai rekan seperjalanan dalam cara hidup yang sama. Fransiskus sendiri menjadi saudara universal yang penuh sukacita kepada siapa saja baik itu orang kaya atau miskin, teman atau musuh, orang beriman atau orang berdosa. Fransiskus sadar dan yakin bahwa perang dan kebencian bukanlah jawaban yang baik dalam mengatasi konflik; itulah sebabnya ia memohon kepada Paus Honorius III untuk menganugerahkan indulgensi Pertobatan Assisi. Kecuali itu, Fransiskus juga dengan rendah hati mendekati kaum heresy (Pengajar sesat) dan kaum Muslim di tengah peristiwa perang salib; Ia mendekati mereka dengan penuh persahabatan dan memeluk mereka untuk memberikan salam damai. Meneladani ajaran dan teladan Fransiskus, para pengikut Fransiskus menawarkan prinsip persaudaraan sebagai karakteristik penting yang khas bagi sekolah Fransiskan dan mengjukan hal itu sebagai panduan dan horisan bagi keberadaan mereka di dunia.

Konsep persaudaran melampaui konsep solidaritas. Jika solidaritas mencari kesetaraan sehingga tidak seorangpun mengalami kekurangan atas kebutuhan mereka, maka persaudaraan lebih dari itu karena ia menekankan pentingnya individualitas dan singularitas seseorang; persaudaraan tidak hanya menekankan pentingnya kesetaraan tetapi juga akan nilai penting perbedaan. Dengan adanya persaudaraan, orang tidak lagi cenderung untuk merasa superior terhadap yang lain, melainkan merasakan persatuan yang intim kepada semua orang dan dengan penuh sukacita saling berbagi. Sesama adalah saudaraku bukan sebagaii pesaing; Aku harus menerima sesama sebagaimana adanya mereka; kita saling melengkapi satu sama lain; kebutuhan seseorang menjadi tanggungjawab bagi yang lain, dan demikian sebaliknya. Persaudaraan serupa juga harus kita perluas dengan segenap ciptaan. Segenap ciptaan adalah saudara dan saudari karena mereka masing-masing mempunyai nilai pada dirnya sendiri. Segala sesuatu yang ada saling berelasi dan bergantung satu dengan yang lain.

  1. Kebaikan bersama (Common Good)

Prinsip Fransikan tentang kebaikan bersama erat terkait dengan prinsip anugerah atau hadiah cuma-cuma dan prinsip persaudaraan, karena ketiganya didasarkan pada kehendak kasih Allah yang bebas. Sasdar bahwa segalanya adalah anugerah Allah semata, membuat seseorang dengan penuh sukacita masuk ke dalam persekutuan dan berjuang untuk kebaikan Bersama. Inisiatif setiap pribadi dihargai tetapi selalu berorientasi untuk membangun persekutuan dan komunitas.

Prinsip ini tidak hanya mampu menjawab kecenderungan yang yang terlalu menekankan aspek sosial atas kehidupan manusia dan mengabaikan peran penting pribadi, tetapi juga mampu menangkal kecenderungan individualisme, yang terlalu menekankan individu dan mengabaikan aspek sosial dari masing-masing individu. Demi kebaikan bersama, masing-masing individu saling berbagi atas apa yang ada pada mereka; Dan sikap saling berbagi itu didasarkan pada sikap syukur atas anugerah yang kita terima dan diperkuat oleh rasa persaudaraan yang dilandasi kasih dan kehendak bebas.

 

Sumber Bacaan:

Martín Carbajo Núñez, OFM Sister Mother Earth: Franciscan Roots of the Laudato Si’, Tau Publishing, 2017.

Sonny, A., Keraf, Etika Lingkungan, PT Kompas Media Nusantara, 2002

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

16 + 12 =