Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM

Perlu diketahui bahwa meskipun Paus Fransiskus belajar kimia, ia pada dasarnya bukan ilmuwan alam (natural scientist). Ia bukan filsuf, kendati ia juga mendalami sejarah pemikiran Barat (the history of Western thought). Selain itu, meskipun Paus Fransiskus menempati posisi penting dalam Takhta Suci dan Negara Kota Vatikan, ia bukan ilmuwan politik dan politisi. Terlepas dari realitas tersebut, Ensiklik Laudato Si yang ia tulis sangat penting dan berpengaruh pada abad XXI.

Lebih tepat apabila menyebut bahwa Paus Fransiskus mempunyai otoritas epistemologis dan moral, bukan ilmuwan, filsuf, ilmuwan politik, dan politisi. Terkait hal ini, ketika ia berbicara, orang-orang mendengarkan dengan penuh perhatian. Bahkan bukan hanya umat Katolik yang mendengarkan secara serius berbagai macam pernyataan yang dilontarkan Paus Fransiskus. Dalam Laudato Si, ia berbicara mengenai persoalan global, yaitu krisis ekologi dan darurat iklim.

Laudato Si memungkinkan dialog publik yang melanjutkan gerakan lingkungan (the environmental movement) pada 1960. Selanjutnya, pada 1970, dikemukakan dengan lantang bahwa kemiskinan dan keterbelakangan harus diakui sebagai persoalan global. Berdasarkan laporan Brandt Commission (1980) dan Palme Commission (1982), adagium Our Common Future adalah tanggapan terhadap berbagai macam persoalan yang ada.

Menurut Brundtland Commission (1987), persoalan tentang lingkungan dan pembangunan yang dipandang sebagai krisis yang saling terkait (interlocking crises) dapat diatasi melalui pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Namun, pembangunan berkelanjutan merupakan solusi yang bersifat retoris. Karena realitas kehidupan masyarakat dewasa ini secara sadar mengabaikan nilai-nilai spiritual yang memungkinkan terejawantahnya gerakan lingkungan.

Mayoritas masyarakat meyakini bahwa ukuran pembangunan ideal adalah capaian demokrasi sosial Eropa Utara. Berhadapan dengan asumsi tersebut, Laudato Si membuka ruang dialog dalam perspektif filsafat lingkungan (environmental philosophy) dan teologi moral Katolik (Catholic moral theology). Berdasarkan sudut pandang filosofis, Paus Fransiskus berhutang budi pada Alfred North Whitehead dan Teilhard de Chardin. Paus Fransiskus dipengaruhi teologi proses John Cobb (teolog Protestan Amerika) yang menekankan perubahan menuju realisasi keberadaan yang lebih penuh (change toward the fuller realization of being).

Seperti Plato dan Thomas Aquinas, Paus Fransiskus memandang keberadaan sebagai pengakuan derajat dan sarat akan nilai. Paus Fransiskus meyakini bahwa spesies mempunyai nilai dalam dirinya sendiri (Laudato Si, art. 33). Selain itu, ia memandang ciptaan Allah sebagai sesuatu yang baik dan mengagumkan (Laudato Si, art. 140). Sehingga tidak mengherankan apabila Peter Singer dalam twitter menulis demikian, a vegan Pope is the next logical step.

Ketika berbicara mengenai keadilan global (global justice) dan perlakuan terhadap orang miskin (the treatment of the poor) tidak banyak sesuatu yang baru dalam Laudato Si. Sedangkan sikap Gereja menentang aborsi, euthanasia, dan kontrasepsi buatan (artificial contraception) mendapat perhatian lebih banyak. Bahkan Gereja dalam beberapa tahun terakhir menjadi pembela yang kuat bagi orang-orang miskin.

Laudato Si secara eksplisit mengundang dialog di antara umat Katolik dan yang lainnya. Dialog tersebut terkait krisis lingkungan dan pembangunan yang saling terkait (interlocking). Harapannya dialog mengenai krisis lingkungan menjadi perhatian dunia internasional.

Sumber Bacaan:

Jamieson, Dale. “Why Laudato si’ Matters.” Environment: Science and Policy for Sustainable. Vol. 57, No. 6 (2015), hlm. 19-20.

1 KOMENTAR

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

fourteen − 11 =