Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM

1. Pengantar

Yesus Kristus merupakan pilar utama iman Kristiani. Dengan kata lain, misteri Yesus Kristus merupakan unsur konstitutif pengalaman orang Kristiani akan keselamatan, secara khusus dalam kehidupan para pengikut-Nya.[1] Selain itu, melalui sabda dan tindakan-Nya, Yesus Kristus menjadi pribadi kunci dalam penghayatan iman Kristiani yang Injili. Hal ini berkaitan dengan jati diri Yesus Kristus dalam membangun relasi dengan umat beriman, kolektif atau pun individual. Supaya dapat memahami proses memadukan praksis pembebasan dengan dialog antaragama dalam rangka membangun komunitas inklusif, penulis menguraikan tulisan ini menjadi tiga bagian. Pertama, Tantangan Hidup Beriman di Indonesia dan Asia. Kedua, Refleksi Kristologis Berdasarkan Realitas Masyarakat Indonesia dan Asia. Ketiga, Bersikap Terbuka dalam Membangun Dialog Profetik di Indonesia dan Asia.

2. Tantangan Hidup Beriman di Indonesia dan Asia

Konteks hidup masyarakat Indonesia dan Asia ditandai dengan berbagai macam penderitaan.[2] Hal ini terjadi karena menjamurnya relasi distortif antarmanusia. Oleh karena itu, kemiskinan, pelecehan hak asasi manusia, dan ketidakseriusan mengendalikan perkembangan negatif tersebut semakin meluas. Akibatnya, orang Kristiani tidak pernah beriman di lingkungan yang netral. Sadar atau tidak sadar, menjadi orang Kristen berarti membuka diri dan terlibat dalam gerak “inkarnasi” Allah,[3] hadir dan menjumpai manusia di dunia.

2.1 Wajah Dunia yang Menderita

Selain kemajuan ilmu dan teknologi serta wajah mewah kota besar, mayoritas masyarakat Indonesia dan Asia hidup di bawah bayang-bayang penderitaan, kemiskinan dan peminggiran.[4] Tidak hanya berkaitan dengan “pendapatan” yang rendah, kemiskinan saat ini terlukiskan dalam realitas kesehatan dan pendidikan yang kurang baik. Karena perkembangan pengetahuan dan komunikasi dinikmati oleh sebagian masyarakat. Selain itu, perjuangan hak asasi manusia dan hak berpartisipasi dalam kehidupan politik lemah. Termasuk kendornya rasa bermartabat sebagai manusia, meliputi kepercayaan diri dan hormat pada diri sendiri. Peminggiran dan kemiskinan diperburuk oleh kerusakan lingkungan hidup. Tragedi tersebut menjadi rajutan yang menjerat dan menghasilkan wajah manusia yang muram, patah harapan dan dingin.

Penjelasan tentang peminggiran dan kemiskinan global dapat diakses dengan mudah. Misalnya Sergio Bernal menggambarkannya dengan merujuk pada United Nations Development Program.[5] Perlu diketahui bahwa dari satu milyar orang, tiga ratus juta orang pendapatannya tidak lebih dari satu dollar. Berdasarkan data tersebut, sembilan ratus lima puluh juta orang hidup di Asia, dua ratus dua puluh juta orang hidup di Afrika sub-sahara, dan seratus sepuluh juta orang hidup di Amarika Latin dan Karibia.  Hidup mereka disertai dengan kelangkaan untuk mendapatkan air bersih, pelayanan kesehatan dan gizi yang layak. Selain itu, di negara industri maju, lebih dari seratus juta orang hidup dalam situasi kemiskinan absolut. Tiga puluh juta orang diantaranya tuna wisma.

Ada yang melukiskan secara lain, kemiskinan dewasa ini berwajah perempuan dengan anak-anak yang bergantung pada mereka.[6] Hal ini terjadi karena kemiskinan menghantam kaum perempuan. Tujuh puluh persen dari jumlah keseluruhan yang miskin dan dua pertiga adalah perempuan buta huruf. Selain itu, seratus enam puluh juta anak hidup dalam kondisi kekurangan gizi dan seratus juta anak miskin tidak mengenyam pendidikan formal.

Data kemiskinan tersebut mengindikasikan keterpecahan manusia.[7] Misalnya dua puluh persen dari penduduk dunia yang paling kaya menguasai delapan puluh enam persen dari seluruh pendapatan kotor. Sedangkan dua puluh persen dari yang paling miskin tidak sampai menikmati satu persen darinya. Seperlima dari penduduk yang paling kaya mengkonsumsi empat puluh lima persen daging dan ikan yang dipasarkan. Sedangkan seperlima dari yang paling miskin hanya dapat mengkonsumsi lima persen darinya.

Seperlima dari yang paling kaya menghabiskan lima puluh delapan persen energi yang tersedia. Sedangkan seperlima yang paling miskin hanya empat persen darinya. Seperlima yang paling kaya memakai tujuh puluh empat persen jaringan telepon. Sedangkan seperlima dari yang paling miskin hanya satu setengah persen darinya. Proses globalisasi yang sebenarnya dapat memajukan dan menyatukan manusia, justru membuahkan eksklusi dan peminggiran masyarakat miskin.[8]

2.2 Keragaman Agama dan Kepercayaan

Realitas menunjukkan bahwa kehidupan di Indonesia dan Asia diwarnai ketegangan dan keterancaman terkait dengan relasi antaragama dan kepercayaan.[9] Terjadi konflik antara Hindu dan Sikh, Hindu dan Muslim, Yahudi dan Muslim. Perlu diketahui bahwa orang Kristen pernah menganiaya orang Yahudi dan berperang melawan pemeluk agama Islam. Ironisnya, di antara pemeluk agama Kristen sendiri terjadi ketegangan, kesalahpahaman, dan peperangan. Misalnya konflik antara Protestan dan Katolik.

Orang Kristen merupakan minoritas dari masyarakat Indonesia dan Asia. Tetapi memiliki peran yang tidak dapat diabaikan, mempunyai pengaruh yang luas. Kemudian muncul pertanyaan berkaitan dengan realitas kemiskinan dan ketegangan antaragama yang terjadi di Indonesia dan Asia, konflik di Irlandia Utara, Afganistan, Korea Utara dan Irak. Kabar Gembira dan harapan seperti apa yang ditawarkan orang Kristen dewasa ini? Oleh karena itu, perlu ditegaskan bahwa refleksi kristologis yang berangkat dari konteks Indonesia dan Asia harus mempertimbangkan pentingnya dialog antaragama.[10] Bagaimana orang Kristiani beriman kepada Yesus Kristus dan sekaligus terbuka terhadap agama lain?[11]

Berdasarkan perspektif para korban ketidakadilan, pemihakan kepada mereka harus menjadi ukuran keseriusan upaya dialog profetik antaragama. Bagaimana hal ini dijelaskan? Pertama, orang miskin dan terpinggir bukan satu-satunya realitas dunia dewasa ini.[12] Tetapi sejauh mereka belum diperhitungkan dan diperhatikan, pembicaraan tentang dunia masa kini hanya bersifat superfisial. Oleh karena itu, refleksi kritis atas iman tidak pernah terjadi di ruang hampa. Jon Sobrino (teolog pembebasan dari El Salvador) menegaskan,[13] jika tidak memperhitungkan kenyataan dasar dunia para korban, maka teologi berada dalam bahaya jatuh ke dalam doketisme.[14]

`Kedua, di Indonesia dan Asia kemiskinan serta peminggiran menyentuh kehidupan umat beriman yang memeluk agama-agama besar non-Kristen seperti Islam, Buddha, Hindu, dan Kong Hu Cu.[15] Oleh karena itu, sebagian besar yang mengalami kemiskinan adalah umat beriman. Tetapi yang lebih penting yaitu bahwa kemiskinan menjadi tantangan bagi semua orang yang mengimani relasi antara ciptaan dan Sang Pencipta.

3. Refleksi Kristologis Berdasarkan Realitas Masyarakat Indonesia dan Asia

3.1 Kesadaran Manusia Berkembang

Sampai periode Abad Kedua Puluh, refleksi kristologis dalam lingkungan Gereja Katolik didominasi kategori ontologis periode Skolastik.[16] Namun, sejak awal Abad Kedua Puluh, teologi mengangkat kembali kemanusiaan Yesus Kristus.[17] Mengenangkan kisah hidup dan mewujudkan daya pembebasan-Nya yang oleh teologi pembebasan disebut sebagai upaya pembelaan bagi orang miskin dan terpinggir.[18] Menunjukkan efektivitas daya penyelamatan Yesus Kristus bagi manusia dan dunia. Oleh karena itu, gelombang refleksi yang berciri inkarnatoris dan advokatif berkembang di Afrika, Amerika Latin, dan Asia.

Sejak periode Pencerahan, perkembangan kesadaran dan intelektualitas manusia membuahkan pemikiran baru dalam kristologi. Terdapat tiga situasi penting yang menuntut refleksi kristologis dan tindakan iman untuk menggerakkan umat Allah, memihak “para korban” marginalisasi. Pertama, Immanuel Kant menegaskan bahwa pribadi manusia merupakan subjek yang bebas dan individu yang berkembang.[19] Oleh karena itu, pengalaman menentukan proses pembentukan pengetahuan manusia. Selain itu, kesadaran diri manusia sebagai subjek memunculkan ketertarikan pada sejarah dan metode pendekatan historis.

Periode Pencerahan bersikap kritis terhadap dominasi teologi Skolastik yang menggunakan kategori ontologis untuk mengkonstruksi pemikirannya.[20] Berangkat dari kesadaran baru sebagaimana dicetuskan Immanuel Kant, refleksi tentang Yesus Kristus sebagai tokoh historis berkembang. Kemudian muncul pertanyaan berkaitan dengan pengalaman para murid yang meneruskan iman akan pewahyuan Allah dalam diri Yesus Kristus dalam kaitannya dengan para pengikut Yesus Kristus saat ini.

Kedua, pengalaman manusia modern ditandai berbagai macam realitas negatif yang berulang.[21] Misalnya perang dunia yang terjadi dua kali, pembantaian orang Yahudi oleh rezim Adolf Hitler, kolonialisme global, globalisasi ekonomi kapitalistik, praktek penyiksaan sistematik, represi politis seperti sistem Apartheid di Afrika Selatan, perusakan ekologis, ancaman perang modern, dan bencana nuklir. Hal ini membuat orang semakin sadar bahwa baik irasionalitas dan keadaan patologis yang melanda manusia modern secara individual maupun kolektif telah mempengaruhi cara berpikir dan keadaan lingkungan hidupnya.

Berangkat dari realitas tersebut, refleksi tentang Yesus Kristus yang mewartakan Kerajaan Allah, termasuk implikasi sosial-politisnya berkembang.[22] Salib menjadi relevan dan menjelaskan kualitas ketaatan iman Yesus Kristus kepada Allah “Bapa” yang penuh belas kasih. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tindakan mengikuti Yesus Kristus menentukan kedalaman pengenalan seseorang terhadap Yesus Kristus. Selain itu, Kabar Gembira bahwa Allah hadir untuk menyelamatkan manusia mendapatkan bobot khusus.[23]

Ketiga, globalisasi menyatukan dunia menjadi desa kecil.[24] Segala sesuatu dapat dijangkau dengan mudah dan gerak hidup setiap orang serta kelompoknya berpengaruh pada yang lain dan saling tergantung.[25] Tetapi hal ini tidak hanya berhubungan dengan sesuatu yang konstruktif, tetapi juga yang bersifat destruktif. Misalnya kemajuan perangkat telekomunikasi dan senjata pemusnah massal, kuasa membela keadilan dan kehidupan atau pun yang “memuja kematian”, usaha memacu perkembangan sejarah ke arah perdamaian atau pun sikap tidak peduli dan anti kebaikan bersama. Situasi tersebut membuahkan kesadaran di antara pemeluk agama bahwa agama lain mempunyai kebijaksanaan hidup dalam menanggapi kematian.

Berangkat dari kesadaran tersebut, tidak hanya keunikan Yesus Kristus Sang Juru Selamat yang direfleksikan, melainkan juga kemungkinan “mengamini” bahwa pewahyuan Allah kepada umat beriman yang lain merupakan “rahmat”.[26] Bagian dari misteri kerahiman Allah dan kekuatan penting bagi perwujudan Kerajaan Allah di dunia. Perlu diketahui bahwa rentetan pertanyaan kristologis di atas tidak dimaksudkan untuk menstimulasi proses berspekulasi, demi diskusi yang relevan. Tetapi untuk memberi dasar pijakan komitmen dan tindakan iman yang tanggap terhadap suara para korban, apa pun agamanya.

3.2 Refleksi Kristologis Berdasarkan Realitas Kehidupan Masyarakat

3.2.1 Mengutamakan Praksis dalam Kehidupan Sehari-Hari

Bagi masyarakat Indonesia dan Asia pada umumnya, keberadaan Allah tidak dipersoalkan seperti di Barat, secara khusus berkaitan dengan ateisme[27] dan masalah kejahatan[28]. Dalam konteks masyarakat Indonesia dan Asia, pertanyaan yang lebih penting berkaitan dengan Allah yang hadir dan bertindak di dunia ditandai penderitaan, kemiskinan, dan ketegangan antaragama. Berdasarkan perspektif kristologi, pertanyaan yang mendesak dewasa ini pertama-tama bukan tentang pribadi Yesus Kristus. Tetapi tentang upaya dan tujuan yang ingin dicapai Yesus Kristus di tengah masyarakat yang ditandai realitas ketidakadilan, kemiskinan, dan marginalisasi terhadap yang lemah, sakit, dan berdosa.[29] Sehingga Yesus Kristus mempertaruhkan segala sesuatu, bahkan hidup-Nya sendiri. Siapakah sasaran utama pewartaan Kabar Gembira tentang tahun rahmat Tuhan dan Kerajaan Allah?[30]

Penting untuk disadari bahwa setiap jawaban atas pertanyaan tersebut, dalam benak umat beriman dibangkitkan sebuah gambaran tentang Allah, secara khusus tentang Yesus Kristus. Gambaran tersebut mencerminkan isi iman yang dihayati dan komitmen iman yang akan terwujud dalam tindakan. Manakah gambaran Yesus Kristus yang mengungkapkan nilai yang diperjuangkan sampai akhir hayat-Nya dan diterima Allah dengan membangkitkan Yesus? Gambaran religius seperti apa yang memberi wajah kepada iman kita, sehingga menggerakkan upaya perwujudan isi iman?

Terdapat dua catatan yang harus diperhatikan. Pertama, Jon Sobrino mengusulkan gambaran Yesus Kristus sebagai “pembebas”, berbelarasa kepada mereka yang miskin dan tersingkir.[31] Gambaran ini tidak hanya menjawab realitas para korban, tetapi dimaksudkan untuk menguji dan menantang gambaran lain tentang Yesus Kristus. Misalnya Yesus Kristus sebagai penguasa semesta, pendamai, yang absolut, dan sang cinta. Manakah gambaran yang mengangkat penderitaan para korban? Dalam penjelasannya tentang “rakyat yang tersalib”, Sobrino membeberkan alasannya yang lebih mendasar.[32]

Kedua, Paul Knitter menjelaskan gambaran religius (religious imagination) yang memberi wajah kepada iman kita.[33] Tidak hanya menggerakkan orang untuk mengupayakan perwujudan isi iman, tetapi membantu umat beriman menjadikan kisah hidup Yesus Kristus sebagai kisah hidupnya sendiri. Menumbuhkan sikap terbuka terhadap kebijaksanaan agama lain dan melibatkan diri dalam dialog antaragama.[34]

3.2.2 Allah Bapa dalam Hidup Yesus Kristus

Allah sebagai Bapa yang berbelas kasih ditemukan dan dialami Yesus Kristus di tengah realitas masyarakat sekitar 2000 tahun yang lalu.[35] Dalam perjumpaan yang transformatif dan menggerakkan tersebut, Yesus Kristus terlibat dalam pewartaan “Kabar Gembira”. Oleh karena itu, Allah yang berbelas kasih diwartakan dalam kata dan tindakan Yesus Kristus. Sehingga orang-orang sezaman-Nya mengalami kehadiran dan kuasa Allah secara nyata. Dengan demikian, mulai dari Galilea sampai saat ini umat beriman masih mendengarkan bahwa “Waktunya telah genap, kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (Mrk 1:15).

Perlu diketahui bahwa orang yang paling tersingkir dan tertindas merupakan alamat utama pewartaan Kabar Gembira Yesus Kristus.[36] Bagi para murid dan umat beriman, Yesus Kristus menghadirkan Allah Sang Pembebas yang setia. Memanggil Abraham dan membawa keluar orang Israel dari perbudakan di Mesir. Oleh karena itu, nabi Yesaya menegaskan “Roh Tuhan ada padaKu, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (Yes 61:1-2).

Peristiwa, hidup, dan karya Yesus Kristus menegaskan bahwa Allah yang baik, pembebas, dan berbelas kasih adalah Allah yang dijumpai di dunia.[37] Dengan kata lain, dari perspektif iman Kristiani atau iman yang berpangkal pada Yesus Kristus, percaya dan mengenal Allah secara dekat berarti mengimani Allah yang dijumpai Yesus Kristus. Allah yang dalam misteri-Nya yang agung mengutamakan orang yang tersingkir dan miskin.

3.2.3 Kabar Gembira dari Salib Yesus Kristus

Pewartaan Perjanjian Baru mengemukakan Yesus Kristus yang memiliki relasi konstitutif dengan Kerajaan Allah.[38] Yesus Kristus selalu berada dalam relasi dengan Allah, dengan keyakinan absolut yang disebut-Nya sebagai Bapa. Selain itu, Yesus Kristus senantiasa menunjukkan kesiapsediaan di hadapan Allah Bapa. Dalam kehidupan Yesus Kristus, godaan adalah iklim internal dan penganiayaan merupakan iklim eksternal. Namun, Yesus Kristus tetap setia kepada Allah Bapa dalam melestarikan Kerajaan Allah, secara khusus berada di antara orang miskin dan tertindas. Oleh karena itu, Yesus Kristus menjadi Kabar Gembira bagi mereka yang berjalan bersama Yesus Kristus. Para murid kemudian mewartakan wafat dan kebangkitan Yesus Kristus secara terus terang (Kis 2:22-23). Pewartaan tersebut menandai permulaan relasi baru dengan Yesus Kristus yang bangkit, hidup, dan bertindak.[39]

Yesus Kristus adalah “Sang Pembebas yang berbelarasa”.[40] Hal ini dilakukan Yesus Kristus dengan bersikap taat kepada Allah Bapa sampai wafat di kayu salib. Gambaran Yesus Kristus berakar dalam pengalaman umat Kristiani awal (sejauh diungkapkan dalam Injil), dijiwai gerakan Roh Gereja Vatikan II, membuka diri terhadap suka-duka dan perjuangan manusia serta diterangi realitas penderitaan masyarakat dunia dewasa ini. Seperti kehidupan komunitas basis Gerejawi dan manusiawi di Amerika Latin dan Asia yang dinamis, cara menggereja “baru” yang tanggap terhadap situasi masyarakat. Gambaran Yesus Kristus Sang Pembebas yang tersalib menyemangati mereka untuk mengikuti jejak-Nya dan memberikan harapan serta makna hidup.

Drama penderitaan orang-orang yang miskin dan tersingkir memberi terang istimewa untuk memahami hidup dan penderitaan Yesus Kristus. Oleh karena itu, mereka disebut sebagai “rakyat yang tersalib”.[41] Orang Kristen dapat belajar memahami dan menghayati nilai dan makna Kerajaan Allah dari “rakyat yang tersalib”, yaitu mereka yang kecil, lemah, miskin, dan tersingkir.[42] Karena mereka adalah empunya Kerajaan Allah (Mat 5:3).[43] Terdapat tiga alasan mendasar untuk menjelaskan pernyataan teologis tersebut.

Pertama, secara metodologis, realitas sejarah tentang orang miskin dan terpinggir menampakkan tanda-tanda “pewahyuan”.[44] Realitas orang miskin dan terpinggir membuka sisi penderitaan yang manusiawi dan Ilahi, terutama bagi orang-orang yang mengimani Yesus Kristus. Oleh karena itu, manusia dengan struktur sosial-politik yang dirancang tidak hanya menghasilkan kemajuan tetapi kemiskinan dan marginalisasi. Dengan demikian, orang harus memilih untuk terlibat dan mendukung proses pembebasan orang miskin dan tertindas.[45] Karena di hadapan Yesus Kristus, umat beriman harus meneladan cara bertindak-Nya, membebaskan orang tersingkir dan tertindas.[46] Perlu diketahui bahwa Yesus Kristus mengutamakan mereka, karena mereka diutamakan Allah Bapa yang Maharahim. Bahkan kalau pilihan tersebut mengakibatkan berbagai macam konflik dan hukuman mati.

Kedua, secara teologis, realitas orang miskin dan terpinggir menelanjangi realitas dasar, yaitu dosa sosial-struktural. Yesus Kristus menerima dan mewartakan kedatangan Kerajaan Allah secara serius.[47] Kerajaan Allah atau situasi keselamatan dari Allah merupakan Kabar Gembira di tengah “kabar buruk”, situasi anti Kerajaan Allah. Orang miskin dan terpinggir menggugah tindak solidaritas dan “mengajar” (magisterium pauperum) mereka tentang cara mencintai tanpa pamrih dan cara bertahan dalam situasi “tanpa harapan”. Rela memberi bantuan kepada orang-orang yang menderita, apa pun agamanya.[48] Tindakan tersebut merupakan cinta yang tidak membiarkan orang tetap tinggal dalam penderitaan. Cinta yang menggerakkan untuk berbagi harapan akan keselamatan Allah dan terbuka kepada kepenuhannya pada akhir zaman.

Ketiga, berdasarkan spiritualitas cara hidup, pemihakan terhadap orang miskin dan terpinggirkan merupakan unsur konstitutif dari pengenalan akan Allah, pengenalan akan Yesus Kristus.[49] Untuk mengenal Yesus Kristus diandaikan tindakan meneladan cara hidup-Nya secara nyata. Mempertimbangkan pesan dan pelayanan preferensial Yesus Kristus. Hal ini merupakan kehendak Allah, meneladan Yesus Kristus dan mentaati perintah-Nya (1Yoh 3:24 dan Yoh 15:9-17).

4. Bersikap Terbuka dalam Membangun Dialog Profetik di Indonesia dan Asia

Dialog antaragama harus bersifat profetik dan tidak terpisahkan dari perjuangan masyarakat Indonesia dan Asia yang miskin serta beriman. Apakah keterbukaan terhadap dialog berakar pada kedalaman hidup orang beriman dan bukan hanya karena faktor eksternal seperti realitas sosial-budaya? Berikut ini disampaikan beberapa analisis Paul Knitter yang memberi pendasaran teologis-eksistensial pada sikap inklusif.

4.1 Internalisasi Komitmen Iman

Gambaran religius tentang Yesus Kristus Sang Pembebas, di mana salib dan kebangkitan berakar dalam hidup seseorang. Karena kebenarannya terasa sampai ke hati dan meyakinkan secara lahir-batin. Yang lebih penting lagi, gambaran tersebut menjadi motivasi yang memberdayakan orang untuk mewujudkan komitmen imannya. Menurut Knitter, gambaran religius tersebut menjadi jalan bagi Roh untuk menyentuh dan menggerakkan kita. Akhirnya, melalui jalan tersebut orang sampai pada makna hidup dan kepuasan dalam pencarian tujuan hidupnya.[50]

Roh tersebut mengintegrasikan kisah Yesus Kristus ke dalam kehidupan kita dan menyatu menjadi kisah hidup kita yang terbuka ke masa depan. Oleh karena itu, gambaran religius berfungsi sebagai simbol atau “sakramen”. Keyakinan iman menjadi hidup oleh gambaran religius dari inspirasi Roh Kudus yang menggerakkan orang beriman untuk mewujudkan komitmen imannya secara radikal. Gambaran religius memberi wajah pada iman, sehingga tumbuh sejalan dengan perkembangan kesadaran sosial-religius orang beriman.

4.2 Wajah Iman dan Dialog Profetik

Refleksi tentang gambaran religius tidak hanya dimaksudkan untuk menyadarkan kita akan sifat simbolik rumusan iman. Tetapi ketergantungan terhadap situasi dan kepentingan pemeluknya serta terbuka terhadap pencarian terus menerus wajah Allah, Sang Misteri yang berciri rahmat. Bagi orang Kristen, gambaran Yesus Kristus terintegrasi ke dalam dinamika hidup. Hal ini terjadi apabila mengandung kualitas kebenaran yang memberi makna pada kehidupan di tengah masyarakat. Menantang dan memberi ruang untuk tumbuh sebagai orang beriman. Knitter mengidentifikasi beberapa kualitas dasar gambaran Yesus Kristus yang memampukan orang menjadi pengikut Yesus Kristus.[51]

Pertama, benar secara universal. Gambaran religius yang dibangunnya menciptakan, menumbuhkan, dan menggerakkan orang untuk percaya dan tidak hanya mengetahuinya.[52] Dengan kata lain, sampai pada keyakinan akan pribadi Yesus Kristus, kebenaran sabda dan tindakan-Nya yang menyelamatkan manusia. Selain itu, orang sampai pada rasa dan keyakinan bahwa kebenaran iman berlaku bagi komunitas dan bahkan untuk semua orang (2Kor 5:14-15).

Kedua, memberdayakan. Gambaran religius mengundang dan membuat orang mampu menapaki jalan Yesus Kristus. Konsekuensinya adalah memberi daya untuk bertobat, berubah, dan mengambil keputusan radikal seperti Yesus Kristus. Oleh karena itu, menyatakan bahwa Yesus Kristus adalah penyelamat mengimplikasikan pengalaman akan daya penyelamatan-Nya yang memberi arah bagi kehidupan, makna, tujuan, integritas, dan hidup baru. Gambaran religius tersebut “mengisi” rumusan iman yang konseptual.

Ketiga, mengagumkan dan pekat misteri. Gambaran religius mengantar orang kepada realitas Ilahi yang berciri belas kasih tanpa syarat, sehingga perjumpaan dengan-Nya menanamkan rasa syukur yang tidak terbendung dan kemurahan hati untuk menyerahkan diri kepada-Nya. Demikianlah liturgi pada dasarnya merupakan ungkapan dan pengenangan misteri cinta kasih Allah yang Mahaagung.

Tiga kualitas tersebut menyadarkan pengikut Yesus Kristus tentang kedalaman pengenalan terhadap Yesus Kristus. Kemudian muncul pertanyaan tentang pengenalan pribadi yang radikal dapat membantu pengikut Yesus Kristus bersikap terbuka terhadap kebenaran agama lain.  Oleh karena itu, ada dua hal yang harus diperhatikan.

Pertama, bukan satu-satunya kisah. Melalui kerendahan hati epistemologis, orang sadar bahwa pengetahuannya terbatas.[53] Pertanyaan iman bahwa Yesus Kristus adalah penyelamat dunia bersifat inklusif. Artinya, tidak saja sadar bahwa ia tidak mengetahui segala sesuatu dan memang tidak perlu juga. Tetapi kejutan luar biasa dari Allah yang Maharahim sebagaimana nampak dalam “kebijaksanaan salib” membuka cakrawala pewahyuan kasih dan kesetiaan-Nya sepanjang zaman.

Kedua, belum final dan menyeluruh. Pengalaman radikal mengikuti Yesus Kristus mendorong orang untuk menjumpai dan melayani orang lain.[54] Pengenalan akan Yesus Kristus berciri terbatas. Komitmen untuk memilih jalan salib Yesus Kristus masih harus diuji dan disempurnakan. Demikianlah keterbukaan merupakan sifat inheren suatu kebenaran. Akhirnya, perlu dikenali ciri misteri dalam setiap pengenalan akan Yesus Kristus, misteri yang berciri rahmat.[55] Dengan demikian, panggilan untuk memadukan praksis pembebasan dengan dialog antar-agama menjadi keprihatinan yang berakar dalam realitas Gereja Indonesia dan Asia.

5. Kesimpulan

Refleksi kristologis di Indonesia dan Asia menyumbang dialog profetik antaragama dan kepercayaan. Hal ini dilandasi dua alasan yang mendasar. Pertama, kerinduan untuk semakin mengenal misteri Allah yang Maharahim. Kedua, mewujudkan komunitas basis manusiawi yang didasarkan pada iman yang inklusif. Berdasarkan perspektif Kristiani, kebijaksanaan salib membawa umat beriman kepada alamat utama pewartaan Yesus Kristus dan para murid-Nya, yaitu orang-orang yang tersingkir, miskin dan tertindas.[56] Oleh karena itu, dialog profetik yang tidak sampai pada upaya bersama untuk membebaskan mereka adalah mandul. Karena “para korban” adalah guru yang sangat istimewa dan teruji dalam membimbing umat beriman untuk mengenal Allah yang Maharahim.

Sumber Bacaan:

Alkitab Deuterokanonika. Jakarta: Lembaga Biblika Indonesia, 2009.

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.

Budi, Hartono. “Kristologi Belarasa Bagi Dialog Profetik di Asia.” Diskursus. Vol. 2, No. 1 (April 2003), 71-83.

——————. Teologi, Pendidikan, dan Pembebasan. Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Chang, William. Berteologi Pembebasan. Jakarta: Obor, 2005.

Chen, Martin. Teologi Gustavo Gutierrez: Refleksi dari Praksis Kaum Miskin. Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Darmawijaya, St. Keterlibatan Allah terhadap Kaum Miskin. Yogyakarta: Kanisius, 1991.

Hardawiryana, R (Penerj). Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta: Obor, 1993.

O’Collins, Gerald dan Edward G. Farrugia. Kamus Teologi. Penerj. I. Suharyo. Yogyakarta: Kanisius, 1996.

Purnomo, Aloys Budi. Preferential Option for the Poor. Medan: Bina Media, 2000.

Ignatius Suharyo. “Berbahagialah Orang Yang Miskin di Hadapan Allah karena Merekalah Yang Empunya Kerajaan Surga (Mat 5:3).” Dalam JB. Banawiratma (editor). Kemiskinan dan Pembebasan. Yogyakarta: Kanisius, 1987.

Sunarko, Adrianus. Teologi Kontekstual. Jakarta: Obor, 2016.

Timmerman, Bobby Steven. “Menghadirkan Yesus Kristus yang Membebaskan Para Petani Miskin yang Tersalib di Paroki Mara Satu.” Orientasi Baru. Vol. 23, No. 1 (April 2014), 17-29.

[1] Yesus Kristus mengundang umat beriman untuk memperhatikan orang-orang miskin. Oleh karena itu, keberpihakan kepada orang-orang miskin harus menjadi bagian dari kristologi Gereja. Lih. Bobby Steven Timmerman, “Menghadirkan Yesus Kristus yang Membebaskan Para Petani Miskin yang Tersalib di Paroki Mara Satu,” Orientasi Baru, Vol. 23, No. 1, (April 2014), 18.

[2] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa Bagi Dialog Profetik di Asia,” Diskursus, Vol. 2, No. 1, (April 2003), 72.

[3] Inkarnasi merupakan keyakinan demi penyelamatan dunia. Putra Allah sepenuhnya Ilahi sungguh-sungguh menjadi manusia yang utuh (Yoh 1:14; Gal 4:4-5). Ia lahir dari Perawan Maria pada waktu dan tempat tertentu, wafat di salib pada zaman pemerintahan Pontius Pilatus, dan bangkit dari mati dalam kemanusiaan yang mulia (Rm 1:3-4). Lih. Gerald O’Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, Penerj. I. Suharyo (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 154.

[4] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 72.

[5] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 72.

[6] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 72.

[7] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 73.

[8] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 73.

[9] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 73.

[10] Bobby Steven Timmerman, “Menghadirkan Yesus Kristus yang Membebaskan …”, 18.

[11] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 73.

[12] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 73.

[13] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 74.

[14] Docetisme adalah bidaah yang hidup pada periode Gereja awal dan mengajarkan bahwa Putra Allah seolah-olah seperti manusia. Oleh karena itu, realitas jasmaniah Yesus Kristus tidak diterima. Lih. Gerald O’Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, 57.

[15] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 74.

[16] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 74.

[17] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 74.

[18] Orang miskin, orang lapar, orang yang meratap, dan orang yang haus akan keadilan disebut bahagia dalam Kerajaan Allah yang kini mulai tampak. Lih. St. Darmawijaya, Keterlibatan Allah terhadap Kaum Miskin (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 80.

[19] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 74.

[20] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 74.

[21] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 75.

[22] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 75.

[23] Gaya hidup miskin yang dipilih oleh Yesus Kristus merupakan dasar kredibilitas pewartaan-Nya mengenai Kerajaan Allah bagi orang-orang miskin. Dengan sabda dan karya-Nya, Yesus Kristus mewartakan Kerajaan Allah kepada orang-orang miskin. Yesus Kristus menyembuhkan orang sakit dan memberi makan orang kelaparan. Lih. Aloys Budi Purnomo, Preferential Option for the Poor (Medan: Bina Media, 2000), 22-23.

[24] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 75.

[25] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 75.

[26] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 75.

[27] Ateisme adalah keyakinan bahwa Tuhan atau dewa-dewi tidak ada. Selain itu, menolak adanya yang adikodrati, hidup sesudah mati. Lih. Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), 94.

[28] Problem teodise hanya akan muncul bila Allah dipahami secara personal-dialogal dan masing-masing orang diakui martabatnya sebagai pribadi yang mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Lih. Adrianus Sunarko, Teologi Kontekstual (Jakarta: Obor, 2016), 50.

[29] Martin Chen, Teologi Gustavo Gutierrez: Refleksi dari Praksis Kaum Miskin (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 99.

[30] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 76.

[31] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 76.

[32] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 76.

[33] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 76.

[34] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 76.

[35] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 77.

[36] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 77.

[37] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 77.

[38] Kerajaan Allah bagi Yesus Kristus adalah dunia yang baru, tempat di mana manusia mendapatkan berbagai macam rahmat kehidupan, termasuk tanah yang subur dan panen berlimpah bagi petani. Lih. Bobby Steven Timmerman, “Menghadirkan Yesus Kristus yang Membebaskan…”, 25.

[39] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 78.

[40] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 78.

[41] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 78.

[42] Kerajaan Allah adalah situasi di mana dosa, egoisme, dan ketidakadilan dikalahkan oleh kasih, kebenaran, dan keadilan. Yesus Kristus bahkan menetapkan tindakan kasih kepada orang miskin sebagai kriteria yang menentukan kelayakan seseorang untuk dapat memasuki Kerajaan Allah. Lih. Bobby Steven Timmerman, “Menghadirkan Yesus Kristus yang Membebaskan…”, 25.

[43] Tentunya Yesus tidak bermaksud memuji kemiskinan dengan pernyataan “Berbahagialah, hai kamu yang miskin”. Ia menyebut orang miskin berbahagia karena mereka akan dibebaskan oleh-Nya dari kemiskinan. Lih. Aloys Budi Purnomo, Preferential Option for The Poor, 22.

[44] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 78.

[45] William Chang, Berteologi Pembebasan (Jakarta: Obor, 2005), 8-9.

[46] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 78.

[47] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 78.

[48] Hartono Budi, Teologi, Pendidikan, dan Pembebasan (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 64.

[49] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 79.

[50] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 79.

[51] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 80.

[52] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 80.

[53] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 80.

[54] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 81.

[55] Hartono Budi, “Kristologi Belarasa …”, 81.

[56] Setiap anggota Gereja dipanggil untuk ikut ambil bagian dalam mewujudkan keadilan bagi kaum miskin. Dengan demikian, orang miskin tidak sekadar hadir untuk dikasihi, tetapi hadir sebagai tanda kehadiran Yesus Kristus. Inilah tantangan yang semestinya dijawab oleh setiap orang Kristiani. Lih. Ignatius Suharyo, “Berbahagialah Orang Yang Miskin di Hadapan Allah karena Merekalah Yang Empunya Kerajaan Surga (Mat 5:3)” dalam JB. Banawiratma (editor), Kemiskinan dan Pembebasan (Yogyakarta: Kanisius, 1987), 89.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

five × 4 =