Oleh: P. Yulius Fery Kurniawan OFM
Kotbah Populis tidak dapat dipisahkan dari hagiografi. Kekudusan hidup sesungguhnya yang membuat para pengkotbah ulung Fransiskan bisa menjala begitu banyak orang bagi Tuhan. Hati rakyat sederhana dijerat oleh kata-kata yang menjelaskan tindakan nyata. Fransiskus sendiri memperluas makna kotbah melampaui rangkaian kata-kata dan meminta para saudara agar menjadikan teladan dan kesaksian sebagai kotbah yang hidup. Tanpa keselarasan kehendak dengan budi, seseorang akan tercekik oleh kotbahnya sendiri dan mati oleh huruf.
Kendati Fransiskus menekankan tindakan nyata, ia tidak begitu saja menempatkan kotbah kata-kata di pinggiran. Bukan berarti hanya cukup dengan teladan yang baik, kotbah (kata-kata) lantas tidak terlalu diperhatikan. Kotbah populis menjadi bagian utuh panggilan ad extra dalam gerakan para saudara awal. Sesungguhnya banyak inspirasi yang bisa diserap dari sejarah dan tradisi kotbah populis Fransiskan, baik yang selaras dengan spiritualitas, maupun yang justru bertolak belakang. Tulisan ini berupaya untuk menggambarkan dan menyerap inspirasi dari sejarah tersebut.
Adapun bagian pertama tulisan ini akan menunjukkan unsur-unsur penting kotbah populis berdasarkan spiritualitas Fransiskus. Bagian kedua akan menimba inspirasi dari metode berkotbah Antonius Padua. Bagian ketiga menggambarkan sejarah singkat para pengkotbah ulung dalam gerakan Fransiskan. Bagian keempat merupakan penutup yang terdiri dari rangkuman dan tanggapan. Menimbang keterbatasan sumber, pembahasan kami berkisar sejak gerakan awal Fransiskan sampai abad ke-16.
KOTBAH POPULIS ALA FRANSISKUS DAN PARA SAUDARA PERTAMA
Fioretti merekam secara dramatis keputusan kritis Fransiskus untuk mengarahkan gerakan persaudaraannya. Di antara dua opsi yang lazim pada zamannya, Fransiskus mengalami kebimbangan dalam memilih hidup kontemplatif atau hidup aktif. Melalui pertimbangan Klara dan Silvester, yang ia anggap sebagai medium kehendak Allah, Fransiskus mendapatkan jawaban: “Ia menghendaki agar engkau pergi dan berkotbah ke seluruh dunia karena Dia memilih engkau bukan untuk dirimu sendiri, melainkan juga untuk keselamatan orang lain.”[1] Terlepas sejauh mana bobot historis kisah ini, keputusan Fransiskus itu telah tercetak dalam Anggaran Dasar Saudara-Saudara Dina.[2]
Sumber lain dapat diketemukan dari kesaksian Jacques de Vitry sebagaimana ditafsirkan oleh Kajetan Esser.[3] Dikatakan pada mulanya mereka diutus berkotbah berdua-dua. Seiring dengan jumlah para saudara yang semakin bertambah, mereka diutus berkelompok yang terdiri dari sepuluh sampai tujuh saudara. Mereka mewartakan Sabda Allah di kota-kota dan desa, di alun-alun terbuka, atau di Gereja Paroki. Jadi, tidak pernah para saudara awal melaksanakan tugas berkotbah seorang diri saja, tetapi selalu membentuk persaudaraan yang tidak berorientasi pada tempat tetapi pribadi. Mereka selalu bergerak dan untuk pertama kalinya dalam sejarah, Fransiskan bersama Dominikan menjadi tarekat yang mempraktekkan kotbah berkeliling (itinerant preacher) seperti dipraktekkan oleh Kristus dan para rasul-Nya.
Pilihan untuk berkotbah bukan dipandang sebagai pengecualian bagi para saudari Miskin dari San Damiano dan beberapa gerakan kontemplatif ordo ketiga justru karena keluasan makna kotbah bagi Fransiskus. Wasiat Klara menggemakan pandangan Fransiskus: “…Tuhan memanggil kita untuk karya agung sehingga kita menjadi teladan dan cermin bagi orang lain, maka haruslah kita memuji dan meluhurkan Tuhan dan merasa diri dikuatkan dalam Tuhan untuk semakin berbuat baik.”[4] Dalam arti ini, hidup kontemplatif dalam pingitan dapat dipandang sebagai kotbah melalui teladan dan kesaksian hidup.
Kotbah kata-kata memang hanya mungkin dipraktekkan oleh pada para Saudara Dina dan anggota ordo ketiga aktif. Tidak demikian dengan para Klaris dan Ordo Ketiga kontemplatif sebagai konsekuensi dari tekanan pada unsur kontemplatif. Namun sebagaimana dialami oleh Fransiskus, kerinduan untuk hidup dalam keheningan selalu mengiringi kehidupan aktif para Saudara Dina.[5] Cara hidup yang ditetapkan Fransiskus membuka kemungkinan setiap saudara untuk menghayati ketegangan antara pola aktif dan kontemplatif.[6]
Dalam konteks Abad Pertengahan, kegiatan berkhotbah sendiri memiliki dua jenis.[7] Pertama, praedicare yakni kotbah untuk mewartakan kebenaran ajaran iman Kristiani. Nuansanya lebih bersifat apologetika dalam rangka menangkal serangan kaum bidaah. Kotbah jenis ini hanya dapat dilakukan oleh para Klerus dan sesudah mendapat izin resmi uskup setempat. Kedua, exhortatio yakni suatu kotbah dengan gaya seruan dan syair untuk mengajak para pendengarnya bertobat. Kotbah jenis ini dalam prakteknya dilakukan oleh semua saudara karena lebih menekankan gaya hidup. Praedicare banyak dipraktekkan oleh Para Dominikan yang memang dididik secara khusus untuk itu. Sedangkan Fransiskus dan para saudaranya lebih banyak mempraktekkan exhortatio, kecuali beberapa saudara yang terdidik mempraktekkan praedicare.
Fransiskus mengarahkan sasaran berkotbah dari para Saudara Dina pertama-tama demi pertobatan semua orang beriman: “Pergilah dan wartakanlah damai kepada sesama manusia. Berkhotbahlah tentang pertobatan dan pengampunan dosa! Sabarlah dalam kesusahan, tekunlah dalam doa, rajinlah dalam bekerja, sederhana dalam berkata, serius dalam sikap dan berterimakasih untuk setiap kebaikan…”[8] Jika pertobatan yang dijadikan tujuan, maka tidak mungkin tidak kotbah harus muncul dari cara hidup. Cara para saudara yang sederhana, tulus, dan apa adanya dalam menyampaikan kotbahnya berperan besar dalam merubah total metode berkotbah, lagipula menjadi titik mula suatu ordo baru yang memusatkan perhatiannya pada panggilan berkotbah kepada semua anggotanya, baik yang klerus maupun awam.[9]
Kajetan Esser memberikan istilah “Kotbah Apostolik” bagi pola kotbah awal Fransiskan yang bertujuan utama menyerukan pertobatan dan memenangkan jiwa-jiwa bagi Allah dengan cara hidup dan bila perlu kata-kata, seperti dilakukan oleh Yesus kristus dan para murid-Nya. Esser menyimpulkannya dari kesaksian Jacques de Vitry, demikian: “Mereka sungguh tidak sibuk dengan hal-hal fana, tetapi berkarya setiap hari dengan hasrat yang membara dan gairah untuk mengambil dari kecongkaan dunia jiwa-jiwa yang sedang sesat untuk diarahkan kembali melalui hidup mereka sendiri…Dia (Fransiskus) tidak membatasi aktivitas para saudaranya hanya kepada kotbah (kata-kata) itu sendiri, tetapi dengan tegas mereka juga harus mempertobatkan umat beriman dengan teladan kekudusan hidup.”[10]
Dalam pertobatan dan praksis hidup beriman tercakup juga tujuan lain yang khas dari berkotbah, yakni mewartakan perdamaian.[11] Oleh karena itu, Fransiskus selalu mengajak para saudaranya agar memulai kotbahnya dengan memberi salam, “Semoga Tuhan memberi damai!” Dalam AngBul IX, ia mengingatkan secara keras agar para saudara tidak berkotbah tanpa seizin uskup setempat dengan maksud menghindari konflik. Sejumlah hagiografi juga menyebutkan keberhasilan Fransiskus mendamaikan uskup dan walikota Assisi melalui kotbahnya.[12]
Daya tarik kebanyakan orang pada Fransiskus jelas tidak terletak pada kemampuan retorika dan ungkapan filosofis mengingat Fransiskus simplex et idiota. Namun, wibawanya berasal dari keyakinan dan pengalaman eksistensialnya akan Kristus, sang Kebijaksanaan, yang terpancar keluar dan dirasakan banyak orang melalui teladannya.[13] Apa yang dikotbahkan sepatutnya keluar dari penghayatan iman personal.[14] Selain itu, motivasi berkotbah harus murni, bukan untuk kedok suatu upah dan pujian sia-sia.[15] Namun, segala kebaikan dan buah yang dihasilkan dari kotbah harus dikembalikan kepada Allah Sumber segala kebaikan.
Dalam tulisan-tulisannya juga kelihatan pedoman yang dibuat Fransiskus bagi para saudaranya yang berkotbah seperti termuat dalam AngBul IX. Pertama, kotbah yang disampaikan hendaknya ditimbang dengan masak-masak dan murni, demi kepentingan umat dan pembinaannya. Jelaslah tujuan kotbah agar umat beriman dibantu dalam menghayati pertobatan dan cara hidup Kristiani (aspek praktis).
Dilihat dalam kaitannya dengan AngTbul XVII, tujuan kemudian dari kotbah juga mencakup pengajaran iman (aspek teoritis). Hal ini terlihat dari peringatan bahwa kotbah para saudara tidak boleh bertentangan dengan peraturan dan ketentuan Gereja Kudus. Penting juga diperhatikan konteks penyusunannya AngTbul dan Angbul di seputar Konsili Lateran IV (1215), yang salah satu perhatiannya adalah menghadapi sejumlah ajaran sesat para bida’ah Albigensian, Katar, Waldensian, dan pandangan Yoakim dari Fiore.[16] Jadi, mau tidak mau Fransiskus dan para saudaranya mulai memberi perhatian pada bentuk kotbah praedicare. Dengan demikian, kata ‘pembinaan’ dipahami sebagai ajakan bertobat sekaligus membentengi umat dari pengaruh ajaran sesat melalui pendalaman ajaran iman.
Kedua, kotbah sebagai bentuk seruan pertobatan hendaknya mewartakan kepada umat cacat cela dan keutamaan, hukuman dan kemuliaan dengan kotbah yang singkat, sebab Tuhan telah menyampaikan firman singkat di atas bumi (Rm. 9:28). Ungkapan ini menyiratkan beberapa fakta. Para saudara tampaknya lebih banyak berkotbah kepada umat sederhana, sehingga kata-kata yang diungkapkan harus bebas dari kefasihan filosofis yang hebat, sebaliknya lebih mudah dipahami dengan gaya yang sederhana dan melayani praktek hidup Kristiani.[17] Kotbah yang singkat atau tidak banyak membual juga mengandaikan prioritas Fransiskus pada kesaksian hidup yang “berbicara” lebih tajam daripada rangkaian kata-kata. Namun, bagaimana gaya Fransiskus dalam berkotbah?
Kajetan Esser mengambil salah satu kesaksian penting Thomas dari Spalato yang pernah menyaksikan sendiri gaya kotbah Fransiskus di Bologna.[18] Demikian kesaksiannya, “Nec tamen ipse modum praedicantis tenuit, sed quasi concionantis…” Ia berkotbah dengan sangat impresif layaknya seorang pembicara publik, sekalipun tidak mengandung gaya akademis. Bagi pendengarnya, kotbah-kotbah Fransiskus terasa menggemakan suatu tema yang pernah dikatakan oleh orang kudus tertentu, sehingga menimbulkan kekaguman bagi para terpelajar yang mengetahui latar belakang pendidikan Fransiskus.
Berdasarkan uraian di atas, kotbah Populis ala Fransiskus dapat diringkas dalam beberapa pokok berikut. 1) Sasaran kotbah populis adalah umat beriman Kristiani–untuk membedakan dengan pewartaan iman kepada kaum Sarasen dan tak beriman. 2) Oleh karena itu, kotbah mesti disampaikan dalam bahasa yang sederhana agar mudah dipahami dan impresif agar menarik perhatian. 3) Kesederhanaan bahasa dan gaya impresif hanya akan menarik apabila mengalir dari penghayatan iman dan kesaksian hidup. 4) Akhirnya, sekalipun jenis praedicare juga diberi tempat oleh Fransiskus, tetapi pengajaran iman pada akhirnya terarah pada pertobatan, praksis hidup beriman, dan perwujudan perdamaian. Keempat kekhasan ini yang akan menjiwai kotbah populis dalam tradisi Fransiskan.
ANTONIUS PADUA DAN SERMONES
Sekalipun personalitas Fransiskus menjiwai kotbah populis para saudara, dalam perkembangan sejarah gerakan Fransiskan keempat karakter kotbah Fransiskus ditampilkan dalam ungkapan yang baru, tetapi terdapat juga ungkapan yang bertentangan dengan semangat asalinya. Dari rahim gerakan awal Fransiskan, muncul para pengkotbah yang termasyur karena perannya bagi kaum beriman maupun dalam rangka melayani aneka kepentingan hierarki Gereja.
Pengkotbah pertama Fransiskan yang termasyur adalah Antonius dari Padua (1195-1231), yang kurang dari sepuluh tahun berhasil mempengaruhi seluruh Italia dan Prancis Utara. Ia berperan besar dalam membela iman Katolik dari serangan kaum bida’ah Albigenses, bahkan sampai mempertobatkan mereka. Melalui kotbah-kotbahnya Antonius bisa membawa banyak orang pada sakramen tobat dan mendamaikan mereka yang berselisih.
Lebih dari itu adalah kotbah dan diplomasi Antonius bisa memberikan perubahan sosial dan hukum di Padua.[19] Dalam hukum lama di Padua, seorang berhutang bisa dihukum penjara, terlepas karena tidak mampu atau tidak mau. Berkat Antonius, hukum 15 Maret 1231 memutuskan seseorang yang berhutang tidak boleh dipasung kebebasan pribadinya dengan hukuman penjara, tetapi cukup dengan menyita sebagian hartanya. Itu pun harus dibedakan antara mereka yang tidak mampu dan tidak mau.
Kombinasi praedicare dengan exhortatio mulai memasuki gaya kotbah populis Fransiskan juga pertama-tama dalam sosok Antonius Padua. Sebanding dengan banyaknya hagiografi tentangnya, Antonius sendiri meninggalkan kotbah-kotbahnya secara tertulis dalam satu koleksi terpadu dan berdasarkan kalendar liturgi, yang sekarang dikenal dengan Sermones.[20] Ketekunannya dalam menyusun bahan kotbah itu membuat warisan metode berkotbah Antonius dapat ditelusuri, berbeda dengan sebagian besar pengkotbah Fransiskan yang sedikit saja meninggalkan dokumen tertulis.
Pada Abad Pertengahan, kalender Liturgi masih belum seragam. Antonius sendiri memakai daftar bacaan liturgi yang disusun pada masa Paus Innocentius III (1212-1214). Dalam satu masa liturgi, Antonius membaginya menjadi beberapa sesi seturut kronologi bacaan tahun liturgi. Ia memulai kumpulan kotbahnya pada septuagesima, yakni minggu ketiga sebelum masa puasa atau minggu kesembilan sebelum Paskah. Dapat ditengarai pilihan Antonius tersebut karena bacaan septuagesima mengambil bacaan Kitab kejadian. Dengan pilihan ini barangkali Antonius bermaksud menghadirkan suatu teologi terpadu berdasarkan rangkaian sejarah keselamatan yang dimulai dari Kisah Penciptaan.
Sermones memiliki hubungan dengan kotbah-kotbah yang akan maupun sudah disampaikan Antonius di mimbar.[21] Ini berarti sermones ditulis Antonius sebagai bahan persiapan kotbah, lantas dievaluasi, diedit, dan disusun menjadi satu kumpulan yang disebut sermones. Beberapa kotbah dalam Sermones juga belum tentu pernah disampaikan. Para ahli memperkirakan keseluruhan sermones disusun Antonius pada periode sekitar 1223-1227. Dimulai dengan mengerjakan Sermones Dominicales (1224-1227), Antonius melakukan peredaksian akhir pada 1229/30 di Padua. Sedangkan Sermones Festivi disusun antara 1230-1231, tetapi sayang sekali sebelum sampai pada peredaksian akhir, Antonius meninggal.
Sermones disusun Antonius atas permintaan persaudaraan dan permintaan dari hirarki Gereja.[22] Permintaan dari Ordo berdasarkan fakta banyaknya saudara yang lemah dalam pengetahuan dan kemampuan berkotbah. Apalagi dengan merujuk pada surat Fransiskus dapat disimpulkan Sermones dimaksudkan sebagai bahan ajar bagi para saudara.
Dari pihak Gereja, Kardinal Rainaldo (kelak menjadi Paus Alexander) pada 1230 meminta Antonius untuk menulis rangkaian kotbah mengenai pesta para kudus. Muatan kotbah Antonius yang banyak berbicara mengenai Perjanjian Lama dan kemanusiaan Kristus dilatarbelakangi oleh upaya Gereja dalam melawan kaum Katar. Sedangkan tekanan pada sakramen pertobatan dalam kotbah-kotbahnya bermaksud menyebarkan pemahaman dan implementasi dari Kanon 21 Konsili lateran IV. Singkatnya, sermones disusun juga untuk melayani kebutuhan pastoral Gereja
Antonius mewarisi sekolah eksegese yang menyintesakan antara tafsiran biblis dan moral. Warisan tersebut lantas disesuaikan dengan pola kotbah sesudah Konsili Lateran IV yang mencakup pengetahuan tentang ajaran iman dan spiritual (katekese) serta pengajaran tentang hidup yang baik (instruksi moral). Pengkotbah, dengan demikian, sekaligus seorang guru yang mengkomunikasikan pengetahuan dan merawat jiwa-jiwa. Pola umum tersebut turut mempengaruhi kotbah Antonius yang cenderung praktis-eksistensial, serta bermaksud mengarahkan pendengarnya kepada perubahan hidup (pertobatan).
Dari segi struktur kotbah, Antonius biasanya membaginya ke dalam lima bagian utama.[23] Pertama, Proposisi dari tema kotbah. Bagian ini bermaksud menunjukkan tema kotbah yang diambil dari peristiwa iman apa yang dirayakan. Hal ini bisa dilakukan dengan mengutip perikop Kitab Suci yang mewakili tema bersangkutan. Antonius biasa memilih perikop yang memiliki frase khas, misalnya: Pada saat ini…, Ketika hari sudah larut malam…, Pada mulanya…dll.
Kedua, prolog yang sesuai.[24] Prolog ini bisa digunakan untuk memperkenalkan diri sembari memberi waktu bagi para pendengar untuk menaruh perhatian kepada pengkotbah. Tujuan lainnya adalah mengarahkan pendengar agar berdoa supaya kotbah ini berbuah atau membawa pada sikap hening-instropektif. Bagian ini juga bisa mengambil perikop Kitab Suci yang lain tetapi masih berkaitan dengan tema.
Ketiga, pembagian tema.[25] Antonius biasa membagi kotbahnya dalam bentuk segmen-segmen yang masing-masing fokusnya khas tetapi saling tarkait secara kronologis. Jumlah segmen yang dipilih juga menyimbolkan pesan biblis tertentu. Pembagian ini dikatakan secara eksplisit, misalnya: Dengarkan (atau catatlah), seperti Allah menciptakan dunia selama enam hari, ada enam hal penting yang harus anda ingat dalam kotbah ini…dst.
Keempat, penjelasan setiap bagian (clausulae).[26] Bagian ini menguraikan setiap tema yang sudah disebutkan. Di sini juga perikop inti tema kotbah ditafsirkan dan dikembangkan. Dalam menafsirkan teks Kitab Suci, Antonius lebih sedikit menggunakan penafsiran literer daripada penafsiran alegoris dan moral. Dalam penafsiran alegoris, pengkotbah menafsirkan simbol dan tanda dalam Kitab Suci sebagai penyingkapan mengenai hidup Yesus. Sedangkan penafsiran moral mengaitkan perikop dengan pertobatan, sikap hidup, dsb. Oleh karena itu, satu ayat bisa dijelaskan melalui ayat lain dalam satu kitab atau bahkan dalam kitab yang berbeda. Kefasihan dalam mengaitkan ayat-ayat tersebut hanya timbul dari ketekunan membaca Kitab Suci.
Kelima, epilog.[27] Pada bagian ini pengkotbah memberikan kepada pembaca pokok-pokok dari setiap bagian (clausulae) secara singkat sehingga didapatkan suatu pemahaman yang utuh tetapi dalam waktu yang singkat. Bagian ini juga bisa diungkapkan dalam bentuk doa.
SEJARAH DAN TRADISI KOTBAH POPULIS SESUDAH ANTONIUS SAMPAI ABAD KE-16
Dengan jumlah para saudara yang semakin bertambah –pada Kapitel 1221 sudah berjumlah 3000 saudara dan kapitel 1222 mencapai 5000 saudara— maka kotbah harus mulai diatur. Penampilan para saudara yang mirip dengan para bida’ah dan menjaga para saudara dari kekeliruan dalam berkotbah adalah alasan utamanya. Oleh karena itu, AngTBul 1221 menyatakan izin kotbah didapatkan dari minister Provinsi, tetapi AngBul 1223 hanya didapat dari Minister Umum. Namun pada akhirnya, Paus Gregorius IX memberikan kembali wewenang memberi izin kepada para provinsial.
Sepeninggal Fransiskus, bertahap tapi pasti, tuntutan yang semakin ketat dari Gereja bagi para pengkotbah lantas disusul dengan seleksi oleh setiap provinsi, mulai memunculkan semacam “kelas pengkotbah” dalam tubuh ordo.[28] Mereka ini menikmati berbagai previlese dan penghormatan yang lebih besar daripada para saudara awam dan klerus yang kurang terpelajar. Demikian juga pola berkotbah exhortatio mulai dirasuki unsur teologi dengan gaya retorika skolastik yang diterapkan di universitas-universitas.[29]
Para pengkotbah terpelajar pada Abad Pertengahan menyusun semacam skema kotbah yang berisikan kutipan-kutipan teks yang pas. Lantas skema itu menjadi bahan kotbah yang diungkapkan dengan bahasa daerah dan dibumbui dengan anekdot-anekdot yang dikumpulkan menjadi semacam antologi atau bisa dari pengalaman konkret mereka.[30] Walaupun gaya akademis merasuki pola berkotbah para saudara, tetapi itu tidak mengenyahkan sama sekali warna populis yang dikemas dengan ungkapan sederhana, puitik, dan impresif.
1. Ordo Memanen Para Pengkotbah[31]
Dalam kurun Abad Ke-13 munculah para pengkotbah termasyur dari wilayah Italia, Prancis, Inggris, dan Jerman.[32] Selain Antonius dari Padua, banyak dari para pengkotbah tersebut juga merupakan guru Teologi yang meninggalkan koleksi kotbah dalam bahasa Latin. Jean de La Rochelle misalnya pernah menyusun semacam buku panduan kotbah, Artes Praedicandi.
Pada akhir abad ke-13 sampai ke-14 terdapat buku-buku pegangan semacam ensiklopedi seperti Summa de Exemplis, Tabula Exemplorum, dan Dormi Secure, yang menyediakan kepada para pengkotbah semacam tema-tema moral dan teologi, analogi-analogi, kisah-kisah, dan dongeng bermakna sebagai sumber inspirasi kotbah.[33] Beberapa Fransiskan menghasilkan karya semacam itu, misalnya: De proprietatibus rerum, Tabula exemplorum secundum ordinem alphabeti, dan Speculum Laicorum.
Abad ke-15 dapat dipandang sebagai zaman keemasan dari kotbah Fransiskan. Para Fransiskan Observan berkotbah dengan ungkapan biblis sembari memberi muatan akademis untuk merebut kembali hati para pendengarnya yang telah terbius oleh semangat Renaissance yang ingin kembali ke sumber filsafat Yunani.[34] Perubahan sosio-politik yang drastis dari Skolastisisme ke Renaissance mereka hadapi dengan kotbah-kotbah yang menyerukan keadilan dan belaskasih dalam cara pandang Kristiani.
Pada abad itu juga tampilah “keempat pilar” dari kelompok Observan.[35] Bernardinus dari Siena († 1444), yang dengan kotbahnya berhasil mendesak keluar para Observan dari pertapaan agar membagikan “harta karun” dari kontemplasi mereka kepada umat beriman. Albertus Sartaneo († 1450) dikenal sebagai “Raja Para Pengkotbah” yang terpaksa berkotbah di pasar-pasar karena gereja-gereja tidak cukup menampung pendengarnya yang mencapai 50.000-60.000 orang. Belum lagi Yohanes dari Capistrano († 1456) yang sampai merambah Italia, Prancis, Jerman, Austria, Bohemia, Hungaria, dan Dalmatia, melaksanakan tugas Tahta Suci dalam mengobarkan perang melawan Kelompok Hussites dan Turki lantas mencapai kemenangan atas Mohammed II. Sedangkan Yakobus dari Markhe merambah bukan hanya Italia, melainkan sampai seluruh Eropa Tengah, Norwegia, dan Denmark, dengan tujuan mempertobatkan penduduk yang masih menyembah berhala.
2. Kotbah yang Melahirkan Spiritualitas Umat Awam
Keterhubungan kotbah menyerukan pertobatan dengan sakramen pengakuan dosa juga berkembang sejak Paus Bonifasius III melalui Bulla Super Cathedram yang memberikan para saudara klerus wewenang untuk ambil bagian dalam aktivitas pastoral, khususnya sakramen pengakuan.[36] Dalam hal ini, para saudara masih tetap melestarikan warisan Fransiskus yang menaruh perhatian pada kotbah yang mengarahkan umat pada pertobatan. Lebih dari itu, visi kotbah populis ala Fransiskus yang dikombinasikan dengan retorika dan teologi telah membidani lahir dan berkembangnya spiritualitas umat awam.
Seperti sudah disinggung sebelumnya mengenai gaya penyusunan kotbah Abad Pertengahan, para pengkotbah juga menggunakan perbendaharaan kata dan imajinasi yang sesuai dengan konteks pendengarnya. Inilah yang disebut sermones ad status, suatu kotbah yang disusun berdasarkan kelompok pendengarnya seperti, para kesatria, pedagang, pelajar, guru, pembantu, pemerintah, pasangan menikah, dst. Namun semuanya diarahkan kepada tema mengenai pertobatan dan penyesalan, rekonsiliasi dengan musuh, pengakuan dosa, dan tanggung jawab untuk beramal kepada kaum miskin.[37]
Keberhasilan kotbah untuk mempengaruhi kaum beriman lebih terletak pada tema-tema yang dibawakan. Umat awam didorong kepada perasaan tidak puas hanya dengan menjadi penonton pasif dalam hidup mentaati Injil dan dibuat lapar untuk merasakan pengalaman iman secara personal. Mereka merasa tidak menemukan bimbingan secara personal dari pendekatan Gereja yang terlalu struktural pada waktu itu, tetapi merasakan kotbah para saudara memberikan peluang untuk bisa berpartisipasi aktif dalam kehidupan beriman.
Menurut C.H. Lawrence, para pengkotbah Mendikan Abad Pertengahan mengawali ide mengenai “hidup bakti” bagi umat awam melalui teladan dan kotbah mereka—suatu kehidupan doa dan korban khas Kristiani tidak lagi bermodelkan para rahib atau tergantung pada asketisme yang diprofesikan, tetapi dengan hidup sepenuhnya di dunia.[38] Para saudara membawa harapan yang besar bagi umat beriman awam, sekaligus meruntuhkan paradigma spiritualitas monastik tradisional yang memandang hanya hidup religius yang memungkinkan penghayatan iman Kristiani secara penuh. Para saudara-saudari pentobat yang berada di sekitar para Saudara Dina dan daripadanya dikenal banyak orang kudus merupakan bukti nyata dari daya magis kotbah-kotbah para Saudara Dina pada saat itu.[39]
3. Menggeser Visi Fransiskus demi Gereja (?)
Sebagai suatu tarekat internasional, yang didedikasikan oleh pendirinya untuk taat pada para paus dan pelayanan pada ortodoksi, ordo Mendikan secara sempurna tepat untuk peran ini. Fakta bahwa mereka memiliki kelompok terpelajar yang terus berkelana dan terdidik menjadikannya pelaku-pelaku ideal dari kepausan dalam usahanya untuk kepentingan pastoral dan politis Gereja Barat. Dimulai dari Hugolino, setiap pelindung Ordo Saudara-Saudara Dina bukan hanya berperan menjadi perantara suara kepada Kuria, membantu ordo dalam menjaga previlese dan memeriksa kesejahteraan hidupnya; namun juga sebagai penghubung yang melaluinya tuntutan dari kebijakan kepausan dapat disampaikan kepada para pemimpin Ordo.[40]
Dilatarbelakangi jatuhnya Yerusalem ke tangan kaum Muslim dan penyebaran ajaran bida’ah, Paus Gregorius IX memanggil para Fransiskan dan Dominikan untuk berkotbah dalam rangka mengobarkan perang salib merebut kembali tanah suci. Bersamaan dengan itu kotbah para Mendikan diharapkan mempengaruhi banyak orang untuk ikut serta dalam perang Baltik melawan orang-orang Lituania, melawan pemimpin-pemimpin Kristen dan kota-kota yang membangkang kepada negara kepausan serta melawan para bida’ah.
Agar menarik lebih banyak orang untuk ikut perang salib, Paus memberi beberapa kuasa kepada para pengkotbah.[41] Para pengkotbah bisa menjanjikan indulgensi satu tahun bagi mereka yang mau ikut perang salib dan indulgensi 2o hari hanya dengan mendengarkan kotbah. Para saudara juga diberikan kuasa untuk membatalkan sumpah dari mereka yang sudah terlanjur memutuskan ikut berperang tetapi batal karena sakit dan miskin. Bagi yang tidak bisa berperang, para pengkotbah mendorong mereka memberikan donasi untuk mendukung biaya perang.
Jarak para saudara yang semakin dekat dengan kekuasaan dan uang donasi tentu berpotensi menimbulkan penyimpangan. Matius Paris menuduh para pengkotbah menerima uang balas jasa dari mereka yang dibatalkan sumpahnya untuk berperang.[42] Para Mendikan juga dituduh mengkhianati kaul mereka karena kedatangannya ke Gereja atau kota selalu disambut dalam suatu festival dan perayaan yang meriah. Sejauh mana kebenaran dari tuduhan-tuduhan itu dan sejauh mana penyimpangan itu terjadi dalam para pengkotbah Fransiskan, masih belum jelas. Namun tugas mengumpulkan dana salah satunya oleh para pengkotbah Fransiskan dengan sendirinya sudah melanggar visi Fransiskus.[43]
Dalam rangka melawan para bida’ah, para pengkotbah Fransiskan juga diberi tugas Gregorius IX untuk membantu (ya, sekedar membantu!) para inkuisitor Dominikan. Jumlah Fransiskan yang lebih sedikit untuk dipilih menjadi petugas inkuisitor mungkin karena Paus melihat jumlah awam yang besar dalam Fransiskan kurang cocok untuk tugas resmi tersebut daripada Ordo Klerikal seperti para Dominikan.[44] Baru pada masa Paus Innocentius IV peran Fransiskan baik dalam rangka berkotbah maupun menjadi petugas inkuisisi diperbesar.
Selain karena tidak semua Fransiskan terpelajar dan termasuk golongan Klerus, beberapa saudara Fransiskan mulai tidak puas melihat kenyataan mimbar-mimbar digunakan sebagai kotbah untuk melindungi kepentingan politis negara Kepausan. Sesudah 1323, ketika sebagian kelompok Fransiskan (khususnya para spirituali) sering mengkritik korupsi dalam kepausan dan memberontak melawan otoritas Paus Yohanes XXII, kuria lebih banyak menaruh kepercayaan kepada para Dominikan.[45]
Menipisnya kepercayaan Gereja kepada para Fransiskan dalam berkotbah dalam arti tertentu justru menyelamatkan para saudara dari pengkhianatan yang lebih besar terhadap visi spiritualitas. Fransiskus sendiri jelas menolak perang dalam menghadapi ekspansi kaum Sarasen, tetapi mengambil jalan kesaksian hidup dan bila Allah menghendaki baru kemudian dengan kata-kata.[46] Semakin tidak banyaknya para saudara yang menjadi petugas resmi inkuisisi turut serta mengembalikan para saudara kepada pola berkotbah exhortatio yang lebih menyasar umat sederhana. Pola ini lebih membantu para saudara dalam mengambil jarak dari kekuasaan dan previlese-previlese lainnya.
4. Kotbah Kritis dalam Masa-Masa Kritis
Pada Abad ke-16, para pengkotbah Fransiskan berperan besar sebagai pelaku perubahan dalam masyarakat Prancis. Dalam hal ini Fransiskan Observan yang memainkan peran besar dalam kotbah-kotbah populis pada masa itu: “Sebagai tarekat terbesar dari tiga cabang Fransiskan pada masa konflik agama, para Fransiskan Observan begitu banyak dan begitu aktif sebagaimana halnya para Yesuit, dan mereka paling menonjol di antara para klerus Mendikan.[47] Namun sayangnya para saudara tidak meningalkan catatan sejarah tertulis mengenai kotbah dan aktivitas mereka. Rupanya semangat penyangkalan diri begitu kuat terinternalisasi sehingga memunculkan sikap enggan dalam diri para saudara untuk membicarakan prestasi mereka. Catatan-catatan kotbah para saudara begitu sulit didapat, sekalipun tetap tidak menghapus rekam jejak sumbangan besar mereka pada masa-masa kritis waktu itu.
Pada akhir abad ke-16, Paris yang mengalami masa krisis lantaran sumber-sumber tradisional yang melegitimasi otoritas rohani (kepausan dan monarki), diserang oleh kebangkitan reformasi Kalvinis. Di sini para pengkotbah Observan melalui kotbah-kotbahnya memberikan asupan kebenaran-kebenaran iman kepada umat Katolik. Mereka tampil militan dan radikal sebagai seorang pembimbing spiritual, mengkritik cara hidup umat, bahkan otoritas-otoritas kerajaan dan Gereja. Keberanian mereka, menurut Megan C. Armstrong, banyak dipengaruhi oleh reformasi internal di dalam ordo.[48] Sekalipun bersifat memecah, pembaruan para observan juga bersifat menghidupkan kembali semangat ad fontes. Dalam rangka membangkitkan kesadaran mereka sebagai pengikut Fransiskus Assisi mereka sampai pada kesadaran bahwa tanggung jawab tugas perutusan mereka kepada Allah sudah ada sebalum otoritas duniawi. Inilah dasar spiritual bagi aktivisme politik para Observan sepanjang Perang Agama dan keputusan untuk bekerjasama dengan Liga Katolik dalam rangka melawan pengaruh Hugenot sesudah 1588.
Mereka aktif mendukung Liga Katolik dan bersuara kritis terhadap kebijakan politik semata-mata demi menjaga kawanan domba Katolik. Para saudara mengkotbahkan suatu paham “tubuh politis”[49] yang bersumberkan pada paham mengenai Gereja sebagai tubuh mistik Kristus. Dari sini, suatu negara monarkhi dibayangkan seperti keseluruhan tubuh yang utuh, saling terhubung, dan solid. Keterpecahan dalam kekuasaan politik pasti berakibat pada reksa iman umat. Sebaliknya kemerosotan hidup spiritual umat akan memperbesar pengaruh kaum Kalvinis sehingga masyarakat akan semakin terpolarisasi, dan akhirnya berujung pada keruntuhan monarkhi.
Rupanya Paus melihat efektifitas dari pola berkotbah keliling yang dilakukan pada Observan sehingga memberikan dukungan dan otoritas kepada para saudara.[50] Para klerus di Prancis pun melihat semangat berkotbah keliling para saudara merupakan senjata ampuh dalam menangkal serangan kaum Kalvinis. Selain itu, militansi para saudara dalam melindungi otoritas Gereja, termasuk sistem monarkhi di dalamnya, mampu memperluas pengaruh politik Gereja baik di dalam Eropa maupun di luarnya.
Kotbah saudara-saudara yang berhasil melahirkan spiritualitas awam juga turut mendorong para tokoh masyarakat, rakyat biasa, baik pria maupun wanita, untuk ambil bagian sebagai pelaku pembaruan spiritual dalam masyarakat Prancis. Dalam ranah akademis, pengaruh besar para saudara di Universitas Paris memberikan akses kepada para intelektual dan elit politik.[51] Kepada mereka para saudara mengingatkan pentingnya menyuarakan dasar-dasar teologis bagi keutuhan monarkhi. Selain itu, para saudara memanfaatkan studi-studi humanistik dan linguistik yang berkembang di Universitas sebagai cara untuk menyerang ajaran Protestan.
Kecurigaan para saudara terhadap agenda monarkhi yang mengabaikan penguatan hidup keagamaan rakyat, membuat mereka berbalik menjadi oposisi yang kritis terhadap raja Henri III sesudah tahun 1588.[52] Bahkan pada 1589 para saudara melalui kotbah-kotbahnya bisa mengumpulkan rakyat menuntut agar Henri III diturunkan, suatu hal yang jarang terjadi dalam masyarakat monarkhi. Dari sini, dapat dilihat visi kotbah para saudara dalam periode ini selain bersifat apologetis, tetapi juga politis dan kritis terhadap kebobrokan internal Gereja dan otoritas sipil. Para saudara kelihatan bebas dalam bersikap karena mereka berkotbah dan “bermain politik” tanpa terseret kenikmatan kekuasaan di dalamnya. Sebab tujuan utama mereka berkotbah adalah demi pertobatan umat beriman.
PENUTUP
Dari ulasan di atas dapat dilihat, kotbah populis dalam sejarah dan tradisi Fransiskan mengalami perubahan dalam beberapa segi. Pada saat gerakan awal, para saudara banyak melakukan kotbah jenis exhortatio. Sesudah banyak kaum terpelajar masuk ordo dan seturut kriteria pengkotbah sebagaimana ditentukan Gereja, kotbah praedicare mulai dipraktekkan. Dalam diri Santo Antonius, kedua jenis itu dikombinasikan secara efektif. Dari segi tujuan, kotbah yang dimaksudkan untuk pertobatan dan membimbing hidup beriman mulai diarahkan untuk mengobarkan perang salib, memerangi bidaah, sampai melayani kepentingan politis Gereja dan Negara. Namun semuanya itu dilakukan sejauh demi menjaga iman kawanan domba. Bukan tanpa resiko, dalam sejarahnya terdapat praktek kotbah para saudara yang menyimpang dari visi spiritualitas, seperti timbulnya kelompok elit pengkotbah, para saudara menjadi pengumpul donasi untuk perang, dekat dengan kekuasaan politis, dan sempat melupakan pemeliharaan umat sederhana secara langsung.
Melihat dinamika perkembangan kotbah populis yang dipraktekkan para saudara, beberapa inspirasi dapat dipakai untuk mengembangkan suatu bentuk kotbah populis yang sesuai konteks zaman. Pertama, warisan kotbah yang khas dari Antonius sampai kepada pembaca zaman ini terutama karena ketekunan orang kudus ini dalam menyusun bahan mentah kotbah, mengedit, dan mengumpulkannya menjadi satu kumpulan yang terpadu. Sulitnya menelusuri tradisi kotbah populis pada kurun waktu abad ke-17 sampai abad ke-20 barangkali bukan karena tiadanya pengkotbah ulung, tetapi miskinnya dokumen tertulis. Artinya tradisi kotbah populis dapat terbentuk untuk masa mendatang apabila para saudara memiliki ketekunan seperti halnya Antonius.
Kedua, sikap tekun para pengkotbah di masa lampau juga kelihatan dari beberapa buku “ensiklopedis” yang berisikan kumpulan anekdot, legenda, dan dongeng inspiratif. Upaya untuk mengumpulkan pelbagai kisah yang dapat mendukung kotbah yang kreatif bukan tidak mungkin bisa diupayakan. Apabila gerakan Fransiskan ingin melanjutkan tradisi kotbah populis, maka upaya-upaya seperti itu akan banyak membantu para pengkotbah. Hal lainnya adalah menggalakkan kursus-kursus aplikatif menyangkut kotbah dan penyediaan buku panduan berkotbah tetapi dalam terang tradisi Fransiskan.
Ketiga, militansi, keberanian, dan daya kritis dari para pengkotbah Prancis abad ke-16 mengalir dari reformasi internal melalui jalan ad fontes dan kemurnian motivasi. Dalam hal ini kotbah seharusnya tidak memberi hiburan dan lelucon belaka, tetapi mengusik hati dan memperdalam hidup, bahkan dengan resiko tidak menjadi populer. Konsistensi dalam isi, cara, dan tujuan pada akhirnya menjadi indikasi berkualitasnya seorang pengkotbah.
Keempat, pesona kotbah populis para saudara Fransiskan yang mampu melahirkan dan menumbuhkembangkan spiritualitas awam juga perlu dihidupkan kembali. Namun zaman ini nampaknya tidak memberi ruang lagi pada kotbah-kotbah di tempat umum, dengan waktu yang cukup panjang, lagipula orang-orang enggan dibanjiri kata-kata. Cara untuk zaman ini barangkali dengan membuat semacam kursus latihan rohani yang disusun oleh para saudara dengan berbagai macam profesi, entah sebagai teolog, ekseget, ahli spiritualitas, sejarawan, psikolog, pendidik, pastor paroki, dsb. Sedangkan dalam konteks homili, cukuplah kotbah diberikan dengan singkat, jelas, tetapi tetap berbobot.
DAFTAR PUSTAKA
Armstrong, Megan C. The Politics of Piety: Franciscan Preachers During the Wars of Religion, 1560–1600. Rochester: University of Rochester Press, 2004.
Esser, Kajeta. Origins of the Franciscan Order. New York: Franciscan Herald Press, 1970.
Esser, Kajetan. Anggaran Dasar Saudara-Saudara Dina yang Terakhir dalam Teropong Penyelidikan yang Paling Baru. Diedit oleh Aleks Lanur. Yogyakarta, 1981.
Hardick, Lothar. He Came to You so that You Might Come to Him. Chicago: Franciscan Herald Press, 1989.
Iriarte de Aspurz, Lazaro. Franciscan History: The Three Orders of St. Francis of Assisi. Chicago: Franciscan Herald Press, 1983.
Ladjar, Leo Laba (Penerjemah). Karya-Karya Fransiskus dari Assisi. Jakarta: Sekafi, 2008.
Lawrence, C.H. The Friars: The Impact of the Early Mendicant Movement on Western Society. London: Longman, 1994.
Marcil, George (editor). Anthony of Padua: Sermones for the Easter Cycle. New York: Franciscan Institute, 1994.
Monti, Dominic V. Francis and His Brother: A Popular History of the Franciscan Friars. Cincinnati: St. Anthony Messenger Press, 2009.
Moorman, John. The History of the Franciscan Order: From Its Origins to the Year 1517. Chicago: Franciscan Herald Press, 1988.
Neurer, J. & J. Dupuis. Christian Faith in the Doctrinal Documents of the Catholic Church. London: Sidney, 1983.
Spilsbury, Paul (Penerjemah). The Sermons of The Saint Anthony of Padua. Diterjemahkan dari edisi kritis berbahasa Latin dari Centro Studi Antoniani (1979). Dapat diunduh secara bebas di: www.franciscan-archive.org/antonius/opera.
Tim CCFMC. “Perutusan Fransiskan dan Pewartaan Sabda”. Dalam Penginjilan Fransiskan dalam Milenium Ketiga. Diterjemahkan oleh Tim Sekafi. Jakarta: Sekafi, 2000.
Tim Penerjemah Sekafi. Fioretti dan Lima Renungan Tentang Stigmata Suci. Jakarta: Sekafi, 2002.
Tim Penerjemah Sekafi. Legenda Perugina: Karya Saudara Leo dan Saudara-Saudaranya Mengenai St. Fransiskus dari Assisi. Jakarta: Sekafi, 2003.
Wahyosudibya, Y (Penerjemah). St. Fransiskus dari Assisi: Riwayat Hidup yang Pertama dan Kedua Menurut Thomas dari Celano. Jakarta: Sekafi, 1984.
______________ (Penerjemah). Legenda Mayor: Riwayat Hidup St. Fransiskus Menurut Santo Bonaventura. Jakarta: Sekafi, 1984.
[1] Bdk. Fioretti, XVI, hlm. 72.
[2] Bdk. AngTBul XVI; AngBul IX &VII.
[3] Bdk. Kajetan Esser, Origins of the Franciscan Order, (New York: Franciscan Herald Press, 1970), p. 219.
[4] WasKlar 19-22.
[5] Bdk. Kajetan Esser, Origins of the Franciscan Order, p. 227.
[6] Bahkan dalam Aturan hidup di Pertapaan, Fransiskus tidak memaksudkan suatu pola hidup bertapa yang permanen bagi seorang saudara. Namun, setiap saudara bergantian bertindak seperti Maria (kontemplatif) dan Marta (aktif). Bdk. Aturan hidup di Pertapaan.
[7] Tim CCFMC, “Perutusan Fransiskan dan Pewartaan Sabda” dalam Penginjilan Fransiskan dalam Milenium Ketiga, diterjemahkan oleh Tim Sekafi, (Jakarta: Sekafi, 2000), hlm. 6.
[8] Bdk. LegMaj III: 7.
[9] Bdk. Lazaro Iriarte de Aspurz, Franciscan History: The Three Orders of St. Francis of Assisi, (Chicago: Franciscan Herald Press, 1983), p. 126.
[10] Kesaksian yang dimaksud adalah karya Jaques de Vitry, Historia Orientalis dan Kotbahnya kepada para Saudara Dina sesudah menjadi Kardinal. Bdk. Kajetan Esser, Origins of the Franciscan, hlm. 217. Sedangkan Lazaro Iriarte memberikan istilah “kotbah pertobatan (penitential preaching)” bagi pola kotbah exhortatio sedangkan kotbah praedicare yang hanya boleh diberikan oleh Para Klerus yang terdidik disebut juga “kotbah doktriner” (doctrinal preaching). Bdk. Lazaro Iriarte de Aspurz, Franciscan History, p. 126.
[11] Bdk. Kajetan Esser, Origins of the Franciscan, p. 224-225.
[12] Bdk. LegPer, 84.
[13] Bdk. 1 Cel, 39; Bdk. Tim CCFMC, “Perutusan Fransiskan dan Pewartaan Sabda”, hlm. 11.
[14] Bdk. SurOr, 34.
[15] Bdk. Pth. VII & XXI.
[16] Tema-tema kotbah misalnya: Trinitas, kesatuan hipostatik Kristus, dan Ekaristi. Semua tema itu dijelaskan dalam kerangka mendukung otoritas Gereja Roma sebagai pewaris ajaran yang benar. Bdk. J. Neurer & J. Dupuis, Christian Faith in the Doctrinal Documents of the Catholic Church, (London: Sidney, 1983), p. 13-16; Bdk. Dominic V. Monti, Francis and His Brother: A Popular History of the Franciscan Friars, (Cincinnati: St. Anthony Messenger Press, 2009), p. 44.
[17] Bdk. Kajetan Esser, Anggaran Dasar Saudara-Saudara Dina yang Terakhir dalam teropong Penyelidikan yang Paling Baru, diedit oleh Aleks Lanur, Yogyakarta, 1981 (dalam bentuk stensilan), hlm. 73.
[18] Bdk. Kajetan Esser, Origins the Franciscan Order, p. 218; Bdk. John Moorman, The History of the Franciscan Order: From Its Origins to the Year 1517, Chicago: Franciscan Herald Press, 1988), p. 273; 1 Cel. 97.
[19] Bdk. Lothar Hardick, He Came to You so that You Might Come to Him, (Chicago: Franciscan Herald Press, 1989), p. 99-100.
[20] Bdk. George Marcil (editor), Anthony of Padua: Sermones for the Easter Cycle: “The Nature and Structure of Anthony’s ‘Sermones”, (New York: Franciscan Institute, 1994), p. 43.
[21] Bdk. George Marcil (editor), Anthony of Padua: Sermones for the Easter Cycle, p. 46.
[22] Bdk. George Marcil (editor), Anthony of Padua: Sermones for the Easter Cycle, p. 48.
[23] Bdk. George Marcil (editor), Anthony of Padua: Sermones, p. 49-56. Agar semakin jelas melihat struktur kotbah Antonius, terjemahan Inggris dari edisi kritis Sermones bisa dimanfaatkan: Paul Spilsbury (penerjemah), The Sermons of The Saint Anthony of Padua, diterjemahkan dari edisi kritis berbahasa Latin dari Centro Studi Antoniani (1979). Dapat diunduh secara bebas di: www.franciscan-archive.org/antonius/opera
[24] Bdk. George Marcil (editor), Anthony of Padua: Sermones…, p. 51.
[25] Bdk. George Marcil (editor), Anthony of Padua: Sermones…, p. 52-53.
[26] Bdk. George Marcil (editor), Anthony of Padua: Sermones…, p. 53-54.
[27] Bdk. George Marcil (editor), Anthony of Padua: Sermones…, p. 55-56.
[28] Bdk. Lazaro Iriarte de Aspurz, Franciscan History…, p. 126.
[29] Universitas Paris menjadi dapur besar untuk menggodok bahan-bahan pengajaran dalam berkotbah.Bentuk baru kotbah yang dihasilkan di sana dibedakan dari gaya disputatio skolastik. Mereka melakukan analisis terhadap tema, cara merumuskan definisi, pembedaan semantik, dan penyusunan tulisan-tulisan otoritatif. Bdk. C.H. Lawrence, The Friars: The Impact of the Early Mendicant Movement on Western Society, (London: Longman, 1994), p. 120-121.
[30] Bdk. C.H. Lawrence, The Friars: The Impact… p. 121.
[31] Kami meringkas dari Lazaro Iriarte de Aspurz, Franciscan History…, p. 126-129, sembari dilengkapi dengan sumber-sumber lainnya.
[32] Dari Italia terdapat: Raynald Arezzo († 1252), Bonaventura dari Iseo († 1260), Benvenuto dari Modena, Thomas dari Pavia († 1282), Servasanto dari Faenza († 1300). Di Prancis terdapat William Cordelles († 1241), Hugh St. Digne († 1255), Odo Rigaldi († 1275), Gilbert Tournai († 1275), Eustace Arras († 1291). Di German terdapat Berthold dari Regensburg († 1272). Di Inggris terdapat Haymo dari Faversham († 1243) dan Rudolph de la Rose. Bdk. Lazaro Iriarte de Aspurz, Franciscan History…, p. 126-127.
[33] Ada masanya kecenderungan dalam berkotbah memanfaatkan dongeng-dongeng semakin membesar sehingga muatan biblis semakin berkurang. Inilah yang melatarbelakangi Antonius Padua mengingatkan para saudaranya bahwa dasar dari kotbah adalah Kitab Suci bukan dongeng. Demikian juga Bonaventura menyarankan para saudara agar memilih dongeng yang mendorong kesalehan dan bernilai moral. Bdk. John Moorman, The History of the Franciscan Order: From Its Origins to the Year 1517, Chicago: Franciscan Herald Press, 1988), p. 277.
[34] Bdk. Lazaro Iriarte de Aspurz, Franciscan History…, p. 127.
[35] Bdk. Lazaro Iriarte de Aspurz, Franciscan History…, p. 127-128.
[36] Bdk. Lazaro Iriarte de Aspurz, Franciscan History…, p. 128-129.
[37] Bdk. C.H. Lawrence, The Friars: The Impact… p. 121.
[38] Bdk. C.H. Lawrence, The Friars: The Impact…, p. 121.
[39] Bdk. Dominic V. Monti, Francis and His Brother, p. 40.
[40] Bdk. C.H. Lawrence, The Friars: The Impact …, p. 182.
[41] Bdk. C.H. Lawrence, The Friars: The Impact…, p. 186.
[42] Bdk. C.H. Lawrence, The Friars: The Impact …, p. 186.
[43] Bdk. AngTBul VIII; AngBul IV; Pth, VII XXI.
[44] Bdk. C.H. Lawrence, The Friars: The Impact …, p. 191.
[45] Bdk. C.H. Lawrence, The Friars: The Impact …, p. 187.
[46] Bdk. AngTBul XVI.
[47] Bdk. Megan C. Armstrong, The Politics of Piety: Franciscan Preachers During the Wars of Religion, 1560–1600, (Rochester: University of Rochester Press, 2004), p. 3.
[48] Bdk. Megan C. Armstrong, The Politics of Piety…, p. 3-4..
[49] Bdk. Megan C. Armstrong, The Politics of Piety…, p. 150-152.
[50] Bdk. Megan C. Armstrong, The Politics of Piety…, p. 4.
[51] Bdk. Megan C. Armstrong, The Politics of Piety…, p. 5.
[52] Bdk. Megan C. Armstrong, The Politics of Piety…, p. 143-144, 159-160.