Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM

1. Pengantar

Liturgi adalah perayaan misteri Kristus, dan secara khusus misteri kebangkitan-Nya. Dengan melaksanakan imamat Yesus Kristus, liturgi menyatakan dalam tanda-tanda dan membawa pengudusan bagi umat manusia. Penghormatan kepada Allah dilaksanakan oleh Tubuh Mistik Kristus, yaitu kepala dan para anggota-Nya.[1] Berdasarkan uraian pengertian liturgi menurut Kompendium Katekismus Gereja Katolik nomor 218, penulis akan menguraikan empat pokok. Pertama, Pengertian Liturgi. Kedua, Misteri, Tanda, Lambang, dan Simbol dalam Liturgi. Ketiga, Imamat Yesus Kristus, Uskup, dan Imam. Keempat, Tubuh Mistik Yesus Kristus dan Para Pelayan dalam Perayaan Liturgi.

2. Pengertian Liturgi

2.1 Pengertian Liturgi Secara Umum

Kata “liturgi” berasal dari bahasa Yunani leitourgia. Kata leitourgia terbentuk dari akar kata ergon, yang berarti ‘karya’, dan leitos, yang merupakan kata sifat untuk kata benda laos (=bangsa). Secara harafiah, leitourgia berarti ‘kerja’ atau ‘pelayanan yang dibaktikan bagi kepentingan bangsa’.[2] Sejak abad II SM liturgi mendapat arti kultis, mengacu pada pelayanan ibadat.[3] Perjanjian Baru memaknai liturgi sebagai pelayanan kepada Allah dan sesama, dalam bentuk ibadat dan dalam bentuk yang lain. Sejak Abad Pertengahan, pemahaman mengenai liturgi dipersempit hanya untuk Perayaan Ekaristi. Sebelumnya, pada masa pasca para rasul, liturgi dipahami sebagai kegiatan ibadat dan doa dalam arti yang luas. Sedangkan dalam Konstitusi Konsili Vatikan II tentang Litugi Suci, liturgi dilihat sebagai pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus, di situ pengudusan manusia dilambangkan dengan tanda-tanda lahir serta dilaksanakan dengan cara yang khas bagi masing-masing, di situ pula dilaksanakan ibadat umum yang seutuhnya oleh Tubuh mistik Yesus Kristus, yakni Kepala beserta anggotanya.[4] Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa, seiring dengan berjalannya waktu pemahaman mengenai liturgi mengalami perubahan, diperluas dan dipersempit.

Di kalangan umat, “liturgi” dipahami sebagai upacara atau ibadat publik Gereja. Ketika membicarakan tema tentang liturgi, kebanyakan umat berpikir mengenai urutan upacara, para petugas, peralatan yang harus ada, dan sebagainya. Umat memahami liturgi sebatas upacara dan aturan yang dilaksanakan dalam ibadat bersama. Kemudian muncul sebuah pertanyaan, apakah liturgi hanya berkaitan dengan aturan, makna-makna simbolis, dan upacara ibadat? Perlu diketahui bahwa liturgi bukan kumpulan aturan beribadat. Meskipun hal tersebut penting, tetapi belum menyentuh makna dan hakikat liturgi yang sesungguhnya. Oleh karena itu, penulis merumuskan pengertian dan definisi liturgi sebagai berikut. Liturgi adalah perayaan misteri karya keselamatan Allah dalam Kristus, yang dilaksanakan oleh Yesus Kristus, Sang Imam Agung, bersama Gereja-Nya di dalam ikatan Roh Kudus.

2.2 Perayaan dan Upacara dalam Liturgi

Paham liturgi sebagai upacara sudah ketinggalan, karena liturgi adalah perayaan iman. Oleh karena itu, liturgi harus dipersiapkan dengan iman yang hidup.[5] Melibatkan seluruh kepribadian kita sebagai orang beriman, meliputi konsekuensi dan pengamalannya. Dalam hal ini, kebenaran iman kita harus nampak dalam hidup orang-orang Kristen. Liturgi harus diungkapkan, dihayati, dan menjadi kenyataan dalam hidup orang-orang Kristen.[6] Lewat hidup ini, mereka senantiasa berhubungan dengan Kristus dan berusaha membawanya kepada Kristus lewat teladan serta perkataan mereka.

3. Misteri, Tanda, Lambang, dan Simbol dalam Liturgi

3.1 Sekilas Tentang Misteri[7]

Misteri adalah rencana kasih Allah bagi keselamatan manusia yang dinyatakan dalam Kristus. Dari satu pihak misteri itu diwahyukan secara penuh dalam Kristus. Dari pihak lain kenyataan bahwa Allah yang penuh misteri itu mengatasi budi dan pemahaman manusia. Meskipun Allah disebut dengan berbagai macam nama. Namun, akhirnya Allah tidak dapat diberi nama. Dengan demikian, bukan budi manusia yang menanggapi Allah, melainkan kemuliaan Ilahi yang merangkul kita. Teologi dan ajaran resmi Gereja sekarang ini menekankan kesatuan pewahyuan diri Allah. Karl Rahner (1904-1984), Konsili Vatikan II, dan ensiklik-ensiklik Paus Yohanes Paulus II mendukung pemakaian istilah “Misteri” daripada “misteri-misteri” Ilahi.

3.2 Makna Tanda, Lambang, dan Simbol dalam Liturgi

Simbol dan tanda dalam liturgi digunakan untuk memperlihatkan ciri utama liturgi, sebagai sarana pertemuan antara Allah dan manusia.[8] Sebagai karya umat, sebagai ibadat yang benar, dan sebagai tanda kultural. Karena liturgi adalah perwujudan hakikat Gereja sebagai sakramen karya keselamatan dan pusat seluruh kehidupan Gereja. Simbol utama dalam liturgi berupa pertemuan umat beriman yang memperlihatkan umat Allah yang dipanggil, dikumpulkan, dan dipilih bagi karya penebusan Kristus dan pemuliaan Allah. Dengan berkumpulnya umat dari pelbagai suku, keluarga-keluarga, dan status sosial yang berbeda mengungkapkan karya Allah yang mempersatukan semua orang untuk keselamatan. Demikian pula kehadiran pimpinan dalam perayaan liturgi (uskup dan imam) mengungkapkan kehadiran Kristus sendiri sebagai kepala Gereja.[9]

4. Imamat Yesus Kristus, Uskup, dan Imam

Imamat Yesus Kristus mempunyai kekhasan. Dalam diri Yesus Kristus, yang mempersembahkan dan yang dipersembahkan adalah identik dan sama, yaitu diri-Nya sendiri.[10] Sebab Ia adalah Pengantara dari suatu perjanjian yang baru, supaya mereka yang telah terpanggil dapat menerima bagian kekal yang dijanjikan, sebab Ia telah mati untuk menebus pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan selama perjanjian yang pertama (Ibrani 9:15). Sejak itu tidak ada lagi imamat lain selain imamat Yesus Kristus yang merupakan satu-satunya imamat Perjanjian Baru. Seluruh hidup Yesus menjadi ibadat dan persembahan yang memuncak dalam persembahan berdarah-Nya di salib. Pada gilirannya seluruh imamat yang ada dalam Gereja hanya selalu merupakan partisipasi dalam imamat Yesus Kristus dan menghadirkan satu-satunya imamat Yesus Kristus itu. Namun, tentu saja Perjanjian Baru mengenal suatu susunan atau struktur pelayanan dan kepemimpinan Gereja. Seluruh imamat Gereja selalu berpartisipasi dengan caranya masing-masing ke dalam imamat Kristus yang satu dan sama serta menghadirkan-Nya.

Uskup dan imam adalah pelayan tertahbis yang mempunyai tugas dan wewenang.[11] Tugas dan wewenang uskup yaitu mewartakan Injil sebagai guru dan pengajar iman, menahbiskan (menahbiskan uskup, imam, dan diakon), melayani sakramen krisma, memimpin suatu keuskupan (apabila ia seorang uskup dioses atau ordinaris suatu keuskupan), ikut serta dalam kepemimpinan seluruh Gereja bersama paus dan kolegium para uskup. Sedangkan tugas dan wewenang imam yaitu mewartakan Injil, merayakan perayaan-perayaan sakramen (terutama Ekaristi), dan pelayanan reksa pastoral yang dipercayakan oleh uskup kepadanya dalam suatu daerah atau tugas tertentu.

5. Tubuh Mistik Yesus Kristus dan Para Pelayan dalam Perayaan Liturgi

5.1 Tubuh Mistik Yesus Kristus

Tubuh mistik Yesus Kristus merupakan istilah untuk menyebut tubuh manusiawi Yesus, Kristus yang bangkit dan hadir dalam Ekaristi, dan Gereja yang terdiri dari orang-orang yang dipersatukan dengan-Nya melalui pembaptisan dan Roh Kudus.[12] Melalui pembaptisan Allah sendiri menjadikan seseorang sebagai anggota Gereja, karena belas kasih-Nya yang besar. Dengan demikian, orang-orang yang dibaptis menjadi serupa dengan Kristus dan mengambil bagian dalam tugas Kristus sebagai nabi, raja, dan imam.

5.2 Uskup, Imam, dan Diakon Sebagai Pelayan dalam Perayaan Liturgi

Uskup, imam, dan diakon disebut sebagai pelayan dalam perayaan liturgi. Karena ciri kepemimpinan Gereja perdana (kepemimpinan dan segala jabatan dalam jemaat Kristiani) dipandang sebagai fungsi pelayanan bagi pembangunan Gereja.[13] Fungsi pelayanan itu terutama mencakup hal penggembalaan, pewartaan sabda, dan pelayanan doa atau liturgi. Semua jabatan pelayanan jemaat harus selalu dilihat dalam hubungannya dengan Yesus Kristus sebagai satu-satunya Gembala, Nabi, dan Imam Perjanjian Baru. Perlu ditegaskan disini, bahwa dalam masa Perjanjian Baru ini belum ada model pelayan tertahbis seperti kita kenal sekarang. Kini tugas pelayanan Gereja dilihat sebagai nabi, raja, dan imam.

5.3 Pemimpin Perayaan Liturgi dan Actuosa Participatio (Partisipasi Aktif) Umat

Pelayan yang selaku pribadi Kristus dapat melaksanakan Sakramen Ekaristi hanyalah imam yang ditahbiskan secara sah.[14] Dengan demikian, tanpa imam Sakramen Ekaristi tidak dapat dirayakan. Namun, Konsili Vatikan II menekankan actuosa participatio dari seluruh umat beriman.[15] Semua orang (pelayan tertahbis dan tidak tertahbis) hendaknya melaksanakan tugas yang menjadi bagiannya. Beberapa pelayan yang tidak tertahbis yaitu penyambut jemaat, lektor, pelayan altar, misdinar, dirigen, pemazmur, kor, solis, kolektan, pembawa persembahan, dan prodiakon. Demi kebaikan bersama maka para petugas harus dipersiapkan dengan baik.[16] Harus dipilih tidak berdasarkan kelayakan secara duniawi atau sekedar mengisi. Perlu orang yang mampu dan bersemangat pengabdian menurut kharisma yang disadari serta diterima oleh umat.

6. Penutup

Liturgi adalah perayaan misteri karya keselamatan Allah dalam Kristus. Karya keselamatan Allah dilaksanakan oleh Yesus Kristus (Sang Imam Agung) bersama Gereja-Nya dalam ikatan Roh Kudus. Dalam liturgi tampillah Gereja menurut dirinya, yakni umat beriman yang dipanggil dan dipilih oleh Allah melalui Kristus dan dalam Roh Kudus untuk bersama-sama merayakan dan menikmati karya penebusan Kristus. Prinsip dasar yang membuat umat beriman menjadi anggota Gereja dalam liturgi, bukan karena diri umat itu pantas, melainkan karena Kristus yang hadir dalam liturgi itu. Kristus yang hadir itulah yang memanggil, memilih, dan mengumpulkan umat dalam suatu pertemuan bagi pengudusan manusia dan pemuliaan Allah.

Sumber Bacaan:

Crichton, J.D. Perayaan Sakramen. Yogyakarta: Kanisius, 1990.

Cunha, Bosco da. Pastoral Liturgi: Bimbingan Bagi Para Pelaksana Liturgi. Malang: Dioma, 1986.

Martasudjita, E. Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah, dan Teologi Liturgi. Yogyakarta: Kanisius, 1999.

O’Collins, Geral dan Edward G. Farrugia. Kamus Teologi. Penerj. I. Suharyo. Yogyakarta: Kanisius, 1996.

Tarigan, Jacobus. Memahami Liturgi. Jakarta: Cahaya Pineleng, 2011.

[1] Kompendium Katekismus Gereja Katolik, no. 218.

[2] E. Martasudjita, Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah, dan Teologi Liturgi (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 18.

[3] Jacobus Tarigan, Memahami Liturgi (Jakarta: Cahaya Pineleng, 2011), 2-3.

[4] Sacrosanctum Concilium, no. 2.

[5] Jacobus Tarigan, Memahami Liturgi, 160.

[6] J.D. Crichton, Perayaan Sakramen (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 26.

[7] Pembahasan pada bagian ini disarikan dari Geral O’Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, Penerj. I. Suharyo (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 201.

[8] Jacobus Tarigan, Memahami Liturgi, 95.

[9] Ia hadir dalam Kurban Misa, baik dalam pribadi pelayan, karena yang sekarang mempersembahkan diri melalui pelayanan imam sama saja dengan Dia yang ketika itu mengorbankan Diri di kayu salib, maupun terutama dalam rupa Ekaristi. Lih. Sacrosanctum Concilium, no. 7.

[10] E. Martasudjita, Pengantar Liturgi: …, 217.

[11] Dengan kekuasaan kudus yang ada padanya imam pejabat membentuk dan memimpin umat keimaman. Ia menyelenggarakan kurban Ekaristi atas nama Kristus, dan mempersembahkannya kepada Allah atas nama segenap umat. Lih. Lumen Gentium, no. 10.

[12] Geral O’Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, 341-342.

[13] E. Martasudjita, Pengantar Liturgi: …, 214.

[14] Kitab Hukum Kanonik, no. 900.

[15] Konsili Vatikan II juga menegaskan actuosa participatio (partisipasi aktif) seluruh umat beriman yang merupakan hak dan kewajiban umat sebagai bangsa terpilih, imamat rajawi, bangsa yang kudus, dan umat kepunyaan Allah sendiri. Lih. Sacrosanctum Concilium, no. 14.

[16] Bosco da Cunha, Pastoral Liturgi: Bimbingan Bagi Para Pelaksana Liturgi (Malang: Dioma, 1986), 48.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here