Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
Menurut Paus Fransiskus, dewasa ini ekstrimisme dan polarisasi menjadi alat politik (political tools) di sejumlah negara (Fratelli Tutti, art. 15). Bahkan masyarakat memandang ejekan, kecurigaan, kritik tanpa henti, dan menyangkal hak yang lain sebagai sesuatu yang wajar. Sehingga tidak mengherankan apabila masyarakat miskin tunduk kepada orang-orang yang angkuh dan berkuasa (powerful).
Perlu diketahui bahwa kehidupan politik (political life) tidak lagi dilaksanakan untuk menjamin kebaikan bersama (common good). Karena orang-orang yang terlibat aktif dalam kehidupan politik lebih suka menyingkirkan yang lain. Pada tataran tertentu, debat politik di ruang publik jatuh ke dalam perselisihan dan konfrontasi (disagreement and confrontation) tanpa henti.
Ketika konflik kepentingan (conflicting interest) dan semangat meniadakan yang lain menguat, maka kehendak untuk membantu yang lain pudar. Terkait hal ini, Paus Fransiskus menegaskan, pola relasi antarmanusia di dalam kehidupan masyarakat telah memudar dan gairah untuk menciptakan kehidupan yang bersatu serta adil mengalami kemunduran (Fratelli Tutti, art. 16).
Paus Fransiskus mengingatkan masyarakat bahwa memelihara dunia tempat di mana mereka hidup pada dasarnya merawat diri sendiri (Fratelli Tutti, art. 17). Oleh karena itu, setiap anggota masyarakat harus menyadari bahwa dirinya merupakan bagian dari satu keluarga yang tinggal di rumah bersama (single family dwelling in a common home). Namun, semangat tersebut tidak berlaku dalam sistem ekonomi masyarakat yang terus-menerus mengejar berbagai macam keuntungan.
Situasi dan kondisi kehidupan masyarakat semakin memprihatinkan ketika niat baik untuk memperjuangkan lingkungan dibungkam (silenced). Sebagaimana dikatakan Paus Fransiskus, ketika sumber daya alam habis, akan timbul perang baru (new wars) untuk menguasai lingkungan dengan sejumlah alasan yang nampak mulia (Fratelli Tutti, art. 17).
Mengorbankan yang lain demi keuntungan pribadi adalah fenomena yang menjamur dalam kehidupan masyarakat. Yang lain (orang miskin, tua, dan cacat) tidak lagi dirawat dan dihormati. Mereka dipandang tidak berguna (not yet useful) dan tidak lagi dibutuhkan (no longer needed). Selain itu, Paus Fransiskus prihatin dengan pemborosan (wastefulness) yang melekat dalam diri masyarakat (Fratelli Tutti, art. 18).
Paus Fransiskus menekankan perhatian terhadap yang lain (Fratelli Tutti, art. 19). Terutama perhatian kepada lansia yang hidupnya menyedihkan dan mengalami kesepian (lonely). Hilangnya rasa kemanusiaan nampak ketika yang dibuang bukan hanya makanan dan berbagai macam barang, tetapi juga manusia. Hal ini terlihat ketika lansia ditinggalkan dengan kejam dan tidak memeroleh pelayanan kesehatan di tengah pandemi Covid-19. Oleh karena itu, generasi muda harus menumbuhkan dan mengembangkan semangat hidup solider terhadap yang lain.
Tindakan membuang yang lain dimaksudkan untuk mengurangi biaya tenaga kerja. Menurut Paus Fransiskus, tindakan tersebut mengakibatkan pengangguran dan meluasnya kemiskinan (Fratelli Tutti, art. 20). Perlu diketahui bahwa meningkatnya kekayaan sejumlah anggota masyarakat disertai dengan ketidakadilan yang menimbulkan kemiskinan baru. Kehidupan masyarakat semakin memprihatinkan ketika kurangnya akses terhadap energi listrik tidak dipandang sebagai bentuk kemiskinan. Terkait hal ini, Paus Fransiskus menegaskan pentingnya memahami dan mengukur kemiskinan berdasarkan konteks aktual (Fratelli Tutti, art. 21).
Realitas memerlihatkan ketidaksetaraan hak asasi manusia dalam kehidupan masyarakat. Padahal sebagaimana disampaikan Paus Fransiskus, hak asasi manusia merupakan syarat awal untuk pembangunan pada bidang sosial dan ekonomi (Fratelli Tutti, art. 22). Hak asasi manusia terejawantah apabila martabat pribadi manusia dihormati, diakui, dijamin, dan kesadaran akan kebaikan bersama dijunjung tinggi. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, meluasnya ketidakadilan, visi antropologis yang reduktif, dan ekonomi berbasis keuntungan. Harus disadari bahwa ekonomi berbasis keuntungan seringkali mengeksploitasi, membuang, dan membunuh yang lain. Martabat yang lain ditolak, dihina, diinjak-injak, dibuang, dan dilanggar.
Paus Fransiskus juga melihat fenomena di mana perempuan belum mempunyai martabat dan hak yang sama dengan laki-laki (Fratelli Tutti, art. 23). Kemiskinan terjadi ketika perempuan mengalami pengucilan, penganiayaan, dan kekerasan. Meskipun komunitas internasional bersepakat mengakhiri perbudakan (slavery), dewasa ini kebebasan yang dimiliki jutaan anggota masyarakat dirampas dan mereka dipaksa hidup dalam perbudakan. Menurut Paus Fransiskus, perbudakan terjadi ketika pribadi manusia (human person) dipandang sebagai objek (Fratelli Tutti, art. 24).
Kebebasan pribadi manusia sebagai gambar dan rupa Allah (image and likeness of God) dirampas, dijual, dan direduksi. Mereka diperlakukan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Bahkan perempuan ditundukkan dan dipaksa untuk melakukan aborsi. Selain itu, terjadi penculikan dan perdagangan manusia. Hal ini diperlancar dengan terbentuknya organisasi kriminal yang menggunakan jaringan global. Persoalan tersebut masih ditambah dengan adanya perang, serangan teroris, dan penganiayaan terhadap masyarakat yang mempunyai agama tertentu. Sebagaimana diungkapkan Paus Fransiskus, kompleksitas persoalan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat sebenarnya memicu secara perlahan perang dunia ketiga (Fratelli Tutti, art. 25).
Kompleksitas persoalan dalam kehidupan masyarakat terjadi karena setiap anggotanya tidak menyadari pentingnya nilai dan makna persaudaraan (fraternity). Berhadapan dengan persoalan tersebut, anggota masyarakat mempunyai kecenderungan menarik diri ke zona aman (safety zone). Hal ini dipandang Paus Fransiskus sebagai situasi dan kondisi di mana anggota masyarakat memastikan stabilitas serta perdamaian melalui rasa aman yang palsu dan ditopang oleh mentalitas ketakutan serta ketidakpercayaan (Fratelli Tutti, art. 26).
Menurut Paus Fransiskus, dewasa ini masyarakat berhadapan dengan godaan untuk membangun tembok di dalam hati (Fratelli Tutti, art. 27). Padahal orang yang membangun tembok di dalam dirinya akan diperbudak oleh tembok yang dibangunnya sendiri. Mereka hidup tanpa cakrawala (horizons), tidak mempunyai akses komunikasi dengan yang lain. Sebagaimana ditegaskan Paus Fransiskus, orang yang membangun tembok di dalam hati mengalami kesepian, ketakutan, dan ketidakamanan (Fratelli Tutti, art. 28). Dengan demikian, kompleksitas persoalan dalam kehidupan masyarakat dapat disebut sebagai “impian yang hancur”, di mana cita-cita mengejawantahkan persaudaraan universal memudar.