Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
Menurut Yohanes Paulus II, tubuh menandakan misteri kekekalan Allah. Tubuh memungkinkan manusia melihat realitas spiritual atau misteri abadi Allah. Perlu diketahui bahwa manusia bersifat spiritual dan fisik, bukan roh yang terperangkap (trapped) di dalam tubuhnya. Terkait hal ini, Gereja menyatakan bahwa manusia adalah roh yang diwujudkan atau tubuh yang dirohanikan. Melalui persatuan tubuh dan jiwa, manusia mengungkapkan atau membuat terlihat (make visible) realitas roh yang tidak terlihat. Karena manusia diciptakan menurut gambar Allah, tubuh menampakkan misteri Allah. Yohanes Paulus II mempelajari tubuh manusia bukan sekadar sebagai organisme biologis. Tetapi berdasarkan cara pandang teologi, di mana tubuh adalah tanda (sign) misteri Allah.
Tanda mengarahkan manusia pada realitas di luar dirinya, membuat realitas transenden hadir. Meskipun demikian, misteri ilahi pada hakikatnya berada di luar diri manusia dan tanpa batas. Dalam Katekismus Gereja Katolik dikatakan, sebagai makhluk sosial manusia memerlukan tanda dan lambang, supaya melalui bahasa, melalui gerak-gerik, dan kegiatan dapat berhubungan dengan orang lain. Yang sama berlaku untuk hubungannya dengan Allah. Manusia harus menjaga perbedaan esensial antara roh dan materi serta antara Pencipta dan ciptaan. Namun, pada saat yang sama, manusia harus menegaskan relasi mendalam di antara keduanya. Karena tradisi Kekristenan meyakini persatuan antara Allah dan manusia, di mana misteri Allah terungkap dalam inkarnasi.
Apresiasi
Perhatian utama Yohanes Paulus II dalam teologi tubuh adalah untuk menyajikan analisis mendalam mengenai cinta manusia. Secara khusus terkait pernyataan Kristus kepada orang-orang Farisi yang bertanya mengenai perkawinan yang tidak terceraikan dan hukum perkawinan Musa. Perlu diketahui bahwa pertanyaan orang-orang farisi tersebut terkait dengan pertanyaan-pertanyaan orang-orang modern mengenai kepribadian, cinta manusia, dan seksualitas. Teologi tubuh dimaksudkan untuk menjadi jawaban positif atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Menghadirkan visi integral pribadi dan cinta manusia. Yohanes Paulus II menyajikan keindahan visi Kristen mengenai cinta manusia, menunjukkan bahwa tubuh mengungkapkan kehadiran Allah di dunia dan panggilan manusia untuk mencintai.
Yohanes Paulus II menunjukkan bahwa tradisi Kristen menyajikan antropologi alkitabiah yang memasukkan gambaran integral cinta manusia ke dalam pengalaman hidup seseorang dan dimaksudkan untuk mengubah kehidupan seseorang. Membuka pengalaman mereka pada kasih Allah yang memberi kehidupan dan pengalaman bersama antara laki-laki dan perempuan yang hidup dalam pemberian diri timbal balik. Sebagaimana diyakini Yohanes Paulus II, perlu ditumbuhkan pandangan kontemplatif yang mampu menangkap misteri indah tubuh dan panggilan agung setiap orang untuk mencintai. Dengan cara inilah Yohanes Paulus II memberikan kontribusi besar melalui teologi tubuh untuk menunjukkan keindahan otentik dari ajaran Kristen mengenai cinta pasangan.
Kritik
Terdapat tiga kritik yang dapat disampaikan terhadap teologi tubuh Yohanes Paulus II. Pertama, teologi tubuh Yohanes Paulus II terlalu abstrak dan tidak cukup praktis. Terlalu serius dan tidak membahas keseluruhan eksistensi kebertubuhan manusia. Hal ini terkait kegunaan praktis teologi tubuh dalam kehidupan sehari-hari. Tentu saja Yohanes Paulus II menempatkan deskripsi yang jelas mengenai perasaan dan interioritas manusia yang mengungkapkan keagungan spiritual. Memberi pembaca pemahaman mengenai momen-momen yang digambarkan dalam Kitab Suci. Namun, teologi tubuh bukanlah sastra naratif. Teologi tubuh adalah karya filosofis dan sangat kompleks yang membangun antropologi teologi untuk dibuktikan dalam pengalaman kebertubuhan manusia sehari-hari.
Luke Timothy Johnson mengkritik teologi tubuh dengan menegaskan bahwa Yohanes Paulus II memikirkan nuansa kata-kata dalam narasi dan pernyataan alkitabiah, sambil berfantasi mengenai tindakan saling memberikan diri yang tulus serta menyeluruh antara laki-laki dan perempuan pada tingkat abstraksi yang jauh dari kehidupan sehari-hari. Tesis inti yang dipertahankan dalam teologi tubuh memiliki implikasi teologis dan filosofis yang menarik, tetapi terlalu teoretis serta tidak praktis. Jika teori etika tidak dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, maka teori tersebut tidak berguna dan seharusnya tidak digunakan.
Kedua, jika setiap tindakan pelukan suami dan istri harus diarahkan untuk menghasilkan kehidupan, maka arah biologis dari tindakan tersebut menuntut adanya pembuahan sel telur. Kekakuan terhadap prokreasi tersebut juga beresiko, di mana persatuan pasangan tunduk pada tujuan akhir prokreasi. Sehingga menghilangkan nilai dari tujuan kesatuan sepenuhnya. Terkait hal ini, bagaimana dengan pasangan-pasangan yang berjuang dalam kemiskinan dan tidak dapat menghidupi seorang anak?
Ketiga, Santo Agustinus menegaskan bahwa hubungan seks dalam perkawinan untuk tujuan prokreasi adalah dosa ringan, karena tidak mungkin mengalaminya tanpa kesenangan. Berdasarkan pernyataan tersebut, Christine Gudorf meyakini bahwa kesenangan menjadi akibat langsung dari dosa asal manusia. Hal ini memperlihatkan bahwa teologi tubuh Yohanes Paulus II kurang memperhatikan kebaikan relasional yang merupakan komponen penting dalam panggilan perkawinan. Sehingga teologi tubuh nampak kurang memberikan penghargaan teologis pada seksualitas dan persekutuan seksual. Dengan demikian, gambaran tradisional Santo Agustinus mengenai kenikmatan seksual yang berakar pada dosa asal harus ditinggalkan. Jika gambaran tradisional tersebut tidak ditinggalkan, maka institusi dan sakramentalitas perkawinan berada pada resiko yang serius.
Sumber Bacaan:
Johansson, Mitchell. John Paul II’s Theology of the Body: The Human Person, Self-Gift, and the Sacramental Dimension of Human Love. University of South Carolina, 2019.
Paul II, John. Theology of the Body: The Redemption of the Body and Sacramentality of Marriage. Vatican: Libreria Edritice Vaticana, 2015.
West, Christopher. Theology of the Body for Beginners: A Basic Introduction to Pope John Paul II’s Sexual Revolution. USA: Ascension Press, 2009.