Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
Melalui United Nations Conference of the Parties (COP21), 195 negara mengadopsi perjanjian iklim global (global climate agreement) yang mengikat secara universal dan hukum. Kesepakatan tersebut dikenal luas sebagai Perjanjian Iklim Paris (Paris Climate Agreement). Terkait hal ini, Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si mengemukakan bahwa persoalan lingkungan dilatarbelakangi oleh masalah keadilan sosial (social justice issues).
Berhadapan dengan berbagai macam persoalan lingkungan dan keadilan sosial, Ensiklik Laudato Si menawarkan suatu pendekatan ekologi yang tepat (true ecological approach) yang dimungkinkan melalui pendekatan sosial (social approach). Mengintegrasikan pertanyaan mengenai keadilan (justice) dengan perdebatan tentang lingkungan (debates on the environment). Namun, sejumlah kritikus Perjanjian Iklim Paris melihat bahwa usulan Paus Fransiskus terlalu lemah. Karena tidak memberikan hukuman (penalties) ketika ketidakpatuhan mengemuka.
Kyoto Protocol dianggap lebih tegas dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca. Meskipun demikian, Laudato Si artikel 211 menegaskan, adanya undang-undang dan aturan tidaklah cukup dalam jangka panjang untuk mengurangi perilaku buruk, bahkan ketika tersedia kontrol yang efektif. Agar peraturan hukum menghasilkan efek jangka panjang yang signifikan, sebagian besar anggota masyarakat harus menerimanya dengan motivasi yang tepat, dan menanggapinya berdasarkan suatu perubahan pribadi.
Uraian yang disampaikan Paus Fransiskus tersebut pada hakikatnya jauh lebih baik di antara beberapa gagasan yang diadopsi Perjanjian Iklim Paris. Karena Perjanjian Ilkim Paris dimaksudkan untuk memotivasi dan mengedukasi masyarakat supaya bersikap lebih baik di tengah lingkungan, bukan sekadar menegakkan hukum. Memberikan penjelasan kepada masyarakat secara komprehensif. Dengan kata lain, Perjanjian Iklim Paris lebih bersifat fasilitatif.
Melalui Ensiklik Laudato Si, Paus Fransiskus ingin memobilisasi tindakan pada tingkat lokal untuk menciptakan momentum global, yaitu United Nations Conference of the Parties (COP21). Terkait hal ini, Perjanjian Ilkim Paris memungkinkan tindakan tingkat lokal terejawantah dengan menyerukan bahwa pemangku kepentingan non-partai harus menangani dan menanggapi perubahan iklim. Upaya tersebut melibatkan masyarakat sipil, sektor swasta, lembaga keungan, kota, dan otoritas subnasional lainnya.
Beberapa bulan setelah Perjanjian Iklim Paris dikemukakan, sejumlah kota dan berbagai macam sektor bisnis mengindahkan seruan tersebut secara sukarela dengan menandatangani L’Appeal de Paris. Hal ini dilakukan untuk mendukung Perjanjian Iklim Paris. Sejumlah perusahaan yang memberikan dukungan yaitu Samsung, Adidas, Procter & Gamble, Barclays, dan Toshiba. Sedangkan sejumlah kota yang memberikan dukungan yaitu New York, Berlin, Hong Kong, Mexico City, dan Los Angeles. Janji sukarela tersebut dalam Laudato Si artikel 211 disebut sebagai komitmen ekologis tanpa pamrih (selfless ecological commitment).
Sumber Bacaan:
Eckmann, Ted C. “Revisiting Laudato Si in the Context of the COP21 Paris Climate Agreement.” Environment: Science and Policy for Sustainable Development. Vol. 58, No. 5 (2016), hlm. 39-42.