Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM

Pada hari anti-rasisme kita diingatkan, jika setiap orang memiliki martabat yang tidak dapat dicabut dan keberadaan mereka pada dasarnya merupakan saudara serta saudari, maka eksistensi sesama hendaknya tidak dilihat sebagai ancaman. Terkait hal ini, kepemilikan pribadi tidak disangkal. Namun, penting bagi setiap orang untuk bertanggung jawab atas keberadaan yang lain dan memberikan kontribusi untuk kebaikan bersama.

Setiap orang diharapkan untuk mengakhiri perbudakan dan berbagai macam bentuk kekerasan. Selain itu, tindakan yang mendukung nasionalisme sempit dan penuh kekerasan, xenophobia dan penghinaan, dan penganiayaan terhadap yang lain harus dihentikan. Perlu diketahui bahwa rasisme merupakan virus yang cepat bermutasi. Oleh karena itu, ketika yang lain diabaikan dan ditinggalkan, secara eksistensial mereka akan merasa terasing.

Dewasa ini masyarakat seringkali menghargai martabat manusia apabila mereka masih berguna (useful). Ketika dirasa sudah menjadi beban (burden), mereka (orang tua, miskin, dan cacat) akan dibuang. Hal ini memerlihatkan pentingnya mempromosikan pemahaman mengenai martabat hakiki setiap orang. Misalnya, memperjuangkan eksistensi imigran dan pengungsi.

Perang, senjata nuklir, dan terorisme tidak memungkinkan terjadinya relasi antarmanusia yang ideal. Tindakan tersebut hanya akan memecah belah dan menghancurkan martabat manusia. Akhirnya, pada hari anti-rasisme, kita diajak untuk menjunjung tinggi martabat dan hak perempuan yang sampai saat ini masih diabaikan.

Sumber Bacaan:

Giangravé, Claire. Pope Francis’ new encyclical, Fratelli Tutti, enshrines familiar criticisms of racism and borders. https://religionnews.com/2020/10/04/pope-francis-new-encyclical-fratelli-tutti-enshrines-familiar-criticisms-of-racism-and-borders/. Diakses pada 20 Maret 2021 pukul 08.22 WIB.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

two − one =