Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
Keberhasilan penyelidikan tergantung pada kemampuan peserta mengetahui dan mengamati norma-norma perilaku epistemik. Norma epistemik seperti norma sosial yang memfasilitasi aktivitas kolektif dengan menetapkan standar perilaku bersama menentukan bentuk perilaku tertentu. Hal ini merupakan norma epistemik yang kondusif untuk penyelidikan. Misalnya, mendorong peserta mengajukan klaim tentatif atau ide spekulatif tanpa harus takut terhadap tanggapan kritis.
Meskipun norma epistemik seperti norma sosial sering dilanggar, hal ini tidak selalu buruk. Karena klaimnya bukan bahwa mengamati norma epistemik selalu baik untuk penyelidikan atau penyelidikan selalu berhasil apabila seseorang sungguh-sungguh mengamatinya.
Dalam norma sosial, seseorang tidak boleh menginterupsi apabila yang lain sedang berbicara. Oleh karena itu, ciri penanggap yang baik mempunyai keterampilan mengetahui kapan harus berbicara. Orang seperti itu memiliki apa yang disebut Aristoteles sebagai kebijaksanaan praktis (phronesis).
Seseorang yang melanggar norma epistemik secara sewenang-wenang mengancam kemungkinan penyelidikan kolektif dalam dua hal. Pertama, merusak kondisi sosial penyelidikan. Misalnya, menciptakan lingkungan yang tidak bersahabat dan mencegah spekulasi tentatif. Kedua, suspensi sewenang-wenang dan pelanggaran norma epistemik mengikis status norma tersebut serta merusak integritas komunitas yang bersangkutan.
Menurut Robert C. Roberts dan W. Jay, arogansi epistemik merupakan disposisi untuk menyimpulkan secara tidak valid berdasarkan superioritas seseorang terhadap yang lain. Misalnya, menilai diri sendiri mempunyai hak berdasarkan status istimewa seperti superioritas intelektual dan sosial.
Secara psikologis arogansi menghalangi orang untuk memeroleh informasi dari yang lain. Terkait hal ini, terdapat dua jenis arogansi. Pertama, arogansi lemah (weakly arrogant), orang tidak menyadari kesombongannya, tetapi apabila ditantang terbuka untuk dikoreksi. Kedua, arogansi kuat (strongly arrogant), orang menyadari kesombongannya dan mempertahankannya bahkan apabila ditantang.
Orang yang secara epistemik arogan dicirikan oleh kecenderungan untuk memeroleh hak dan pengecualian. Hak (entitlements) mengacu pada sikap menganggap diri sendiri mempunyai hak istimewa seperti posisi otoritas sosial dan intelektual. Orang yang secara epistemik arogan menilai diri sendiri mempunyai hak istimewa, kekuasaan, dan prioritas tertentu. Menurut Philip Quadrio, orang arogan gagal memenuhi persyaratan moralitas cendekiawan.
Pengecualian (exemption) mengacu pada sikap orang yang mengira bahwa ia dikecualikan dari persyaratan atau batasan tertentu. Orang yang arogan menganggap dirinya dikecualikan dari praktik atau prosedur tertentu yang berlaku untuk semua agen epistemik. Menganggap diri dikecualikan dari sikap untuk menghormati otoritas para ahli di bidang tertentu. Menilai diri sendiri kompeten untuk berdiskusi mengenai topik tertentu meskipun tidak memiliki pengetahuan yang memadai.
Konsekuensi yang lebih dalam dari perilaku arogan adalah mengikis norma epistemik yang mengatur komunitas epistemik. Dalam jangka pendek, perilaku arogan menjengkelkan dan sedikit mengganggu. Sedangkan dalam jangka panjang, perilaku arogan mengganggu dan meningkatkan tekanan pada norma. Menurut Ian James Kidd, ateis baru rentan terhadap tuduhan arogansi epistemik. Terdapat dua alasan yang mendasarinya.
Pertama, ateis baru menetapkan dan menegaskan konsepsi mengenai hakikat keyakinan religius tanpa merujuk pada literatur teologi, filsafat, dan ilmu sosial yang relevan. Selain itu, ateis baru tergantung pada catatan sejarah relasi antara sains dan agama yang oleh sejarawan disebut model konflik.
Kedua, ateis baru mengadopsi citra diri yang mendorong kemampuan intelektual dan integritas superlatif. Ateis baru mengklaim bahwa dirinya mempunyai sikap intelektual tanpa cela. Menganggap dirinya mampu menghadapi alam semesta dalam terang akal budi. Bebas dari subordinasi otoritas agama dan pencipta adikodrati.
Sumber Bacaan:
Kidd, Ian James. “Epistemic Vices in Public Debate: The Case of ‘New Atheism’.” Dalam Christopher R. Cotter, Philip Andrew Quadrio, dan Jonathan Tuckett (editor). New Atheism: Critical Perspectives and Contemporary Debates. Switzerland: Springer, 2017, hlm. 51-68.
Pigliucci, Massimo. “New Atheism and the Scientific Turn in the Atheism Movement.” Midwest Studies in Philosophy. Vol. XXXVII (2013), hlm. 142-153.