Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM

Menurut Michael Northcott (teolog politik Inggris), para ilmuwan iklim (climate scientists) meyakini bahwa teori, observasi, dan data mengenai perubahan iklim yang mereka kemukakan tidak ada kaitannya dengan pandangan dunia sosial, politik, dan sistem kepercayaan. Berhadapan dengan persoalan tersebut, Northcott menegaskan bahwa sains dan politik berpengaruh pada terjadinya perubahan iklim (climate change). Selain itu, perubahan iklim berhubungan dengan relasi antara manusia dan lingkungan. Bahkan pada tataran tertentu perubahan iklim dapat dikaji berdasarkan sudut pandang antropologis dan teologis.

Kehadiran sains di tengah ide-ide dominan dan individualisme kompetitif, pada hakikatnya tidak bisa melepaskan diri dari alam pikiran politis serta teologis. Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si menunjukkan bahwa kepentingan pribadi yang dijunjung tinggi menghalangi terejawantahnya pertobatan ekologis global (global ecological conversion). Oleh karena itu, Paus Fransiskus menentang berbagai macam bentuk kehidupan politik kontemporer yang tidak sehat.

Krisis ekologi (ecological crisis) terjadi karena manusia gagal menerima gagasan mengenai batasan (limits) dan kebenaran (truth) relasi dengan Pencipta serta ciptaan lainnya. Terkait hal ini, dinamika kehidupan politik dan ekonomi harus dipahami sebagai praktik cinta kasih yang substantif, bukan logika perampasan (logic of deprivation). Krisis ekologi juga disebabkan oleh penolakan terhadap kebaikan substantif dan menonjolkan libido dominandi.

Dalam ranah teologi politik (political theology), Paus Fransiskus berharap supaya refleksi teologi membuat masyarakat sungguh-sungguh mempunyai kesadaran. Kesadaran untuk melakukan tindakan konkret ketika berhadapan dengan penderitaan yang dialami oleh sesama dan ciptaan lainnya.

Umat Katolik yang konservatif, neoliberal, dan libertarian melihat Paus Fransiskus terlalu optimis terkait kapasitas masyarakat mengekspresikan kasih, kurang menentang kecenderungan menuju kecemasan apokaliptik, dan pesimis dengan teknologi serta pasar sebagai mekanisme pengentasan kemiskinan (poverty alleviation). Mereka juga menilai bahwa politik pascaliberal senang karena Laudato Si menilai krisis ekologi sebagai krisis liberalisme.

Terlepas dari berbagai macam kritik yang disampaikan kepada Paus Fransiskus, Laudato Si pada hakikatnya menekankan peran negara sebagai agen positif untuk menanggulangi krisis ekologi. Ensiklik ini juga memusatkan perhatian terhadap relasi antara doktrin dan hukum, pentingnya menekankan kategori keadilan kontributif serta timbal balik ke dalam ranah perdebatan mengenai kesejahteraan dan kotrak sosial (welfare and social contract). Bahkan Laudato Si juga mengkritisi bentuk politik hijau (green politics).

Politik hijau digambarkan Paus Fransiskus sebagai ruang hijau berpagar yang tenang (tranquil) dan mengecualikan diri daripada merangkul yang lain. Sehingga tidak mengherankan apabila politik hijau mengecualikan diri dari persoalan kemiskinan, keadilan, kekuasaan, dan perdamaian. Oleh karena itu, politik kontemporer seperti politik hijau harus ditinjau ulang. Meskipun demikian, Laudato Si tidak membabtis bentuk politik tertentu.

Laudato Si dimaksudkan Paus Fransiskus untuk membuka ruang dialog universal. Selain doktrin Katolik, Paus Fransiskus merujuk pada literatur Ortodoks Timur dan filsafat sekuler (secular philosophy). Harus diakui bahwa Laudato Si tidak kenal kompromi untuk melakukan pembaharuan politik dengan merujuk teologi Kristen mengenai relasi manusia dengan Pencipta dan ciptaan lainnya.

Paus Fransiskus dalam Laudato Si menunjukkan realitas penderitaan orang miskin, kerapuhan planet, segala sesuatu yang ada di dunia saling terhubung, kekuasaan melalui teknologi, ekonomi dan kemajuan, ekologi manusia, kebijakan internasional dan lokal, dan budaya membuang. Akhirnya, Paus Fransiskus menyarankan supaya teologi politik berdialog dengan berbagai macam persoalan yang ada dalam upaya mengatasi krisis ekologi.

Sumber Bacaan:

Rowlands, Anna. “Laudato Si: Rethinking Politics.” Political Theology. Vol. 16, No. 5 (2015), hlm. 418-420.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here