Oleh: Stefanus Harkam Nampung OFM
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengalaman personal perjumpaan dengan Allah memungkinkan setiap umat beriman memiliki iman yang khas dan unik kepada-Nya. Saya juga memiliki pengenalan yang khas tentang Allah. Jika ditanya siapa Allah bagi saya, maka salah satu jawaban saya yang paling dominan adalah “penyelamat yang berkuasa atas setan-setan”.
Dalam beberapa kesempatan merefleksikan pengalaman iman, saya menemukan bahwa iman saya dimulai dari pengalaman menyaksikan pelepasan dari kuasa jahat oleh Allah melalui pendoa-pendoa-Nya. Pengalaman-pengalaman ini sangat dekat dengan sejarah hidup saya, terutama selama saya hidup di tengah-tengah masyarakat Manggarai di Flores. Di kemudian hari, saya tertarik pada beberapa artikel, buku, dan film yang berhubungan dengan kuasa Allah atas setan-setan. Saya juga tertarik pada pertanyaan dan pernyataan yang muncul dalam berbagai perbincangan mengenai Tuhan, manusia, malaikat, dan setan.
Serangkaian pertimbangan di atas memicu saya untuk berfokus pada tema eksorsisme. Faktanya, pembahasan mengenai eksorsisme dapat mencakup banyak perspektif seperti sejarah, teologi, liturgi, Kitab Suci, hukum Gereja, dan moral. Mempertimbangkan luasnya berbagai perspektif tersebut, saya hendak memulai pendalaman tentang eksorsisme ini dengan fokus pada satu perspektif saja, yaitu perspektif biblis. Secara khusus dan sebagaimana orang-orang perlu back to basic, saya terdorong untuk memahami dasar praktik eksorsisme oleh Gereja dari tindakan eksorsisme Yesus.
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan skripsi ini adalah memahami praktik eksorsisme Yesus berdasarkan tradisi Injil. Dalam Injil, Yesus juga digambarkan sebagai seorang yang penuh kuasa untuk mengusir setan. Tindakannya tersebut bersignifikan terhadap keselamatan yang ia hadirkan dan wartakan, terutama mengenai kerajaan Allah dan eskatologi.
1.3 Metodologi Penulisan
Sebagai metode untuk menelaah eksorsisme Yesus dalam tradisi Injil, saya memilih metode historis-deskriptif. Dengan menggunakan metode ini, saya hendak mencari konteks, unsur, ciri, dan sifat fenomena eksorsisme Yesus dalam Injil dengan mengumpulkan, menganalisis, dan menginterpretasikan data yang bersangkutan.
1.4 Sistematika Penulisan
Tulisan ini terdiri dari lima bab. Bab I merupakan pendahuluan yang menjelaskan tentang latar belakang, tujuan, metodologi, dan sistematika penulisan. Bab II membahas tentang praktik eksorsisme di sekitar abad I di Palestina. Tujuan bab ini adalah untuk memperoleh gambaran umum mengenai praktik eksorsisme pada zaman Yesus. Untuk menyampaikan maksud tersebut, bab ini menampilkan, pertama, pengertian eksorsisme yang dipahami oleh orang-orang pada zaman Yesus. Kedua, di sini ditampilkan beberapa literatur sebelum, sesudah, dan sezaman Yesus, yaitu setiap cerita, ide, tradisi, dan literatur di sekitar abad I yang bisa saja mengambil bagian dalam intelektualitas yang berlaku pada abad I di Palestina. Ketiga, berdasarkan literatur tersebut, bab ini menampilkan berbagai kepercayaan dan praktik eksorsisme di sekitar abad I di Palestina.
Bab III berisi tentang eksorsisme Yesus. Tujuan bab ini adalah memaparkan secara menyeluruh berbagai aspek yang terdapat dalam tindakan eksorsisme Yesus dan hubungannya dengan eksorsisme lain pada zaman-Nya. Ada empat pokok pembahasan yang akan dijelaskan, yaitu pertama, bab ini menjelaskan historisitas eksorsisme Yesus. Pada bagian kedua, bab ini tanpa ragu menyatakan bahwa Yesus adalah seorang eksorsis. Ketiga, bab ini memaparkan berbagai aspek yang terdapat dalam eksorsisme Yesus, seperti identitas orang yang kerasukan, eksorsisme dari jauh, konfrontasi awal antara Yesus dengan setan/orang yang kerasukan setan, dan lain-lain. Setelah itu, bab ini menggambarkan kekhasan eksorsisme Yesus dibandingkan dengan eksorsisme lain yang telah ditelaah di bab II.
Bab IV membahas mengenai kerajaan Allah dan eskatologi sebagai signifikansi eksorsisme Yesus. Pembahas ini menjelaskan dimensi keselamatan yang Yesus hadirkan dalam eksorsisme-Nya. Untuk menyampaikan maksud tersebut, bab ini terdiri atas dua bagian besar, yaitu eksorsisme Yesus dan kerajaan Allah; dan eksorsisme Yesus dan eskatologi.
Bab V merupakan bagian penutup tulisan ini. Pada bab ini, saya menguraikan rangkuman umum tulisan ini dan menambahkan catatan kritis serta relevansi. Catatan kritis yang dimaksud adalah tanggapan saya berdasarkan uraian dalam tulisan ini untuk pemahaman dan praktik eksorsisme dalam Gereja Katolik. Sementara itu, relevansi adalah beberapa poin refleksi yang relevan untuk kehidupan umat Kristiani pada zaman ini berkaitan dengan eksorsisme Yesus.
BAB II EKSORSISME PADA ABAD I DI PALESTINA
2.1 Pengertian Eksorsisme
Istilah eksorsisme mengacu pada tindakan mengusir setan dari seseorang atau objek tertentu.[1] Kata ini berasal dari bahasa Yunani exousia yang berarti “otoritas atau kekuasaan”. Oleh karena itu, eksorsisme pertama-tama tidak berarti “mengusir”, tetapi lebih berarti meminta kepada otoritas yang lebih berkuasa untuk menaklukan setan.[2] Menurut Graham
Twelftree, pada abad I, eksorsisme ini dipahami sebagai suatu bentuk penyembuhan yang digunakan ketika setan dianggap telah memasuki seseorang dan bertanggung jawab terhadap penyakit yang diderita oleh orang yang bersangkutan, dan eksorsisme adalah tindakan yang berupaya untuk menaklukan atau mengusir setan dari orang yang dirasuki tersebut.[3]
Dalam gagasan selanjutnya, selain eksorsisme, arti mukjizat dan sihir pada abad I juga perlu dipahami. Pertama, Howard Clark Kee menyatakan bahwa mukjizat adalah suatu penyembuhan yang dapat dicapai melalui seruan kepada dan tindakan oleh Tuhan, baik secara langsung atau melalui agen perantara yang dipilih. Dalam Peristiwa Yesus, Cletus Groenen menyatakan bahwa ada empat kata untuk menyebutkan mukjizat Yesus, yaitu dynameis (kekuatan, kekuasaan), teratra/teras (mukjizat-mukjizat), semeia (tanda-tanda), dan ergon (pekerjaan). Yang paling lazim digunakan di antaranya adalah dynameis. Yesus mengadakan dua macam dynameis, yaitu eksorsisme dan penyembuhan orang sakit.[4]
Kedua, menurut Kee, sihir adalah teknik, melalui kata atau tindakan, yang dengannya tujuan yang diinginkan tercapai. Tujuan itu terletak pada solusi bagi masalah yang dihadapi atau kerusakan pada musuh. Dalam kepercayaan pada malaikat dan setan dalam Yudaisme dan Kristen awal, sihir bukan faktor yang signifikan.[5]
2.2 Literatur yang Berkontribusi pada Pemahaman Eksorsisme Abad I di Palestina
Literatur yang mungkin berkontribusi pada pemahaman eksorsisme abad I adalah literatur Yahudi dan Yunani pada zaman Yesus. Literatur-literatur tersebut adalah setiap cerita, ide, atau tradisi di sekitar abad I yang bisa saja mengambil bagian dalam intelektualitas yang berlaku pada abad I di Palestina. Oleh karena itu, literatur-literatur yang digunakan adalah yang ada pada masa sebelum, sesudah, dan sezaman dengan Yesus. Twelftree menyatakan bahwa 1Henokh, Tobit, Jubile, gulungan Qumran, Flavius Josephus, Philo dari Alexandria, Liber Antiquitatum Biblicarum (LBA) Pseudo-philo, Papirus Sihir, Lucian dari Samosata, Apollonius dari Tyana, Perjanjian Salomo, dan literatur rabinik bisa digunakan untuk merekonstruksi pemahaman abad I di Palestina mengenai roh, setan, kerasukan, sihir, penyembuhan, dan eksorsisme.[6]
2.3 Eksorsisme Pada Abad I di Palestina[7]
Beberapa sumber yang tersedia menyatakan bahwa ada berbagai variasi eksorsis dan bentuk eksorsisme pada abad I di Palestina. Variasi tersebut menunjukkan bahwa eksorsisme dianggap berhasil karena tiga faktor yang saling terkait, yaitu eksorsis, sumber otoritas kekuasaan, dan bentuk eksorsisme yang dilakukan. Dari ketiga faktor tersebut, ada dua jenis eksorsisme yang akrab dengan pendengar Yesus.
2.3.1 Eksorsisme Berhasil Karena Identitas Eksorsis
Pada jenis pertama ini, kekuatan karismatik eksorsis dipercaya cukup kuat, sehingga apa yang ia buat kurang penting dalam keberhasilannya. Ada beberapa figur yang tergolong dalam jenis ini: Hanina ben Dosa, Apollonius Tyana, Simeon bin Yose, imam-imam pengembara, Salomo, dan Daud. Misalnya, pertama, dalam literatur rabinik, ada Hanina ben Dosa, yaitu seorang pembuat mukjizat saleh yang hidup sebelum tahun 70. Pada suatu senja, ia bertemu dengan Agrath, ratu setan. Agrath berkata “seandainya mereka belum menyampaikan tentangmu di surga ‘perhatikan Hanina dan ajarannya’, maka aku akan membawamu dalam bahaya”. Hanina menjawab “karena aku diperhitungkan di surga, aku memerintahmu untuk jangan pernah melewati daerah ini”.[8] Setelah diberi keringanan hukuman, Agrath diberi kebebasan pada hari sabat dan malam rabu. Kisah Hanina ini menunjukan bahwa dasar otoritas kekuasaan Hanina untuk memerintahkan setan bukan pada apa yang dia katakan atau buat, tetapi kedekatan relasinya dengan Allah.
Kedua, Apollonius dari Tyana juga merupakan seorang eksorsis berkat kekuatan karismatiknya. The Life of Apollonius of Tyana 4:209 menceritakan seorang anak muda yang menginterupsi Apollonius ketika ia sedang berbicara di serambi raja di Atena. Apollonius melihat anak muda itu dan berkata, “bukan kamu sendiri yang menghina, tetapi setan yang mengendalikanmu”. Dengan tatapan Apollonius, setan itu berteriak dan berjanji akan meninggalkan anak muda itu dan tidak akan merasuki manusia lagi. Apollonius menegurnya dan memerintahkannya untuk keluar dari anak muda itu dan memberikan bukti nyata bahwa dia (setan) telah melakukannya. Setan itu keluar dan menjatuhkan patung terdekat sebagai bukti bahwa ia telah keluar.
Ketiga, dalam Perjanjian Salomo, Salomo digambarkan sebagai pengontrol setansetan. Seperti Hanina ben Dosa, kemampuan Salomo untuk menaklukan setan dilihat sebagai efek relasinya dengan Allah.[9] Asal otoritas kekuasaannnya didapat setelah Salomo menemukan bahwa setan Ornias telah mencuri upah dan bekal para pembangun Bait Suci. Melalui Mikhael malaikat agung, Allah memberi Salomo sebuah cincin. Dengan cincin tersebut, Salomo memerintah semua setan, terutama untuk ikut membangun Bait Allah (Perjanjian Salomo 1:5-7).[10]
2.3.2 Eksorsisme Berhasil Karena Tindakan Eksorsis
Dalam kategori ini, keberhasilan eksosisme lebih ditentukan oleh tindakan eksorsis dalam eksorsismenya. Ada beberapa kisah/informasi mengenai kategori ini: eksorsisme dalam Papirus Sihir, Salomo, Elezar, eksorsis anonim/Yahudi dalam Injil, Tobit, Johanan ben Zakkai, dan Abraham. Misalnya, pertama, dalam Papirus Sihir, eksorsis melindungi penderita dari kembalinya setan dengan mengusirnya menggunakan jimat. Selain dengan doa, identifikasi otoritas kekuasaan, dan perintah, perlindungan juga dilakukan dengan pertolongan fisik atau ritual kultus tertentu.
Kedua, dalam Perjanjian Salomo 1:6 dan 2:9, penggunaan cincin sebagai jimat digunakan untuk menaklukan setan. Penggunaan teknik dengan jimat ini tergolong kuno dan sudah tersebar luas. Misalnya, Tob 8:2-3 mengindikasikan kemanjuran hati dan empedu ikan.[11]
Ketiga, literatur rabinik juga memberikan bukti bahwa eksorsisme bergantung pada tindakan eksorsis. Misalnya, ada kisah tentang Johanan ben Zakkai. Zakkai bertanya kepada orang kafir mengenai kerasukan. Orang itu menjawab bahwa dalam eksorsismenya eksorsis tersebut mengambil akar, membuat asap, dan memerciki korban dengan air, dan setan itu keluar dari orang itu.
2.4 Kesimpulan
Istilah eksorsisme mengacu pada tindakan mengusir setan dari seseorang atau objek tertentu. Pada awal abad I di Palestina, eksorsisme telah banyak diketahui dan dipahami sebagai suatu bentuk penyembuhan yang digunakan ketika setan dianggap telah memasuki seseorang dan bertanggung jawab terhadap penyakit yang diderita oleh orang yang bersangkutan. Dari literatur Yunani dan Yahudi, yaitu setiap cerita, ide, atau tradisi yang secara potensial mengambil bagian dalam intelektualitas yang berlaku pada abad I di Palestina, ada berbagai variasi eksorsis dan bentuk eksorsisme yang diketahui pada abad I di Palestina. Variasi tersebut menunjukkan bahwa eksorsisme dianggap berhasil karena tiga faktor yang saling terkait, yaitu eksorsis, sumber otoritas kekuasaan, dan tindakan dalam eksorsisme. Dari ketiga faktor tersebut, ada dua jenis eksorsisme yang akrab dengan pendengar Yesus, yaitu eksorsisme yang berhasil karena identitas eksorsis dan yang berhasil karena tindakan eksorsis.
BAB III EKSORSISME YESUS
3.1 Historisitas Eksorsisme Yesus
Sejak munculnya ilmu sejarah modern pada abad XIX, banyak ahli yang hanya mau menerima sebagian dari Injil sebagai sesuatu yang historis. Mukjizat, termasuk eksorsisme Yesus, dianggap tidak historis.13 Misalnya, dalam Jesus of Nazareth: His Life, Times, and Teaching, Joseph Klausner menyatakan bahwa menurut ilmu pengetahuan modern, mukjizat Yesus dapat dibagi menjadi lima jenis, yaitu mukjizat karena keinginan untuk memenuhi beberapa pernyataan dalam Perjanjian Lama atau meniru beberapa nabi; deskripsi puitis yang oleh para murid diubah menjadi mukjizat; ilusi; kisah yang hanya tampaknya ajaib; dan hanya berupa pengobatan “kasus saraf”.[12]
Namun, tentu saja, dengan menghilangkan kisah mukjizat dari Injil, secara material dan ideal, Injil dipuntungkan, kehilangan bagian hakiki-Nya, dan bukan lagi Injil. Dengan berbagai kriteria dan pertimbangan, secara kumulatif dapat disimpulkan: ada kepastian cukup kuat bahwa secara historis, Yesus benar-benar melakukan mukjizat. Secara konkret, kesimpulan ini menyatakan bahwa Yesus benar-benar menyembuhkan orang sakit dan mengusir setan.[13]
3.2 Apakah Yesus Seorang Eksorsis?[14]
Dari perkataan dan narasi dalam Injil-injil Sinoptik, di sini bisa disimpulkan bahwa eksorsisme adalah bagian dari pelayanan Yesus.17 Tidak ada yang lebih pasti tentang Yesus selain bahwa Dia dipandang oleh orang sezaman-Nya sebagai eksorsis dan penyembuh.[15] Ada beberapa indikasi yang mengasumsikan bahwa Yesus adalah seorang eksorsis. Pertama, nama-nama tertentu yang dianggap sebagai eksorsis kuat biasanya digunakan oleh eksorsis lain dalam mantra mereka. Dalam Perjanjian Baru terdapat beberapa bukti praktek eksorsis (asing) yang menggunakan nama Yesus. Dalam Mrk 9:38 dan Luk 9:49, ada orang yang bukan murid Yesus mengusir setan dalam nama-Nya. Dalam Kis 19:13, anak-anak Skewa mencoba melakukan eksorsisme dengan menggunakan nama Yesus yang diwartakan oleh Paulus.[16] Dalam Mat 7:22, ada nabi palsu yang melakukan mukjizat, bernubuat, dan mengusir setan dalam nama Yesus. Perjanjian Baru juga menunjukkan komunitas Kristen yang menggunakan nama Yesus dalam eksorsisme mereka. Tujuh puluh (dua) murid kembali dengan penuh sukacita bahwa dalam nama Yesus, setan tunduk kepada mereka (Luk 10:17). Kis 16:18 menggambarkan Paulus yang mengusir setan dengan nama Yesus. Kemudian, akhir Injil Markus membuktikan bahwa Gereja awal menggunakan nama Yesus dalam eksorsisme, yaitu sebagai tanda bagi mereka yang percaya (Mrk 16:17).[17]
Kedua, ada beberapa tradisi yang “mengkhianati” tradisi yang berhubungan dengan Yesus sebagai seorang eksorsis. Misalnya, para rabi melestarikan beberapa tradisi yang mengatakan bahwa Yesus disalibkan pada perayaan Paskah. Empat puluh hari sebelumnya, Dia dibawa keluar dari kota untuk dilempari batu, karena telah mempraktekkan ilmu sihir. Nama Yesus juga dilarang oleh orang Yahudi untuk digunakan dalam penyembuhan mereka. Serupa dengan gagasan ini, Origenes mengutip Celsus yang menyatakan bahwa Yesus dibesarkan secara rahasia dan bekerja di Mesir, mencoba kekuatan magis tertentu, kembali dari Mesir, dan karena kekuatan-Nya, Ia menggelari diri-Nya sebagai Tuhan (Contra Celsum I:38, 60). Tradisi ini tidak sungguh-sungguh merujuk pada Yesus dan dengan demikian turut membuktikan bahwa Yesus sebenarnya diperhitungkan sebagai eksorsis dan penyembuh.
Injil, surat-surat, dan Wahyu Yohanes tidak mengatakan apa-apa tentang eksorsisme Yesus. Tidak adanya eksorsisme Yesus dalam Injil Yohanes dipengaruhi oleh beberapa aspek. Pertama, gagasan tradisi Yohanes tentang fungsi mukjizat Yesus adalah untuk menyatakan identitas Yesus sebagai Kristus (Yoh 20:30-31). Sebaliknya, pengasosiasian Yesus dengan penyembuhan dan eksorsisme yang dilakukan oleh banyak penyembuh dan eksorsis lain akan tampak dangkal. Kedua, penyebutan Yesus sebagai eksorsis mungkin terlalu menekankan tema kerajaan Allah, mengingat dalam Injil-injil Sinoptik, eksorsisme dan kerajaan Allah sangat berkaitan erat. Ketiga, dalam Injil-injil Sinoptik, kekalahan setan dihubungkan dengan Yesus sebagai seorang eksorsis. Dalam Injil Yohanes, kekalahan setan dihubungkan dengan salib (Yoh 14:30, 16:11),[18] sehingga narasi eksorsisme tidak diperlukan sebagai cara untuk menunjukkan kekalahan setan tersebut.[19]
3.3 Berbagai Aspek dalam Eksorsisme Yesus[20]
3.3.1 Identitas Orang yang Kerasukan
Ada beberapa ciri orang yang dirasuki setan dalam eksorsisme Yesus. Pertama, orang yang kerasukan di sinagoga Kapernaum (Mrk 1:21-28) menyiratkan bahwa dalam kasus tertentu, Injil menggambarkan orang kerasukan sebagai orang tanpa gejala adanya pengaruh setan, berada dalam arus utama masyarakat Yahudi, dan berpartisipasi dalam kehidupan religius komunitasnya. Kedua, kisah orang yang kerasukan di Gerasa (Mrk 5:1-20)24 menampilkan orang yang kerasukan setan sebagai orang tak tentu dan didorong ke pinggiran.[21] Ketiga, Mrk 9:14-29 tentang anak epilepsi dan Mrk 7:24-31 tentang anak Wanita Siro-Fenisia menunjukkan bahwa tidak semua orang yang kerasukan dijauhkan dari masyarakat.
3.3.2 Eksorsisme dari Jauh
Seperti eksorsis lain sezaman-Nya, Yesus juga dikenal sebagai eksorsis yang dapat menyembuhkan penderita dari jarak jauh. Misalnya, pengusiran setan dalam kisah anak wanita Siro-Fenisia[22] (Mrk 7:24-30).
3.3.3 Konfrontasi Awal
Dalam empat cerita eksorsisme Yesus, penginjil menceritakan tentang konfrontasi awal antara Yesus dan orang yang kerasukan, atau dalam Mrk 7:25 antara Yesus dan ibu penderita. Dalam Mrk 1:23, seseorang berteriak ketika dia berjumpa dengan Yesus di sinagoga Kapernaum, sehingga jelas bahwa ia adalah seorang yang kerasukan setan.[23] Pada Mrk 9:20, ketika melihat Yesus, setan menggoncang-goncangkan anak yang dirasukinya, sehingga anak itu terpelanting ke tanah dan terguling-guling, sedang mulutnya berbusa. Pada Mrk 5:6-7, orang yang kerasukan di Gerasa lari, tersungkur di depan Yesus, dan berteriak ketika ia melihat Yesus. Dalam kisah wanita Siro-Fenisia, dia dikatakan tersungkur di depan kaki Yesus (Mrk 7:25).
3.3.4 Kata-kata Setan
Pada dua cerita eksorsisme Yesus, konfrontasi dengan setan digambarkan dengan adanya ungkapan tertentu dari setan. Misalnya, setan mengatakan “apa urusan-Mu dengan kami Yesus dari Nazaret? Engkau datang hendak membinasakan kami? Aku tahu siapa Engkau: Yang Kudus dari Allah” (Mrk 1:24) dan “apa urusanmu dengan aku, hai Yesus, Anak Allah yang Mahatinggi? Demi Allah, jangan siksa aku”. (Mrk 5:7). Identitas Yesus yang disapa oleh setan adalah Yesus dari Nazareth (Mrk 1:24), Putra Allah Yang Mahatinggi (Mrk 5:7), dan Yang Kudus dari Allah (Mrk 1:24).
3.3.5 Kata-kata Yesus dalam Eksorsisme
Ungkapan yang termasuk kata-kata Yesus dalam eksorsisme-Nya adalah “keluar” (Mrk 1:25, 5:8, 9:25), “diam” (Mrk 1:25), “siapa namamu?” (Mrk 5:9), “Aku memerintahkan engkau” (Mrk 9:25), dan “jangan memasukinya lagi” (Mrk 9:25).[24] Ada beberapa poin penting yang perlu diperhatikan. Pertama, data yang ada menunjukkan bahwa Yesus memang menggunakan kata-kata tertentu yang dapat dikenali dalam perintah-Nya kepada setan. Kedua, perintah untuk diam dalam Mrk 1:25 tampaknya tidak memiliki paralel dalam literatur lain. Ketiga, meskipun mungkin memiliki implikasi kristologis yang tidak menyenangkan bagi beberapa pihak, pada awalnya, Yesus tidak langsung berhasil dalam semua penyembuhan-Nya.
3.3.6 Permohonan Setan untuk Keringanan Hukuman
Dalam Mrk 5:10-12, setan memohon keringanan ketika mereka telah dikuasai oleh Yesus. Mereka memohon pada-Nya untuk tidak mengusir mereka keluar dari daerah itu dan meminta-Nya untuk memerintahkan mereka masuk ke babi-babi.
3.3.7 Pemindahan Setan
Dalam kisah eksorsisme di Gerasa, setan dipindahkan dari manusia ke babi dan kemudian ke laut. Dalam lingkungan Yesus, kadang-kadang dianggap tepat untuk memindahkan setan dari penderita ke beberapa benda seperti kerikil, potongan kayu, panci, atau air. Benda-benda yang dianggap mengandung setan ini kemudian dibuang atau dihancurkan untuk menimbulkan dan menandakan kepergian setan.
3.3.8 Kekerasan dalam Eksorsisme Yesus
Dalam Mrk 1:26, setan dikatakan menggoncangkan orang yang dirasukinya dan dalam Mrk 9:26 setan juga tampaknya menggoncangkan anak laki-laki yang dirasukinya dan meninggalkannya dalam keadaan seperti orang mati. Injil Markus menunjukkan beberapa variasi mengenai aspek kekerasan ini. Dalam Mrk 1:26, goncangan terjadi ketika setan pergi. Dalam cerita setan di Gerasa, cerita dimulai dengan deskripsi gejala kerasukan yang kejam, tetapi kekerasan selanjutnya tidak terkait dengan penderita, tetapi tenggelamnya babi. Kisah anak perempuan wanita Siro-Fenisia tidak mengandung unsur kekerasan. Pada Mrk 9, anak laki-laki yang kerasukan terselubung dalam kekerasan: kekerasan dalam perjumpaan dan dalam penyembuhan.
3.4 Perbedaan dan Keunikan Eksorsisme Yesus[25]
3.4.1 Perangkat Mekanis
Beberapa eksorsis yang sezaman dengan Yesus menggunakan beberapa alat, perangkat, atau fitur tertentu dalam eksorsisme mereka. Cara-cara tersebut tampaknya sangat berbeda dengan teknik eksorsisme Yesus.[26] Dia hanya menggunakan teknik verbal sederhana dan tidak menggunakan perangkat mekanis. Namun, teknik verbal sederhana ini tidak hanya dilakukan oleh Yesus. Misalnya, Apollonius hanya menggunakan kata-kata untuk melakukan eksorsisme (The Life of Apollonius Tyana 4:20). Rabi Simeon juga dikatakan mengusir setan dari seorang perempuan hanya dengan berteriak, “Ben Temalion, keluar! Ben Temalion, keluar!”[27]
3.4.2 Doa Eksplisit dan Otoritas Kekuasaan
Salah satu ciri eksorsis yang ditampilkan dalam bab II adalah adanya pernyataan otoritas kekuasaan. Sumber otoritas kekuasaan yang sering digunakan adalah nama-nama yang berkuasa. Jika tidak ada bukti keberadaan otoritas kekuasaan dalam seruan eksorsis, eksorsis dikatakan berdoa sebagai bagian dari teknik penyembuhannya.
Sementara itu, Yesus tampaknya tidak memanggil sumber otoritas kekuasaan manapun. Yesus memiliki otoritas atau kekuatan sendiri dalam perintah performatif-Nya.[28] Yesus juga tidak menggunakan “nama kuat” tertentu sebagai otoritas kekuasaan atau salah satu komponen dalam eksorsisme-Nya.
Dalam beberapa eksorsisme, terutama di lingkungan Yahudi, doa adalah unsur yang penting. Menurut A. Schlatter, salah satu keunikan Yesus dari pada para rabi sezaman-Nya adalah tidak adanya doa dalam teknik eksorsisme-Nya.[29] Satu-satunya kisah ketika doa dikaitkan dengan penyembuhan-Nya adalah kisah kebangkitan Lazarus (Yoh 11:41-42). Namun, doa tersebut sebenarnya bukan bagian dari kesembuhan, karena Yesus tidak mengucapkan permintaan, melainkan bersyukur karena sudah didengarkan.
3.4.3 Adjure
Sehubungan dengan mantra, adjure berarti “menuntut”, “mengadili”, atau “mengikat seseorang dengan makhluk lain” (Mrk 5:7, Kis 19:13, dan 1Tes 5:27). Adjure digunakan dalam kaitannya dengan otoritas kekuasaan yang dipanggil. Tradisi Injil tidak menerjemahkan kata ini menjadi bagian dalam mantra yang diucapkan Yesus.[30] Yesus tidak mengakui penggunaan sumber otoritas kekuasaan.
3.4.4 Bukti
Pertanyaan tentang apakah teknik Yesus melibatkan pencarian bukti keberhasilan atau tidak dapat dihubungkan dengan episode babi dalam Mrk 5. Pembunuhan babi harus dilihat bukan sebagai bukti keberhasilan. Karena tradisi Injil tidak menunjukkan bukti, maka elemen ini bukan bagian dari eksorsisme Yesus.
3.5 Kesimpulan
Bab ini adalah suatu usaha untuk menjabarkan praktik eksorsisme Yesus. Di sini dikatakan bahwa secara historis, Yesus adalah seorang eksorsis. Dalam banyak hal, sebagai eksorsis, Yesus adalah eksorsis biasa: setan tertekan dan terancam oleh kehadiran-Nya, ada pergulatan dan percakapan antara setan/orang yang dirasuki setan dengan Yesus, dan penyembuhan dari jauh. Di sisi lain, ada beberapa aspek eksorsisme Yesus yang menonjol sebagai karakteristik khusus-Nya, misalnya tidak ada alat bantu mekanis yang digunakan, tidak berdoa agar kuasa Tuhan membantu-Nya, tidak menawarkan bukti penyembuhan, tidak menyatakan sumber otoritas kuasa-Nya, dan bahkan Dia tidak bergantung pada (Roh) Tuhan. Yesus tidak hanya mengklaim tidak ada bantuan dari luar untuk kesuksesan-Nya, tetapi Dia tampaknya secara sadar menekankan bahwa sumber otoritas kekuasaan-Nya adalah milikNya sendiri.
BAB IV SIGNIFIKANSI EKSORSISME YESUS
4.1 Eksorsisme Yesus dan Kerajaan Allah
4.1.1 Kerajaan Allah
Istilah kerajaan Allah adalah salah satu cara Yudaisme berbicara tentang pengharapan akan zaman baru, zaman eskatologis, yaitu ketika pemerintahan Allah akan sepenuhnya terwujud, umat Israel dibenarkan, dan musuh-musuh-Nya dihakimi.35 Di sini, dunia dilihat terutama sebagai wilayah kekuasaan setan yang bertanggung jawab atas kejahatan, kerusakan, penyakit, dan kematian manusia. Setan juga dianggap bersekutu dengan kerajaan Yunani dan Romawi yang membuat orang Yahudi menjadi korban penindasan, baik secara budaya, politik, maupun agama.36
Sentralitas kerajaan Allah dalam pribadi, pelayanan, kematian, kebangkitan, dan seluruh hidup Yesus adalah salah satu fakta yang paling tidak dapat diperdebatkan.[31] Jika orang mencari ciri yang merupakan kekhasan Yesus, maka kerajaan Allah harus menjadi salah satu pertimbangan yang diutamakan.[32] Menurut Jon Sobrino, dalam bukunya Jesus The Liberator: A Historical-Theological Reading of Jesus of Nazareth, ada tiga hal yang dapat diverifikasi mengenai pemahaman kerajaan Allah ini oleh Yesus, yaitu kerajaan Allah sebagaimana yang dinantikan bangsa Israel dalam Perjanjian Lama; kerajaan Allah sebagai kebenaran dan kabar baik; serta kerajaan Allah yang hadir dalam perkataan dan tindakanNya.[33]
4.1.2 Kerajaan Allah sebagai Signifikansi Mukjizat Yesus
Hubungan antara tindakan dan pewartaan Yesus sering kali dicirikan dengan kata tanda.[34] Artinya, mukjizat memiliki sedikit atau tidak ada signifikansi intrinsik, tetapi menunjukkan sesuatu yang lebih penting melampaui dirinya, yaitu pewartaan kedatangan kerajaan Allah.41 Mukjizat Yesus berfungsi sebagai bukti kuasa-Nya, menyertai dan menegaskan pewartaan-Nya, dan terutama sebagai tanda-tanda kerajaan yang akan datang. Yesus mengharapkan orang-orang untuk melihat bahwa dalam kegiatan-Nya, terutama mukjizat-Nya, Allah menggunakan kuasa kerajaan-Nya untuk mewujudkan pemerintahan penyelamatan-Nya.[35] Dengan pendasaran di atas, jawaban yang paling meyakinkan untuk mengidentifikasi motif Yesus dalam mukjizat-Nya adalah keterkaitan tindakan mukjizat tersebut dengan pewartaan kerajaan Allah.43 Dalam mukjizat-Nya, Yesus menunjuk, menjelaskan, dan mewahyukan kerajaan Allah.
4.1.3 Hubungan Mukjizat Yesus dan Ajaran-Nya Mengenai Kerajaan Allah
Hubungan ini terlihat dalam karya para penginjil di sejumlah tingkatan. Pertama, mukjizat dan pewartaan Yesus dilakukan dalam hubungan satu kesatuan sebagai keseluruhan aktivitas Yesus. Kedua, kisah Yesus dikelompokkan dengan kategori tertentu, sehingga ajaran dan tindakan-Nya saling terkait erat. Ketiga, mukjizat Yesus dihubungkan dengan pewartaan-Nya agar suatu hal tertentu tentang Yesus dapat diterangkan. Keempat, kadangkadang mukjizat dan pewartaan membentuk satu kesatuan, seperti dalam Mrk 2:1-12, 3:1-6, dan Yoh 9:1-41.
Selain dalam kisah Yesus, hubungan erat antara mukjizat dan ajaran mengeani kerajaan Allah juga ditemukan dalam misi para murid. Misalnya, dalam Mrk 3:14-15, para murid diutus untuk mewartakan kerajaan Allah dan berkuasa untuk mengusir setan. Dalam Luk 10:9, perintah kepada para murid adalah agar mereka menyembuhkan orang yang sakit dan berkata kepada mereka bahwa kerajaan Allah telah datang (Mat 10:1, 7 dan Luk 9:2).
4.1.4 Eksorsisme dan Kerajaan Allah
Dalam hubungannya dengan eksorsisme, hal yang patut diperhatikan adalah ucapan tentang kuasa Roh Allah (Mat 12:28 dan Luk 11:20) dan perumpamaan tentang orang kuat (Mrk 3:27, Mat 12:29, dan Luk 11:21-22). Pertama, dalam Mat 12:28 dan Luk 11:20, Yesus membuat hubungan langsung antara eksorsisme-Nya dan kedatangan kerajaan Allah,44 yaitu bahwa eksorsisme Yesus sesungguhnya adalah kedatangan kerajaan Allah.45 Kedua, Mrk 3:27, Mat 12:29, dan Luk 11:21-22[36] menggambarkan eksorsisme Yesus memiliki makna yang lebih luas daripada sekadar mengusir setan, yaitu kejatuhan atau kehancuran setan dan kerajaannya.[37]
Kesimpulannya adalah bahwa dalam eksorsisme Yesus, kerajaan Allah sudah sungguh-sungguh hadir.[38] Dalam eksorsisme-Nya, misi Yesus sendiri sedang berlangsung dan diaktualisasikan. Eksorsisme Yesus bukan sekadar penyembuhan, tetapi merupakan kedatangan kerajaan Allah.[39]
4.2 Eksorsisme dan Eskatologi
4.2.1 Eskatologi
Kata eskatologi berasal dari kata Yunani eschaton yang berarti “akhir”. Arti harfiah tersebut dapat merujuk pada akhir zaman, akhir sejarah, akhir dunia, dan harapan untuk kelanjutan keberadaan dunia.[40] Dalam Injil, eskatologi merupakan pengalaman yang mengubah dan meresmikan zaman baru. Eskatologi juga sekaligus dipahami sebagai antisipasi kedatangan kedua Yesus. Sebab, jika Yesus, melalui inkarnasi, kematian, dan kebangkitan belum sepenuhnya mengalahkan setan (karena kejahatan masih tumbuh subur di dunia), maka hal itu pasti hanya kemenangan sementara, dan orang Kristen harus menunggu kedatangan-Nya kembali untuk mengalami kekalahan akhir kejahatan dan pembentukan tatanan baru di bumi.[41]
Kenyataan yang tidak dapat disangkal adalah bahwa semua Injil menampilkan Yesus dalam kerangka eskatologis ini, yaitu sebuah perspektif bahwa akan ada kemenangan masa depan yang menjadi tujuan akhir Allah atas semua kejahatan dan semua yang menentang rencana penyelamatan-Nya. Dia mewartakan kedatangan kerajaan Allah sebagai peristiwa masa depan dan memanifestasikan-Nya melalui dan dalam tindakan-Nya sendiri seperti eksorsisme, penyembuhan, dan pengampunan dosa (Luk 11:20 dan Mat 12:28).[42]
4.2.2 Eksorsisme Yesus dan Eskatologi[43]
Berbagai pernyataan Yesus dalam perikop kontroversi Beelzebul memberitahukan pandangan Yesus tentang eksorsisme dalam hubungannya dengan eskatologi. Dalam Jesus and the Spirit: A Study of the Religious and Charismatic Experience of Jesus and the First Christians as Reflected in the New Testament, James D. G. Dunn menyatakan bahwa Yesus percaya bahwa Dia mengusir setan dengan kuasa Allah. Dalam tindakan-Nya, Allah bertindak.[44] Namun, ini tidak berarti bahwa Yesus menyadari kekuatan lain sebagai sesuatu yang sangat penting, seperti beberapa eksorsis yang disebutkan di bab II menyadari dan mengandalkan otoritas kekuasaan di luar diri mereka sendiri.
Dalam ayat ini, yang penting tidak hanya kata “Roh”, tetapi juga “Aku” (Mat 12:28 dan Luk 11:20). Kerajaan yang telah tiba bukan hanya ada karena aktivitas Roh Allah, tetapi juga karena Yesus yang dalam Roh mengusir setan-setan. Oleh karena itu, ungkapan “dimana ada Roh Allah, di situ ada kerajaan-Nya” tidak sepenuhnya benar. Kebenarannya adalah “dimana Roh Allah bekerja di dalam Yesus, di situ ada kerajaan-Nya”.[45]
Pernyataan lain dalam perikop kontroversi Beelzebul yang perlu diperhatikan adalah perumpamaan tentang orang kuat (Mrk 3:27, Mat 12:29, dan Luk 11:21). Dalam perumpamaan ini, Yesus menganggap bahwa tindakan-Nya adalah suatu kekalahan bagi setan. Eksorsisme yang dilakukan Yesus ini adalah tanda bahwa Yesus sedang mengikat kuasa setan, semua kekuatan jahat, menegakkan pemerintahan Allah di antara manusia, dan awal eskatologi Allah.[46]
Akan tetapi, eksorsisme ini bukan akhir dari pemerintahan kerajaan Allah atas diri seseorang. Hal ini dibuktikan dengan peringatan Yesus bahwa eksorsisme saja tidak cukup, karena hanya membebaskan seseorang dari perbudakan setan, seperti mengosongkan rumah dari penghuninya. “Penyewa” baru harus pindah dan mengambil kepemilikan atas ruang kosong yang telah dibuat (Mat 12:43-45 dan Luk 11:24-26). Oleh karena itu, jika suatu kehidupan tidak dimiliki oleh kuasa Allah, pembebasannya dari setan hanya bersifat sementara.[47]
4.2.3 Kapan dan Bagaimana Setan Dikalahkan?[48]
Secara umum, dalam Injil-injil Sinoptik, kekalahan setan terjadi pada eksorsisme Yesus, tetapi sekaligus mengalami kepenuhannya pada akhir zaman. Di sini dapat disimpulkan bahwa Yesus melihat eksorsisme-Nya memiliki hubungan dengan kekalahan setan, walaupun realitas dan aktivitas setan tersebut terus berlanjut hingga akhir zaman. Pandangan kebanyakan ahli mengenai kekalahan setan dalam eksorsisme Yesus dapat diungkapkan demikian: “setan telah dikalahkan, tetapi belum dibinasakan”. Sementara itu, ketiadaan eksorsisme dalam Injil Yohanes menyiratkan bahwa kekalahan setan hampir tidak dapat dikaitkan dengan eksorsisme Yesus. Di sini, kekalahan setan secara langsung terkait dengan kematian Yesus (Yoh 14:30 dan 16:11).
Literatur awal yang mencerminkan ketegangan kekalahan setan ini adalah Yes 24-27 dan 1Henokh 10, 19. Gagasan dua tahap tentang kekalahan setan pada kedua literatur ini cocok dengan apa yang tercermin dalam pandangan para penginjil. Namun, kedua literatur tersebut tidak menyebutkan tentang bagaimana setan diikat, sedangkan para penginjil (kecuali Yohanes) dengan jelas menyamakan tahap pertama atau awal dari kekalahan setan dengan eksorsisme Yesus (Mat 12:28 dan Luk 11:20).
4.3 Kesimpulan
Yesus adalah eksorsis yang secara jelas menghubungkan eksorsisme-Nya dengan kerajaan Allah dan eskatologi. Dalam eksorsisme-Nya kerajaan Allah hadir dan berkarya. Ini adalah ikatan pertama atau awal terhadap setan yang akhirnya akan dihancurkan di akhir zaman.[49] Dalam eksorsisme-Nya, pertempuran terakhir sudah digabungkan, setan sudah dikalahkan (Luk 10:18), dan pemerintahan eskatologis Allah sudah mulai digenapi.[50] Namun, sama seperti kerajaan Allah benar-benar telah dimulai, tetapi belum mencapai pemenuhan akhirnya, demikian pula aktivitas eksorsisme Kristus telah dimulai, tetapi belum selesai.[51] Walaupun kerajaan Allah belum diselesaikan secara definitif, penderitaan dan kematian belum dilenyapkan, tetapi melalui Yesus, sabda penyelamatan Tuhan telah diucapkan sekali untuk selamanya, dan dalam aktivitas penyelamatan-Nya, realisasi definitif keselamatan oleh Tuhan telah diperkenalkan.62
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Tulisan ini adalah suatu pencarian dan usaha untuk menjelaskan tindakan eksorsisme Yesus. Ada beberapa hal yang dapat dicatat. Pertama, secara umum, eksorsisme dapat dipahami sebagai suatu tindakan untuk mengusir setan dari seseorang atau objek tertentu. Pemahaman seperti ini sudah diketahui pula oleh orang-orang pada zaman Yesus. Secara spesifik, pada zaman-Nya, eksorsisme dipahami sebagai suatu tindakan penyembuhan yang berupaya untuk menaklukkan atau mengusir setan yang bertanggung jawab terhadap penyakit dari orang yang dirasuki oleh setan tersebut.
Kedua, berbagai praktik eksorsisme pada awal abad I di Palestina dapat diketahui dari literatur-literatur yang secara potensial mengambil bagian dalam intelektualitas yang berlaku pada periode tersebut: literatur sebelum, sesudah, dan sezaman dengan Yesus. Dari literaturliteratur tersebut, eksorsisme pada abad I di Palestina dianggap berhasil karena tiga faktor yang saling terkait, yaitu eksorsis, sumber otoritas kekuasaan, dan bentuk eksorsisme yang dilakukan. Dari ketiga faktor tersebut, ada dua jenis eksorsisme yang akrab dengan pendengar Yesus, yaitu eksorsisme yang berhasil karena identitas eksorsis dan yang berhasil karena tindakan eksorsis.
Ketiga, Perjanjian Baru (terutama Injil-injil Sinoptik) dan beberapa sumber ekstra biblis menggambarkan bahwa secara historis Yesus merupakan seorang eksorsis. Dalam banyak hal, tindakan eksorsisme-Nya mirip dengan tindakan eksorsis lain pada zaman-Nya, seperti setan tertekan dan terancam oleh kehadiran-Nya, ada pergulatan dan percakapan antara setan/orang yang dirasuki setan dengan Yesus, dan penyembuhan dari jauh. Di sisi lain, ada beberapa aspek dalam eksorsisme Yesus yang membuat-Nya unik dan berbeda dari eksorsis lain, misalnya tidak ada alat bantu mekanis yang digunakan, tidak berdoa agar kuasa Tuhan membantu-Nya, tidak menawarkan bukti penyembuhan, tidak menyatakan sumber otoritas kuasa-Nya, dan bahkan Dia tidak bergantung pada (Roh) Tuhan.
Keempat, eksorsisme Yesus memiliki hubungan yang erat dengan keselamatan yang Ia hadirkan dan wartakan. Yesus menghubungkan eksorsisme-Nya dengan kerajaan Allah dan eskatologi. Dalam eksorsisme-Nya, kerajaan Allah hadir dan berkarya. Ini adalah ikatan awal terhadap setan yang akhirnya akan dihancurkan di akhir zaman (eskatologi).
Kelima, sama seperti kerajaan Allah telah dimulai tetapi belum mencapai pemenuhan akhirnya, demikian pula aktivitas eksorsisme Kristus telah dimulai tetapi belum selesai. Walaupun kerajaan Allah belum diselesaikan secara definitif (penderitaan dan kematian masih terjadi; dan setan-setan tetap bekerja) dalam Yesus, sabda penyelamatan Tuhan telah diucapkan sekali untuk selamanya. Dalam aktivitas penyelamatan-Nya, realisasi definitif keselamatan oleh Tuhan telah diperkenalkan.
5.2 Catatan Kritis
Catatan kritis ini lebih merupakan suatu tanggapan berdasarkan pemahaman eksorsisme Yesus yang dijelaskan dalam tulisan ini terhadap praktik dan pemahaman eksorsisme Gereja Katolik hingga saat ini. Pertama, sejak zaman Yesus hingga sekarang, eksorsisme Kristen terus berkembang. Sejarah panjang praktik eksorsisme yang terus dilakukan hingga saat ini adalah suatu proses pasang surut menuju praktik dan pemahaman yang benar dan komprehensif mengenai eksorsisme dalam Gereja Katolik. Perkembangan ini adalah tindakan nyata dari Gereja yang mengaktualisasikan tugas perutusan yang Yesus perintahkan, termasuk untuk mengusir setan-setan. Dalam proses panjang tersebut, Gereja juga perlu mengakui bahwa memang pada masa tertentu, ada beberapa kekeliruan pada praktik dan pemahaman eksorsisme ini, misalnya mempraktikan dan memahaminya sebagai bagian dari konflik politik duniawi; mempraktikannya secara brutal;[52] ataupun mengabaikannya sama sekali. Padahal, Yesus melakukan dan memerintahkan tindakan tersebut; melawan musuh spiritual; dan tidak melakukan kekerasan dalam eksorsisme-Nya.
Kedua, untuk mengukuhkan pemahaman mengenai eksorsisme dalam Gereja, menurut saya, orang perlu kembali kepada eksorsisme Yesus sebagaimana yang dijelaskan dalam tulisan ini. Namun, pembacaannya pun perlu holistik dan spesifik. Dalam bukunya The Miracle Stories of The Synoptic Gospels, Herman Hendrickx menyatakan bahwa cerita mukjizat dalam Injil, termasuk eksorsisme, dibaca dengan dengan berbagai pendekatan yang berbeda,[53] seperti pendekatan naif, apologetik, kritis, profetik, dan pendekatan interdisipliner saat ini. Dari berbagai pendekatan yang ada, saya setuju dengan Colin Brown. Menurutnya, orang perlu mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu yang lebih besar untuk memahami mukjizat Yesus. Orang perlu membaca Injil secara kritis, tetapi juga dengan apa yang disebut oleh Paul Ricoeur sebagai kenaifan kedua (membaca dengan istilah Injil sendiri) untuk menemukan apa yang dikatakan setiap penginjil sendiri.[54]
Ketiga, sekarang ini, eksorsisme Gereja dipahami sebagai doa otentik di mana kemenangan atas setan dirujuk sepenuhnya kepada kuasa Tuhan.[55] Dalam Katekismus Gereja Katolik no. 1673, tindakan eksorsisme ini dipahami sebagai salah satu sakramentali, yaitu doa resmi dan otoritatif Gereja atas nama Yesus Kristus untuk melindungi dan membebaskan orang atau benda dari kuasa musuh yang jahat. Gereja menerima kuasa itu dari Yesus yang telah melakukan eksorsisme.[56]
Salah satu implikasi dari pemahaman ini adalah bahwa pemahaman orang akan eksorsisme tidak boleh berhenti pada ketakjuban dan ketakutan akan tindakan dan fenomena itu atau jatuh pada ritualisme belaka, sehingga makna dan tujuannya hilang. Misalnya, dunia modern menciptakan gambaran yang berlebihan tentang kekuatan setan, sehingga memberi kesan bahwa setan lebih berkuasa dari pada Tuhan.[57] Mereka perlu mengarahkan diri dengan penuh iman kepada Tuhan yang berkuasa, kedatangan kerajaan-Nya, dan terlibat aktif dalam perjalanan menuju akhir zaman sesuai ajaran dan teladan Yesus. Oleh karena itu, eksorsisme harus tetap berpengaruh pada pembangunan iman umat untuk hidup sesuai kehendak Allah dan terlibat dalam karya keselamatan-Nya.
5.3 Relevansi
Kajian tentang eksorsisme Yesus dalam tulisan ini, menurut saya, relevan untuk kehidupan umat kristiani masa kini. Pertama, tulisan ini memberikan kepada umat suatu gambaran historis mengenai eksorsisme Yesus. Dengan ulasan historis ini, umat mendapat gambaran bahwa Yesus bukan saja seorang Guru, Tuhan, Anak Manusia, Anak Allah, Mesias, Kristus, dan berbagai status lainnya yang sudah akrab dengan kehidupan iman mereka. Dia juga merupakan seorang eksorsis. Dia berkuasa menaklukkan dan mengusir setan-setan serta membebaskan orang-orang yang terbelenggu oleh kuasa setan-setan tersebut.
Kedua, melalui tulisan ini, umat diajak untuk mengakrabkan diri dengan literaturliteratur diluar Injil yang turut berkontribusi pada pemahaman mengenai hidup Yesus. Literatur-literatur tersebut dapat terbentang sejak masa sebelum hingga sesudah hidup Yesus pada awal abad I di Palestina. Sumbangsi literatur-literatur tersebut dapat berupa nubuat tentang Yesus, kepercayaan orang-orang akan Yesus, maupun petunjuk bahwa Yesus hadir sebagai figur sejarah yang unik, khas, dan berbeda dibandingkan dengan figur-figur karismatik lain zaman-Nya.
Ketiga, tulisan ini relevan untuk membantu umat memaknai Gereja sebagai “bangsa pilihan” dan Tubuh Kristus untuk meneruskan karya penyelamatan-Nya di dunia. Dia (Gereja) adalah sakramen yang menandakan dan sekaligus menghadirkan Yesus yang penuh kuasa. Sebagaimana para rasul diserahi kuasa oleh Yesus untuk mengusir setan-setan dalam nama-Nya, demikian juga Gereja yang apostolik berkuasa melakukan hal tersebut. Sebagaimana kuasa jahat ditaklukan oleh kehadiran Yesus, demikian juga kehadiran Gereja di dalam Yesus dapat menaklukan kuasa jahat tersebut.
Kuasa Kristus dalam Gereja tersebut secara khusus tersalurkan melalui tindakan eksorsisme Gereja, tetapi juga terjadi dalam berbagai tindakan sakramental-Nya. Oleh karena itu, secara khusus dalam memerangi pengaruh setan, umat perlu memaknai dengan benar dan bersungguh-sungguh dalam berbagai tindakan keselamatan Gereja, seperti sakramensakramen terutama Ekaristi, doa melalui santo-santa atau malaikat, dan lain sebagainya. Halhal tersebut dapat dianalogikan sebagai senjata yang Tuhan berikan kepada umat-Nya untuk melawan kuasa jahat. Jika umat meninggalkan atau tidak bersungguh-sungguh menggunakan senjata-senjata tersebut, maka tidak mengejutkan bila mereka mudah dipengaruhi oleh kekuatan jahat.
Keempat, tulisan ini dapat membantu umat memahami eksorsisme bukan saja sebagai tindakan saat ini yang membebaskan orang dari kuasa jahat, tetapi juga merupakan suatu tanda nyata kehadiran dan kedekatan kerajaan Allah yang telah dihadirkan dan diwartakan oleh Yesus 2000 tahun lalu. Kerajaan tersebut tetap terus berkarya sejak dahulu, kini, hingga kedatangan Yesus yang kedua. Dengan pemahaman ini, umat beriman diharapkan untuk terlibat secara aktif dan partisipatif membangun kerajaan Allah dan mengambil bagian dalam perjalanan menuju akhir zaman sesuai tugas dan peran masing-masing dalam imannya akan Yesus.
DAFTAR PUSTAKA
Betz, Hans Dieter. Edit. The Greek Magical Papyri: Including The Demonic Spells, Vol. 1. Chicago: The University of Chicago Press, 1986.
Bockmuehl, Markus dan Donald A. Hagner. Edit. The Written Gospel. New York: Cambridge University Press, 2005
Bonino, Thomas. Diterj. Michael J. Miller, Angel and Demon: A Catholic Introduction. Washington: The Catholic University of America Press, 2016.
Brown, Raymond E. dkk. Edit. The New Jerome Commentary. Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1990.
Burkett, Delbert. Edit. The Blackwell Companion to Jesus. United Kingdom: Wiley-Black well, 2010.
Carr, Wesley. Angels and Principalities: The background, meaning and development of the Pauline phrase hai archai kai hai exousiai. UK: Cambridge University Press1981.
Charlesworth, James H. Edit. The Old Testament Pseudepigrapha Vol 1: Apocalyptic Literature and Testaments. New York: Doubleday & Company, 1983.
——-. The Old Testament Pseudepigrapha Vol 2: Expansions of the “Old Testament” and Legends, Wisdom and Philosophical Literature, Prayers, Psalms, and Odes, Fragments of Lost Judeo-Hellenistic Works. New York: Doubleday & Company, 1985.
Clarke, Howard W. The Gospel of Matthew and Its Readers:A Historical Introduction to the First Gospel. Bloomington: Indiana University Press, 2003.
Cotter, Wendy. Miracle in Greco-Roman antiquity: A sourcebook. London: Routledge, 1999.
Deissmann, G. Adolf. Bible Studies: Contributions Chiefly from Papiry And Inscriptions to The History of The Language, The Literature, And The Religion of Hellenistic Judaism And Primitive Christianity. UK: T And T Clark, 1903.
Dunn, James D. G. and Scot McKnight, edit. The Historical Jesus in Recent Research: Sources for Biblical and Theological Study Vol. 10. Indiana: Eisenbrauns, 2005.
——- Christianity in the Making Vol 1: Jesus Remembered. Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 2003.
——- Jesus and the Spirit: A Study of the Religious and Charismatic Experience of Jesus and the First Christians as Reflected in the New Testament. Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1975.
Forsyth, Neil. The Satanic Epic. UK: Princeton University Press, 2003.
Fortea, José Antonio. Interview with an Exorcist An Insiders Look at the Devil, Demonic Possession, and the Path to Deliverance. Pennsylvania: Ascension Press, 2006.
Groenen, Cletus. Pengantar ke dalam Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius, 1989.
——- Peristiwa Yesus. Yogyakarta: Kanisius, 1988.
Guthrie, Donald diterj. Lisda Tirtapraja Gamadhi, Teologi: Perjanjian Baru 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008.
——- diterj. Jan S. Aritonang. Teologi Perjanjian Baru 2: Misi Kristus, Roh Kudus, kehidupan Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008.
Haenchen, E. The Acts of The Apostles: A Commentary. Oxford: Blackwell, 1971.
Haight, Roger. Jesus: Symbol of God. New York: Orbis Books,1999.
Hasting, James. Direvs. Frederick C. Grant dan H. H. Rowly. Dictionary of The Bible, Second Edition. Edinburgh: T &T Clark, 1963.
Hendrickx, Herman. The Miracle Stories of the Synoptic Gospels. London: Harper & Row, 1987.
Hengel, Martin. Diterj. John Bowden, Judaism and Hellenism Vol I. USA: Fortress Press, 1974.
Horsley, Richard A. Jesus and Empire: The Kingdom of God and The New World Disorder. Minneapolis: Fortress Press, 2003.
——- Jesus and Magic: Freeing the Gospel Stories from Modern Misconceptions. UK: James Clarke & Co, 2015.
Https://www.ewtn.com/catholicism/library/prefect–for–divine–worship–on–the–new–rite–ofexorcism–4275, diunduh pada Minggu, 7 Februari 2021 pukul 17.20 WIB.
Hurtado, Larry W. Lord Jesus Christ: Devotion to Jesus in Earliest Christianity. Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 2003.
Josephus, Flavius. Diterj. William Whiston, Antiquities of the Jews. UK: Echo Library, 2006.
Kahl, Werner. New Testament Miracle Stories in their Religious Historical Stetting: Α Religionsgeschichtliche Comparison from a Structural Perspective. Jerman: Vandenhoeck & Ruprecht, 1994.
Katekismus Gereja Katolik. Diterj. Konferensi Wali Gereja Regio Nusa Tenggara. Ende: Penerbit Nusa Indah, 2014 cet. III
Kee, Howard Clark. Medicine, Miracle and Magic in New Testament Times. New York: Cambridge University Press, 1988.
Klausner, Joseph. Jesus of Nazareth: His Life, Times, and Teaching. New York: The Macmillan Company, 1926.
Ladd, George Eldon. The Presence of The Future: The Eschatology of Biblical Realism. Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1996.
Lee M. Jefferson. Christ The Miracle Worker in The Early Christian Art. Minneapolis: Fortress Press, 2014.
Levack, Brian P. The Devil Within: Possession & Exorcism in the Christian West. London: Yale University Press, 2013.
Majalah Hidup: Butuh Banyak Pelayan Eksorsis. No.40 edisi 6 Oktober 2019.
Mcfarland, Ian., dkk. The Cambridge Dictionary of Christian Theology. UK: Cambridge University Press, 2011.
Mobley, T. J. Wray Gregory. The Birth of Satan: Tracing The Devil’s Biblical Roots. New York: Palgrave Macmillan, 2005.
Origen. Diterj. Henry Chadwick, Contra Celsum. New York: Cambridge University Press, 1960.
Pagel, Elaine. The Origin of Satan. New York: Vintage Books, 1996.
Philostratus, Diterj. F. C. Conybeare, Apollonius of Tyana Vol. 2 (buku VI-VIII). London: Harvard University Press, 1912.
——- Diterj. F. C. Conybeare, The Life of Apollonius of Tyana: The Epistles of Apollonius and The Treatise of Eusebius Vol. 1 (buku I-V). London: Harvard University Press, 1989.
Purnomo, Albertus. Iblis dalam Alkitab. Yogyakarta: Kanisius, cet. 5, 2016.
Robinson, James M. The Gospel of Jesus: A Historical Search for the Original Good News. USA: HarperSanFrancisco, 2006.
Sagan, Carl. Diterj. Damaring T. W. Palar, The Demon-Haunted World: Sains Penerang Kegelapan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2018.
Schürer, Emil. The History of The Jewish People in The Age of Jesus Christ (175 B. C-135 A. D) Vol. III, Part 1. London: Bloomsbury T&T Clark, 2014.
Sebatu, Alfons. Diterj. Stefanus Akut. Psiko-Eksorsisme. Bekasi: Taman Belajar Eugenia, 2012.
Smith, Morton. Jesus The Magician. New York: Barnes & Noble Books, 1993.
Sobrino, Jon. Jesus the Liberator: A Historical-Theological Reading of Jesus of Nazareth. Tunbridge Wells: Burns & Oates, 1994.
Stanton, Graham N. Jesus and Gospel. New York: Cambridge University Press, 2004.
Suharno, Ignatius. Pengantar Injil Sinoptik. Yogyakarta: Kanisius, 1989.
Tantum, W. Barnes. Jesus: A Brief History. United Kingdom: Wiley -Blackwell, 2009.
Telford, W. R. The Theology of The Gospel of Mark. New York: Cambridge University Press, 1999.
Twelftree, Graham. Jesus The Exorcist: A Contribution to The Study of The Historical Jesus. USA: Hendrickson Publisher, 1993.
——- The Cambridge Companion to Miracles. UK: Cambridge University Press, 2011.
Vermes, Geza. Jesus The Jew: A Historian’s Reading of The Gospels. USA: Fortress Press, 1981.
——- The Complete Dead Sea Scrolls in English, Revised Edition. London: Penguin Books, 2004.
Watson, Duane F. Miracle Discourse in The New Testament. Atlanta: Society of Biblical Literature, 2012.
Weiss, Johannes. Diterj. Oleh Richard Hyde Hiers dan David Larrimore Holland. Jesus’ Proclamation of The Kingdom of God. California: Scholars Press, 1985.
Wostyn, Lode L. dan Jose M. de Mesa. Doing Christology: The Re-Appropriation of a Tradition, ed.3. Philippines: Claretian Publication, 1993.
Young, Francis. A History of Exorcism in Catholic Christianity. London: Palgrave Macmillan, 2016.
[1] Francis Young, A History of Exorcism in Catholic Christianity, (London: Palgrave Macmillan, 2016), 15-16.
[2] Albertus Purnomo, Iblis dalam Alkitab, (Yogyakarta: Kanisius, cet. 5, 2016), 61.
[3] Graham Twelftree, Jesus The Exorcist: A Contribution to The Study of The Historical Jesus, (USA:
Hendrickson Publisher, 1993), 13.
[4] Cletus Groenen, Peristiwa Yesus, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), 156-192.
[5] Howard Clark Kee, Medicine, Miracle and Magic in New Testament Times, (New York: Cambridge University Press, 1988), 3 dan 118.
[6] Graham Twelftree, Jesus The Exorcist: A Contribution to The Study of The Historical Jesus, 14-17.
[7] Graham Twelftree, Jesus The Exorcist: A Contribution to The Study of The Historical Jesus, 22-52.
[8] Geza Vermes, Jesus The Jew: A Historian’s Reading of The Gospels, (USA: Fortress Press, 1981), 76. 9 Terjemahan Inggris yang digunakan untuk teks ini adalah Philostratus, diterj. F. C. Conybeare, The Life of Apollonius of Tyana: The Epistles of Apollonius and The Treatise of Eusebius Vol. 1 (buku I-V), (London: Harvard University Press, 1989) dan Apollonius of Tyana Vol. 2 (buku VI-VIII), (London: Harvard University Press, 1912).
[9] Howard Clark Kee, Medicine, Miracle and Magic in New Testament Times, 24. Hal ini juga berhubungan dengan keterpilihan Salomo sebagai mediator kekuatan Yahwe, sama seperti Daud ayahnya. Werner Kahl. New Testament Miracle Stories in their Religious Historical Stetting: Α Religionsgeschichtliche Comparison from a Structural Perspective, (Jerman: Vandenhoeck & Ruprecht, 1994), 129 dan 219.
[10] Terjemahan Inggris yang digunakan untuk Perjanjian Salomo adalah D. C. Duling “Testament of Solomon (First to Third Century A.D.)” dalam James H. Charlesworth, Edit. The Old Testament Pseudepigrapha Vol 1: Apocalyptic Literature and Testaments, (New York: Doubleday & Company, 1983), 960-987.
[11] Dalam kisah Tobit ini, bukan teknik saja yang akan memastikan keberhasilan eksorsisme, tetapi teknik yang disertai dengan seruan yang tulus kepada Tuhan. Wendy Cotter, Miracle in Greco-Roman antiquity: A sourcebook For The Study of New Testament Miracle Stories, (London: Routledge, 1999), 93. Dalam hubungan antara penyembuhan, Tuhan sebagai otoritas kekuasaan dengan eksorsisme, bukan suatu kebetulan bahwa nama malaikat yang terlibat dalam kisah Tobit adalah Rafael, yaitu “Tuhan menyembuhkan”. Howard Clark Kee, Medicine, Miracle and Magic in New Testament Times, 22. Sinopsis cerita Tobit dilihat di Emil Schürer, The History of The Jewish People in The Age of Jesus Christ (175 B. C-135 A. D) Vol. III, Part 1, (London: Bloomsbury T&T Clark, 2014), 222-223.
[12] Joseph Klausner, Jesus of Nazareth: His Life, Times, and Teaching, (New York: The Macmillan Company, 1926), 267-272.
[13] Cletus Groenen, Peristiwa Yesus, 149-150. Herman Hendrickx, The Miracle Stories of The Synoptic Gospels, (Harper & Row, 1987), 28. Marton Smith, Jesus The Magician, (New York: Barnes & Noble Books, 1993), 16. Jon Sobrino, Jesus the Liberator: A Historical-Theological Reading of Jesus of Nazareth, (Tunbridge Wells: Burns & Oates, 1994), 94. Roger Haight, Jesus: Symbol of God, (New York: Orbis Books,1999), 71-74. Barry L. Blackburn menyatakan empat alasan mengapa eksorsisme (dan penyembuhan) merupakan bagian integral dari hidup Yesus. Pertama, ada banyak kisah penyembuhan dan eksorsisme Yesus dan tidak mungkin semua kisah ini dipinjam dari cerita yang sudah ada sebelumnya atau dibuat di luar kisah Yesus yang utuh. Kedua, kepercayaan pada penyembuhan dan eksorsisme Yesus dibuktikan dalam sejumlah sumber independen: tradisi Q, Markus, Matius, Lukas, dan berhubungan dengan penyembuhan dalam Injil Yohanes. Ketiga, pengesahan ganda ini meluas ke berbagai bentuk sastra. Keempat, eksorsisme dan penyembuhan Yesus dibuktikan dalam perkataan Yesus yang memiliki klaim yang kuat akan keaslian. Barry L. Blackburn “The miracles of Jesus” dalam Graham H. Twelftree, Edit. The Cambridge Companion to Miracle, 117.
[14] Graham H. Twelftree, Jesus The Exorcist: A Contribution to The Study of The Historical Jesus, 137-142. 17 Geza Vermes, Jesus The Jew: A Historian’s Reading of The Gospels, 22.
[15] John P. Meier “Jesus” dalam Raymond E. Brown, dkk. Edit. The New Jerome Commentary, (Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1990), 1321.
[16] Larry W. Hurtado, Lord Jesus Christ: Devotion to Jesus in Earliest Christianity, (Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 2003), 203.
[17] Pada kisah-kisah ini tersirat keunikan kemampuan eksorsisme Yesus, yaitu memampukan orang lain untuk melakukan tindakan yang sama (kuasa para murid untuk mengusir setan berasal dari Yesus). Marton Smith, Jesus The Magician, 113.
[18] Eksorsisme tidak ada dalam Yohanes karena pergumulan antara yang baik dan yang jahat diselesaikan ketika orang bertemu dengan terang dan menerimanya, dan kejahatan dikalahkan dengan tegas pada saat kematian, kebangkitan, dan kenaikan Yesus. Oleh karena itu, eksorsisme tidak diperlukan untuk menunjukkan kuasa Yesus atas kejahatan. Duane F. Watson “Introduction” dalam Duane F. Watson, Edit. Miracle Discourse in The New Testament, (Atlanta: Society of Biblical Literature, 2012), 12.
[19] Gail R. O’Day, “Miracle Discourse and the Gospel of John” dalam Duane F. Watson, Edit. Miracle Discourse in The New Testament, 187- 188. Wendy J. Cotter “Miracle Discourse in the New Testament: A Response” dalam Duane F. Watson, Edit. Miracle Discourse in The New Testament, 221.
[20] Graham H. Twelftree, Jesus The Exorcist: A Contribution to The Study of The Historical Jesus, 143-156.
[21] Graham H. Twelftree, Jesus The Exorcist: A Contribution to The Study of The Historical Jesus, 143-144.
[22] Cerita tentang wanita Siro-Fenisia (dan Yesus yang berkarya di desa-desa di perbatasan Galilea di bawah yurisdiksi politik Tirus dan Kaisarea Filipi) dalam Markus menunjukkan bahwa keselamatan dari Yesus terbuka untuk orang-orang selain bangsa Israel. Misi Yesus memang merupakan sebuah pembaruan orang Israel, tetapi pembaruan tersebut terbuka untuk penduduk bangsa lainnya. Injil Markus menggambarkan Yesus sebagai seorang nabi seperti Musa dan Elia, melakukan pembaruan Israel, yang terwujud terutama dalam eksorsisme dan penyembuhan serta dalam proklamasi pemerintahan langsung Allah yang bertentangan dan ditentang oleh para penguasa Israel. Richard A. Horsley, Jesus and Magic: Freeing the Gospel Stories from Modern Misconceptions, 112-113, 146.
[23] Dalam kisah ini, Yesus menaklukkan/menghardik setan. Dalam bahasa Yunani, istilah menghardik/menaklukan lebih kuat daripada teguran, dan tampaknya terkait dengan istilah perintah performatif dalam tradisi Israel, seperti ketika Tuhan akan menaklukan/menghardik musuh dan lawan-Nya. Richard A. Horsley, Jesus and Magic: Freeing the Gospel Stories from Modern Misconceptions, 145.
[24] Berlawanan dengan pengobatan dalam tradisional Yahudi, Injil tidak menganggap eksorsisme sebagai suatu ritual tertentu. Eksorsisme yang dijelaskan dilakukan dengan pernyataan belaka: selalu mengikuti perintah langsung. Geza Vermes, Jesus The Jew: A Historian’s Reading of The Gospels, 23-24.
[25] Graham H. Twelftree, Jesus The Exorcist: A Contribution to The Study of The Historical Jesus, 157-165.
[26] James D. G. Dunn, Christianity in the Making Vol 1: Jesus Remembered, (Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 2003), 690. Craig A. Evans “How Mark Writes” dalam Markus Bockmuehl dan Donald A. Hagner, Edit. The Written Gospel, (New York: Cambridge University Press, 2005), 136-137. Werner Kahl. New Testament Miracle Stories in their Religious Historical Stetting: Α Religionsgeschichtliche Comparison from a Structural Perspective, 106.
[27] Geza Vermes, Jesus The Jew: A Historian’s Reading of The Gospels, 66.
[28] Richard A. Horsley, Jesus and Magic: Freeing the Gospel Stories from Modern Misconceptions, 25, 162. Marton Smith, Jesus The Magician, 127. Brian P. Levack, The Devil Within: Possession & Exorcism in the Christian West, (London: Yale University Press, 2013), 38-39. Herman Hendrickx, The Miracle Stories of The Synoptic Gospels, 52-55. James D. G. Dunn, Christianity in the Making Vol 1: Jesus Remembered, 693.
[29] Werner Kahl. New Testament Miracle Stories in their Religious Historical Stetting: Α eligionsgeschichtliche Comparison from a Structural Perspective, 19.
[30] Brian P. Levack, The Devil Within: Possession & Exorcism in the Christian West, 100.
[31] W. R. Telford, The Theology of The Gospel of Mark, 87. Lode L. Wostyn dan Jose M. de Mesa, Doing Christology: The Re-Appropriation of a Tradition, ed.3 (Philippines: Claretian Publication, 1993), 181-182. Donald Guthrie, diterj. Jan S. Aritonang, Teologi Perjanjian Baru 2: Misi Kristus, Roh Kudus, kehidupan Kristen, (Jakarta: Gunung Mulia, cet. 10, 2008), 21.
[32] James D. G. Dunn, Christianity in the Making Vol 1: Jesus Remembered, 383-386.
[33] Jon Sobrino, Jesus the Liberator: A Historical-Theological Reading of Jesus of Nazareth, 69-70.
[34] Graham Twelftree, Jesus The Exorcist: A Contribution to The Study of The Historical Jesus,169-170. 41 Herman Hendrickx, The Miracle Stories of The Synoptic Gospels, 252. Mukjizat Yesus tidak hanya menekankan aspek kebaikan mukjizat tersebut untuk seseorang, tetapi juga aspek pembebasan terhadap seseorang atau sesuatu. Ini penting untuk memahami mengapa mukjizat Yesus menghasilkan harapan dan bukan hanya sukacita. Dalam arti sempit, ini yang membuat mukjizat Yesus menjadi suatu tanda kerajaan Allah. Jon Sobrino, Jesus the Liberator: A Historical-Theological Reading of Jesus of Nazareth, 88-89. Kepentingan utama mukjizat dalam Perjanjian Baru sebagai tanda eskatologis adalah hasil penafsiran secara simbolis, terutama dalam Injil Yohanes. Misalnya, karya penyembuhan Yesus lebih dipahami sebagai “alat” transformasi spiritual daripada bertujuan untuk penyembuhan itu sendiri. Howard Clark Kee, Medicine, Miracle and Magic in New Testament Times, 129-130.
[35] Barry L. Blackburn “The miracles of Jesus” dalam Graham H. Twelftree, Edit. The Cambridge Companion to Miracle, 124.
[36] Bagi para pendengar Yahudi, perumpamaan ini jelas menyatakan bahwa orang kuat yang dikatakan Yesus adalah gambaran untuk setan dan (rumah) kepemilikannya adalah gambaran dari orang-orang yang dirasukinya. Dalam perikop-perikop ini, pengikatan terhadap orang kuat sudah berlangsung. Orang kuat itu sudah dilumpuhkan dan karena itu, harta bendanya bisa dibebaskan dari kendalinya. James D. G. Dunn, Christianity in the Making Vol 1: Jesus Remembered, 460-461. George Eldon Ladd, The Presence of The Future: The Eschatology of Biblical Realism, (Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1996), 151.
[37] Di sini perlu dicatat bahwa kuasa kejahatan digambarkan sebagai sebuah kerajaan (secara eksplisit dalam Mat 12:26 dan Luk 11:18) dengan Satan sebagai penguasa atau pangeran. Implikasinya adalah bahwa eksorsisme Yesus diberdayakan bukan oleh kerajaan itu, tetapi oleh kerajaan Allah. James D. G. Dunn, Christianity in the Making Vol 1: Jesus Remembered, 458.
[38] James D. G. Dunn, Jesus and the Spirit: A Study of the Religious and Charismatic Experience of Jesus and the First Christians as Reflected in the New Testament, 48.
[39] Gerd Theissen “The Historical Intention of Primitive Christian Miracle Stories” dalam James D. G. Dunn and
Scot McKnight, edit. The Historical Jesus in Recent Research: Sources for Biblical and Theological Study Vol.
10, 352. Thomas Bonino, Diterj. Michael J. Miller, Angel and Demon: A Catholic Introduction, (Washington: The Catholic University of America Press, 2016), 103-104.
[40] James D. G. Dunn, Christianity in the Making Vol 1: Jesus Remembered, 398-399.
[41] Howard W. Clarke, The Gospel of Matthew and Its Readers:A Historical Introduction to the First Gospel, 34.
[42] Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa orang yang kerasukan setan tidak pernah dikatakan sebagai orang berdosa dan orang berdosa tidak dikatakan kerasukan setan; tidak pernah juga dikatakan bahwa Yesus mengampuni dosa orang yang kerasukan setan. Hanya dalam injil, dosa sebagai penyebab penyakit tidak banyak berperan. Cletus Groenen, Peristiwa Yesus, 190.
[43] Graham Twelftree, Jesus The Exorcist: A Contribution to The Study of The Historical Jesus, 216-220.
[44] James D. G. Dunn, Jesus and the Spirit: A Study of the Religious and Charismatic Experience of Jesus and the First Christians as Reflected in the New Testament, 47. Dalam teks ini, kerajaan Allah dan kerajaan setan diadu satu sama lain. Pekerjaan mujizat Yesus adalah kedatangan dan kemenangan kerajaan Allah. Herman Hendrickx, The Miracle Stories of The Synoptic Gospels, 14.
[45] George Eldon Ladd, The Presence of The Future: The Eschatology of Biblical Realism, 156.
[46] Herman Hendrickx, The Miracle Stories of The Synoptic Gospels, 25. Richard A. Horsley, Jesus and Magic: Freeing the Gospel Stories from Modern Misconceptions, 153-154. Richard A. Horsley, Jesus And Empire: The
[47] George Eldon Ladd, The Presence of The Future: The Eschatology of Biblical Realism, 152.
[48] Graham Twelftree, Jesus The Exorcist: A Contribution to The Study of The Historical Jesus, 220-224.
[49] George Eldon Ladd, The Presence of The Future: The Eschatology of Biblical Realism, 151.
[50] James D. G. Dunn, Jesus and the Spirit: A Study of the Religious and Charismatic Experience of Jesus and the First Christians as Reflected in the New Testament, 48, 61, dan 91. Cletus Groenen, Peristiwa Yesus, 192194.
[51] George Eldon Ladd, The Presence of The Future: The Eschatology of Biblical Realism, 152. 62 Herman Hendrickx, The Miracle Stories of The Synoptic Gospels, 14-18.
[52] Misalnya, dengan Bulla 1484, Paus Inocensius VIII memulai pendakwaan, penyiksaan, dan pengeksekuasian secara sistematis terhadap sejumlah besar penyihir dan bidaah yang dituduh bersekutu dengan setan. Carl Sagan, diterj. Damaring T. W. Palar, The Demon-Haunted World: Sains Penerang Kegelapan, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2018), 133-140.
[53] Herman Hendrickx, The Miracle Stories of The Synoptic Gospels, 28-33.
[54] Colin Brown, “Issues in the History of the Debates on Miracles” dalam Graham H. Twelftree, Edit. The Cambridge Companion to Miracle, 287.
[55] Thomas Bonino, Diterj. Michael J. Miller, Angel and Demon: A Catholic Introduction, 299-300.
[56] Diterj. Konferensi Wali Gereja Regio Nusa Tenggara, Katekismus Gereja Katolik, (Ende: Penerbit Nusa Indah, 2014 cet. III), 419-420.
[57] Alfons Sebatu, diterj. Stefanus Akut, Psiko-Eksorsisme, (Bekasi: Taman Belajar Eugenia, 2012), xiii.