Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
Keberpihakan terhadap orang-orang miskin (preferential option for the poor), menjunjung tinggi martabat pribadi manusia (dignity of human person), dan pentingnya mengejawantahkan kebaikan bersama (common good) mendapat tekanan kuat dalam Ensiklik Laudato Si. Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila mengatakan bahwa Ensiklik yang ditulis Paus Fransiskus ini memberikan kontribusi besar dalam tradisi intelektual Katolik dan menjadi tuntunan praksis dalam kehidupan sehari-hari. Terkait hal ini, orang-orang miskin harus diperhatikan, karena mereka merupakan kelompok yang paling terdampak. Misalnya ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan atau pun terjadinya fenomena alam seperti perubahan iklim (climate change).
Perlu diketahui bahwa Laudato Si sejalan dengan alam pikiran teologi pembebasan (liberation theology) yang merupakan reaksi moral terhadap ketidakadilan sosial dan kemiskinan (social injustice and poverty). Allah dipandang sebagai Pribadi yang senantiasa berpihak kepada orang-orang yang tidak berdaya. Harus diakui bahwa para ilmuwan lingkungan dan pembuat kebijakan tidak merujuk pada konsep teologis di mana Allah berpihak terhadap orang-orang miskin serta tidak berdaya. Berhadapan dengan realitas tersebut, gagasan teologi pembebasan menawarkan ukuran praktis bagi para pembuat kebijakan ketika berhadapan dengan situasi dan kondisi sulit.
Paus Fransiskus dalam Laudato Si artikel 158 menulis demikian, dalam keadaan masyarakat global sekarang ini, dengan begitu banyak orang terpinggirkan, serta dirampas hak-hak asasinya, prinsip kesejahteraan umum, sebagai konsekuensi logis dan tak terelakkan, segera menjadi seruan kepada solidaritas dan pilihan preferensial untuk kaum miskin. Pilihan ini berarti menarik segala konsekuensi dari tujuan umum harta benda duniawi … hal ini pertama-tama meminta untuk memperhatikan martabat sangat besar orang miskin dalam terang keyakinan iman yang terdalam. Kita hanya perlu melihat realitas di sekitar kita untuk memahami bahwa pilihan ini sekarang menjadi tuntutan etis mendasar untuk mewujudkan kesejahteraan umum secara efektif.
Paus Fransiskus juga melihat minimnya rumah bagi masyarakat sebagai persoalan serius di desa atau pun di kota (Laudato Si, art. 152). Karena yang mengalami kesulitan untuk memiliki rumah bukan hanya orang-orang miskin, tetapi juga masyarakat lainnya. Memiliki rumah pada dasarnya terkait dengan rasa martabat pribadi (sense of personal dignity). Sehingga penting dalam sebuah kebijakan pada tataran pemerintah untuk menyediakan dan mengalokasikan sumber daya yang memungkinkan terutama bagi masyarakat miskin supaya dapat mempunyai rumah. Selanjutnya, Paus Fransiskus menekankan pentingnya memberikan perhatian terhadap masyarakat adat dan tradisi budaya mereka (Laudato Si, art. 146). Masyarakat adat tidak boleh dipandang sebagai minoritas, tetapi mitra dialog (dialogue partners). Mereka harus dilibatkan dalam dialog terutama ketika suatu kebijakan akan berdampak pada kehidupan mereka.
Paus Fransiskus memperluas pemahaman mengenai keberpihakan kepada orang-orang miskin dengan berpikir lintas waktu (thinking across time). Ketidakmampuan berpikir serius tentang generasi mendatang terkait dengan ketidakmampuan memperluas ruang lingkup dalam rangka memberikan perhatian bagi mereka yang dikucilkan. Oleh karena itu, kesejahteraan masyarakat pada masa ini dan masa mendatang harus diperhatikan dengan baik. Akhirnya, Laudato Si layak digunakan sebagai landasan untuk mengambil sebuah kebijakan yang berpihak kepada orang-orang miskin.
Sumber Bacaan:
Kolmes, Steven A. “Environmental Policy Choices: The Importance of the Preferential Option for the Poor in Laudato Si.” Environment: Science and Policy for Sustainable Development. Vol. 58, No. 3 (2016), hlm. 15-17.