Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
1. Pengantar
Mensius adalah penduduk asli Negara Tsou yang berada di bagian selatan Shantung, Cina Timur. Perlu diketahui bahwa Mensius mempunyai hubungan dengan Konfusius. Hal ini terkait dengan studi Mensius yang dijalankan di bawah bimbingan seorang murid Tzu-ssu, cucu Konfusius.[1] Pada masa itu, para raja dari Negara Ch’i merupakan pengagum ilmu pengetahuan di sebelah Barat pintu gerbang Ibu Kota dari Negara mereka. Mereka mendirikan pusat ilmu pengetahuan dan diberi nama Chi-hsia, artinya di bawah naungan Chi.[2]
Pada masa itu, Mensius adalah salah seorang dari para sarjana ulung. Mensius pergi ke berbagai macam Negara, berusaha supaya gagasan-gagasannya didengar oleh para penguasa Negara tersebut. Namun, Mensius memutuskan tidak melanjutkan usaha tersebut. Bersama para muridnya, Mensius menulis buku dengan judul Mencius dalam tujuh jilid.[3] Terkait hal ini, Mensius mewakili sayap idealistik Konfusianisme, sedangkan Hsun Tzu mewakili sayap realistiknya.[4] Selanjutnya, untuk membahas tema “Mensius: Sayap Idealistik Konfusianisme”, penulis menguraikan tulisan ini ke dalam empat bagian. Pertama, kebaikan sebagai sifat dasar manusia. Kedua, perbedaan fundamental antara Konfusianisme dan Mohisme. Ketiga, filsafat politik. Keempat, mistisisme.
2. Kebaikan Sebagai Sifat Dasar Manusia
Konfusius sering berbicara tentang jen (rasa kemanusiaan). Selain itu, Konfusius membuat perbedaan tajam antara yi (rasa keadilan) dan li (keuntungan). Meskipun berpegang pada doktrin-doktrin ini, Konfusius gagal menjelaskan mengapa manusia harus berperilaku menurut jalan ini. Terkait persoalan tersebut, Mensius berusaha memberikan jawaban. Menurut Mensius, kebaikan merupakan sifat dasar yang asli pada manusia.[5] Namun, ketika Mensius mengatakan bahwa sifat dasar manusia adalah baik, hal ini tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa setiap manusia yang lahir laksana seorang Konfusius, bijaksana.
Untuk mendukung gagasannya, Mensius memberikan empat penjelasan.[6] Pertama, seseorang yang tidak memiliki perasaan simpati bukanlah manusia, karena perasaan simpati adalah permulaan rasa kemanusiaan. Kedua, seseorang yang tidak memiliki perasaan malu dan segan bukanlah manusia, karena perasaan malu dan segan adalah awal dari kebajikan. Ketiga, seseorang yang tidak memiliki perasaan rendah hati dan kebersamaan bukanlah manusia, karena perasaan rendah hati dan kebersamaan adalah permulaan kesopanan. Keempat, seseorang yang tidak memahami antara yang benar dan yang salah bukanlah manusia, karena pemahaman terhadap hal yang benar dan yang salah adalah permulaan kesopanan. Dengan demikian, Mensius menunjukkan bahwa empat hal tersebut membedakan antara manusia dan binatang. Oleh karena itu, manusia harus mengembangkan sifat dasarnya, supaya benar-benar menjadi “manusia”.
3. Perbedaan Fundamental Konfusianisme dan Mohisme
Terdapat perbedaan fundamental antara Konfusianisme dan Mohisme. Dalam hal ini, tugas Mensius yaitu menentang Yang Chu dan Mo Ti.[7] Mensius menegaskan bahwa prinsip Yang menyatakan bahwa setiap orang mengurus dirinya sendiri. Hal ini kemudian membuat diabaikannya penguasa yang membawahi seseorang. Sedangkan prinsip Mo tentang kasih semesta, membuat seorang ayah tidak mendapatkan perhatian. Pada dasarnya pendapat-pendapat ini menyesatkan dan merintangi manusia untuk sampai kepada jalan rasa kemanusiaan serta keadilan.
Menurut doktrin Mohisme, dalam cinta tidak boleh ada gradasi, lebih mencintai atau kurang mencintai. Sedangkan menurut doktrin Konfusianisme, justru kebalikannya yang benar. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Mohisme menekankan persamaan dalam mencintai orang lain dan penganut Konfusianisme lebih menekankan gradasi. Selanjutnya, para penganut Konfusianisme menekankan kadar dalam cinta. Mensius melihat hal ini sebagai perluasan jangkauan aktivitas seseorang sehingga mencakup orang lain.[8]
Memperluas cinta bagi keluarga sendiri, sehingga mencakup juga orang-orang di luarnya. Hal ini berarti mempraktekkan prinsip chung (berhati-hati terhadap orang lain) dan shu (altruisme) yang dianjurkan oleh Konfusius, yaitu menerapkan rasa kemanusiaan.[9] Tidak ada sesuatu pun yang dipaksakan dalam praktek-praktek ini. Karena sifat dasar asli semua manusia memiliki perasaan simpati dalam dirinya. Oleh karena itu, memungkinkan mereka untuk dapat merasakan penderitaan orang lain.
Sebaliknya, para penganut Mohisme menuntut dengan tegas bahwa cinta kepada orang lain seharusnya memiliki tingkat derajat yang sama dengan cinta terhadap orang tua sendiri.[10] Tanpa memperhatikan apakah maksud seseorang sedikit mencintai orang tuanya, atau lebih mencintai orang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kelas cinta para penganut Konfusianisme seharusnya dijauhi dengan segala cara. Hal inilah yang mendasari Mensius menyerang prinsip Mohisme, terkait dengan kasih semesta yang berarti bahwa seseorang mengabaikan ayahnya sendiri.
Akhirnya, terdapat perbedaan lain yang lebih fundamental. Konfusianisme memandang rasa kemanusiaan sebagai sebuah kualitas yang berkembang secara alamiah dari dalam sifat dasar manusia. Sedangkan Mohisme memandang kasih semesta sebagai sesuatu yang secara artifisial ditambahkan kepada manusia dari luar.
4. Filsafat Politik: Wang (Raja Bijaksana) dan Pa (Penguasa Militer).
Teori Mohisme tentang asal-usul Negara bersifat utilitarinistik. Sedangkan teori Konfusianisme melihat bahwa adanya hubungan-hubungan manusia dan prinsip-prinsip moral yang didasarkan atas hubungan-hubungan tersebut merupakan hal yang membedakan manusia dari binatang. Negara dan masyarakat bermula dari adanya relasi antarmanusia. Oleh karena itu, menurut para penganut Mohisme, Negara ada karena ia berguna. Tetapi para penganut Konfusianisme mengatakan bahwa Negara ada karena ia memang sudah seharusnya ada.
Dalam filsafat politik Konfusianisme, hanya orang bijaksana yang dapat menjadi raja.[11] Mensius menggambarkan bahwa yang ideal ini sudah ada di masa lalu sebagai yang serba sempurna. Ada suatu waktu ketika orang bijaksana Yao (hidup sekitar abad XXIV) menjadi kaisar. Ketika memasuki usia tua, ia memilih seorang bijaksana yang masih muda (bernama Shun), yang telah ia ajari bagaimana menjadi seorang penguasa. Sehingga pada saat kematian Yao, Shun menjadi kaisar. Dengan cara yang sama, ketika Shun memasuki usia tua, ia memilih seorang bijaksana yang masih muda (bernama Yu) sebagai penggantinnya. Jadi takhta berpindah tangan dari seorang bijaksana ke seorang bijaksana lainnya, yang menurut pandangan Mensius, itulah yang seharusnya terjadi.[12]
Menurut Mensius, jika seorang penguasa tidak bertindak sebagaimana seharusnya ia bertindak, maka secara moral ia tidak lagi menjadi seorang penguasa. Sedangkan dalam teori Konfusius tentang pembetulan nama-nama, ia hanyalah seorang “sesama manusia”. Selanjutnya, Mensius menegaskan bahwa rakyat merupakan unsur yang sangat penting dalam Negara, tanah dan hasil pertanian adalah yang kedua, dan penguasa adalah yang terakhir.
Mensius dan para penganut Konfusianisme menunjukkan dua jenis pemerintahan.[13] Pertama, pemerintahan wang (raja bijaksana). Kedua, pemerintahan pa (penguasa militer). Pemerintahan di bawah seorang raja bijaksana dilaksanakan melalui instruksi dan pendidikan moral. Sedangkan pemerintahan di bawah penguasa militer dilaksanakan melalui kekerasan. Kekuasaan pada pemerintahan wang adalah kekuasaan moral dan kekuasaan pada pemerintahan pa adalah kekuasaan jasmani.[14]
Raja bijaksana dalam pemerintahannya mengerjakan segala sesuatu yang bisa dilakukan untuk kesejahteraan dan keuntungan orang banyak. Dengan kata lain, Negara dibangun atas dasar ekonomi yang sehat. Karena Cina merupakan negara agraris, Mensius menegaskan bahwa landasan ekonomi sangat penting. Hal ini dimaksudkan untuk mendasari pemerintahan dan pembagian secara merata dalam pendistribusian tanah. Sistem tanah yang ideal dikenal sebagai “sistem lahan sumur”. Berdasarkan sistem ini, setiap li (sekitar sepertiga mil) persegi tanah dibagi ke dalam sembilan petak. Setiap petak terdiri atas seratus acre Cina. Pusat petaknya disebut sebagai “lahan umum”. Sedangkan delapan petak yang ada di sekelilingnya adalah tanah perseorangan. Para petani ini mengolah lahan umum secara kolektif dan mengolah lahan mereka secara pribadi.[15]
5. Mistisisme: Hao Jan Chih Ch’i (Semangat Yang Agung)
Menurut Mensius dan mazhab Konfusianisme, secara esensial alam semesta adalah alam semesta moral. Oleh karena itu, prinsip-prinsip moral manusia adalah prinsip-prinsip metafisika alam semesta. Dan sifat dasar manusia merupakan percontohan dari prinsip-prinsip ini. Alam semesta inilah yang dimaksudkan Mensius dan mazhabnya ketika berbicara tentang Langit. Pemahaman tentang alam semesta moral disebut Mensius sebagai “mengetahui Langit”. Jika seseorang mengetahui Langit, ia bukan hanya seorang warga masyarakat, tetapi juga seorang “warga Langit”, t’ien min.[16]
Selanjutnya, Mensius membuat pembedaan antara “kehormatan manusiawi” dan “kehormatan Langit”.[17] Kehormatan manusiawi meliputi para raja, menteri, dan pejabat. Sedangkan kehormatan Langit meliputi rasa kemanusiaan, kebajikan, loyalitas, nilai-nilai kebenaran, dan tidak kenal lelah dalam mengamalkan kebaikan. Oleh karena itu, kehormatan manusiawi merupakan konsep-konsep material dalam dunia manusia. Sedangkan kehormatan Langit mencakup semua yang dapat dicapai oleh manusia dalam dunia nilai.
Supaya dapat memahami mistisisme dengan baik, kita harus memahami penjelasan Mensius tentang Hao Jan Chih Ch’i (Semangat Yang Agung).[18] Ch’i (asap, gas, kekuatan spiritual) harus dimengerti ketika Mensius menyebut ch’i yang terdapat dalam istilah yang ch’i (keberanian, keperkasaan) dan shih ch’i (semangat satu pasukan tentara). Oleh karena itu, Hao Jan Chih Ch’i diterjemahkan sebagai “Semangat Yang Agung”. Ia memiliki sifat yang sama dengan semangat tentara.[19]
Metode pengembangan Semangat Yang Agung memiliki dua aspek.[20] Pertama, pemahaman tentang Tao. Dengan memahami jalan atau prinsip yang mengarah kepada peningkatan jiwa. Kedua, akumulasi kebajikan. Melakukan dengan konstan apa yang seharusnya dilakukan seseorang dalam alam semesta sebagai seorang “warga alam semesta”. Kombinasi kedua aspek ini disebut Mensius sebagai kombinasi antara kebajikan dengan Tao. Setelah seseorang mencapai pemahaman tentang Tao dan setelah akumulasi kebajikan dalam jangka waktu yang lama, maka Semangat Yang Agung akan muncul secara alami. Apabila terjadi sedikit saja hal yang dipaksakan, maka akan membawa kepada kegagalan.
Pengembangan Semangat Yang Agung seperti penanaman gandum. Orang harus mengerjakan sesuatu, mengamalkan kebajikan. Dalam hal ini, Mencius lebih banyak berbicara tentang kebajikan daripada rasa kemanusiaan. Namun pada kenyataannya tidak berbeda. Karena rasa kemanusiaan merupakan isi batinnya. Sedangkan kebajikan merupakan ekspresi lahiriahnya. Jika seseorang mengamalkan kebajikan secara konstan, Semangat Yang Agung akan muncul secara alamiah dari pusat keberadaan dirinya.[21]
Mensius mengatakan bahwa Hao Jan Chih Ch’i dapat dicapai oleh setiap manusia.[22] Karena hal ini merupakan hasil perkembangan sifat dasar manusia. Misalnya bentuk jasmaniah setiap manusia sama. Oleh karena itu, setiap orang dapat menjadi manusia bijaksana. Asalkan ia mengembangkan sepenuhnya sifat dasar yang ia miliki. Akhirnya, seperti yang ditegaskan Mensius, semua manusia dapat menjadi Yao atau pun Shun.[23] Inilah teori pendidikan Mensius dan telah dijadikan pegangan oleh semua penganut Konfusianisme.
6. Penutup
Segala sesuatu secara lengkap ada dalam diri manusia. Oleh karena itu, tidak ada sesuatu yang lebih menyenangkan daripada menyadari hal ini melalui pengembangan diri sendiri. Dan tidak ada jalan yang lebih baik menuju rasa kemanusiaan daripada mempraktekkan shu. Dengan kata lain, lewat jalan mengembangkan sifat dasar manusia secara penuh, manusia bukan hanya dapat mengetahui Langit, tetapi juga dapat menyatu dengan Langit. Juga ketika seseorang mengembangkan hatinya yang tidak tahan, maka ia memiliki dalam dirinya kebajikan berupa rasa kemanusiaan. Jalan terbaik agar sampai kepada rasa kemanusiaan adalah dengan mempraktekkan chung dan shu. Dengan mempraktekkan chung dan shu, sikap egois dan mengutamakan kepentingan diri sendiri secara gradual dapat direduksi. Dan ketika sikap-sikap ini bisa direduksi, seseorang dapat merasakan bahwa tidak ada lagi perbedaan antara dirinya dan orang lain. Tidak ada lagi perbedaan individual dengan alam semesta. Artinya, seseorang menjadi identik dengan alam semesta secara keseluruhan. Hal ini akan membawa kepada suatu kesadaran bahwa segala sesuatu secara lengkap ada dalam diri kita.
Sumber Bacaan:
Yu-Lan, Fung. Short History of Chinese Philosophy. New York: The Macmillan Company, 1966.
[1] Fung Yu-Lan, A Short History of Chinese Philosophy (New York: The Macmillan Company, 1966), 68.
[2] Semua sarjana yang tinggal di sana diberi pangkat sebagai pegawai tinggi dan dihormati serta diberikan istana berupa bangunan rumah yang besar di pinggir jalan utama. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan kepada semua tamu (raja-raja feodal) yang ada dalam penginapan, bahwa negara Ch’I mampu menarik para sarjana ulung dalam jumlah banyak. Lih. Fung Yu-Lan, A Short History of Chinese Philosophy, 68.
[3] Karya ini mencatat percakapan antara Mencius dengan raja-raja feodal, dan juga Mencius dengan para muridnya. Di kemudian hari, karya ini mendapatkan kehormatan dan masuk dalam kategori “Empat Buah Buku” yang masyur. Sekitar seribu tahun terakhir ini, karya tersebut dijadikan dasar bagi pendidikan Confucianisme. Lih. Fung Yu-Lan, A Short History of Chinese Philosophy, 68.
[4] Fung Yu-Lan, A Short History of Chinese Philosophy, 68.
[5] Menurut Mencius, pada masa itu ada tiga teori lain (di samping teorinya sendiri) yang mencoba menjawab persoalan ini. Pertama, sifat dasar manusia tidak baik atau pun tidak buruk. Kedua, sifat dasar manusia bisa baik atau pun bisa buruk. Ketiga, sifat dasar pada beberapa manusia adalah baik dan pada beberapa yang lain adalah buruk. Lih. Fung Yu-Lan, A Short History of Chinese Philosophy, 69.
[6] Fung Yu-Lan, A Short History of Chinese Philosophy, 70.
[7] Fung Yu-Lan, A Short History of Chinese Philosophy, 70-71.
[8] Fung Yu-Lan, A Short History of Chinese Philosophy, 72.
[9] Fung Yu-Lan, A Short History of Chinese Philosophy, 72.
[10] Fung Yu-Lan, A Short History of Chinese Philosophy, 72.
[11] Fung Yu-Lan, A Short History of Chinese Philosophy, 73.
[12] Fung Yu-Lan, A Short History of Chinese Philosophy, 74.
[13] Fung Yu-Lan, A Short History of Chinese Philosophy, 74.
[14] Perbedaan antara wang dan pa dipertahankan oleh para filsuf politik Cina. Terkait dengan politik kontemporer, pemerintahan demokrasi adalah pemerintahan wang. Karena menggambarkan asosiasi orang-orang bebas. Sedangkan pemerintahan fasis adalah pemerintahan pa. Pemerintahan ini memerintah dengan teror dan kekerasan fisik. Lih. Fung Yu-Lan, A Short History of Chinese Philosophy, 74-75.
[15] Hasil dari lahan umum ini diberikan kepada pemerintah. Sedangkan setiap keluarga mendapatkan untuk mereka sendiri dari yang mereka hasilkan. Sususnan Sembilan petak tersebut menyerupai huruf Cina untuk kata “sumur”, karena itulah disebut sebagai “sistem lahan sumur”. Lih. Fung Yu-Lan, A Short History of Chinese Philosophy, 75.
[16] Fung Yu-Lan, A Short History of Chinese Philosophy, 77.
[17] Fung Yu-Lan, A Short History of Chinese Philosophy, 77.
[18] Fung Yu-Lan, A Short History of Chinese Philosophy, 78.
[19] Tetapi perbedaan di antara keduanya yaitu Ch’i digambarkan sebagai hao jan (Yang Paling Agung). Semangat yang dikelola oleh para prajurit merupakan persoalan tentang manusia dan manusia. Oleh karena itu, hanya mencakup nilai moral. Tetapi semangat yang agung merupakan persoalan yang berkaitan antara manusia dengan alam semesta. Karena hal ini merupakan nilai-nilai super-moral. Inilah semangat manusia yang mengidentikkan dirinya dengan alam semesta. Sehingga Mencius mengatakan “ia meliputi semua yang ada di antara langit dan bumi”. Lih. Fung Yu-Lan, A Short History of Chinese Philosophy, 78.
[20] Fung Yu-Lan, A Short History of Chinese Philosophy, 78.
[21] Fung Yu-Lan, A Short History of Chinese Philosophy, 79.
[22] Fung Yu-Lan, A Short History of Chinese Philosophy, 79.
[23] Fung Yu-Lan, A Short History of Chinese Philosophy, 79.