Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
Masyarakat mengalami berbagai macam kerugian akibat pandemi Covid-19. Hal ini memperlihatkan kerapuhan dan ketidakberdayaan manusia berhadapan dengan kekuatan alam (nature’s might). Namun, harus diakui bahwa Covid-19 bukan kekuatan alam yang tidak bisa dikendalikan. Para ilmuwan yang menumbuhkan dan mengembangkan sains mampu mengubahnya menjadi tantangan yang dapat dikelola. Jika demikian, mengapa Covid-19 merenggut nyawa jutaan orang? Hal ini terjadi karena keputusan politik yang buruk (bad political decisions).
Ketika menghadapi Black Death, masyarakat tidak mengetahui penyebab dan cara menghentikannya. Selain itu, pada 1918, ketika influenza mewabah, ilmuwan terbaik dunia tidak mampu mengidentifikasi virus tersebut. Sejumlah upaya pencegahan dan vaksin yang dikembangkan tidak membuahkan hasil.
Sejak awal Januari 2020, ketika Covid-19 mewabah, para ilmuwan berhasil mengurutkan genom virus. Sehingga tindakan yang harus diambil untuk memperlambat dan menghentikan penularan virus dimungkinkan. Kurang dari satu tahun, vaksin diproduksi dalam jumlah banyak. Hal ini merupakan pencapaian bioteknologi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Kekuatan Teknologi
Pada zaman dahulu, masyarakat mengalami kesulitan menghentikan virus yang mewabah. Karena tidak mempunyai sarana yang memadai untuk memantau penyebaran virus secara real time. Pada 1918, masyarakat yang terjangkit flu menakutkan dapat dikarantina. Namun, pergerakan pembawa virus tanpa gejala sulit dilacak. Jika masyarakat diminta tinggal di rumah, maka akan terjadi kehancuran ekonomi, sosial, dan kelaparan.
Pada 2020, sistem pengawasan digital (digital surveillance) mempermudah pemantauan penyebaran virus. Dalam konteks masyarakat negara maju, ketersediaan jaringan internet memungkinkan terlaksananya lockdown. Hal ini menunjukkan bahwa revolusi digital mengubah segalanya. Sedangkan dalam konteks masyarakat negara berkembang, pandemi Covid-19 mengingatkan pada masa lalu ketika berhadapan dengan wabah.
Perlu diketahui bahwa selama ribuan tahun produksi pangan tergantung pada tenaga manusia. Namun, dewasa ini seperti di Amerika Serikat, bidang pertanian tidak membutuhkan banyak tenaga manusia. Bahkan Amerika Serikat menjadi pengekspor pangan terkemuka. Karena hampir semua pekerjaan terkait pertanian dikerjakan menggunakan mesin. Ketika terjadi pandemi Covid-19, lockdown tidak terlalu berdampak pada bidang pertanian.
Ceritanya berbeda ketika terjadi wabah Black Death. Jika para petani diminta tinggal di rumah, maka akan terjadi kelaparan. Namun, apabila para petani diminta untuk bekerja, wabah Black Death semakin tidak dapat dikendalikan. Pada 2020, berkat bantuan teknologi, masyarakat dapat bertani dengan efisien dengan kemungkinan kecil terjangkit Covid-19. Sehingga tidak mengherankan apabila di tengah pandemi Covid-19 produksi gandum, jagung, dan beras berjalan lancar.
Berdasarkan sejarah, aktivitas perdagangan mempersulit proses meminimalisir dan menghentikan penyebaran virus. Virus menyebar ke seluruh dunia melalui kapal dagang. Misalnya, wabah Black Death menyebar melalui kapal dagang dari Asia Timur ke Timur Tengah dan Eropa. Sehingga aktivitas pergadangan menjadi ancaman yang mematikan. Kapal dagang yang dipenuhi banyak orang dan berbagai macam barang menjadi sarang penyakit.
Pada 2020, aktivitas perdagangan global berjalan lancar dan tidak membutuhkan banyak tenaga manusia. Kapal kontainer dirancang sedemikian rupa dan mampu membawa barang dalam jumlah banyak. Perlu diketahui bahwa pada 1582, kapal kontainer Inggris mempunyai daya tampung 68.000 ton dan membutuhkan 16.000 awak kapal. Sedangkan pada 2017, kapal kontainer Hong Kong mampu menampung 200.000 ton barang dan hanya membutuhkan 22 awak kapal.
Pada 1918, masyarakat hanya dimungkinkan berada dalam dunia fisik (physical world). Sehingga ketika flu yang mematikan melanda masyarakat, mereka tidak dapat “lari”. Sedangkan dewasa ini masyarakat mendiami dua dunia, yaitu fisik dan virtual. Ketika Covid-19 mewabah di dunia fisik, masyarakat beralih ke dunia virtual, tempat di mana virus tidak akan mampu menjangkaunya.
Manusia pada dasarnya adalah makhluk fisik (physical beings). Oleh karena itu, tidak semuanya dapat didigitalkan. Pandemi Covid-19 memperlihatkan peran penting masyarakat yang mempunyai profesi sebagai perawat, pekerja sanitasi, supir truk, dan pengantar barang. Mereka merupakan pemelihara peradaban manusia (human civilization). Terkait hal ini, pengirim barang menjadi jalur kehidupan (lifelines) yang sangat penting bagi dunia fisik.
Teknologi Membuat Manusia Tangguh Sekaligus Rapuh
Ketika manusia mengotomatiskan, mendigitalkan, dan beralih ke aktivitas online, sejatinya mereka berhadapan dengan bahaya baru (new dangers). Salah satu pengalaman di tengah pandemi Covid-19 yaitu pentingnya kelancaran jaringan internet. Pada 2020, sekolah, kantor, dan Gereja melangsungkan kegiatan secara online. Meskipun harus berhadapan dengan pandemi Covid-19 dan lockdown, roda kehidupan dapat terus berjalan. Namun, apa yang terjadi apabila infrastruktur digital mogok?
Teknologi memungkinkan manusia tangguh ketika berhadapan dengan virus organik. Tetapi teknologi juga membuat manusia jauh lebih rentan ketika berhadapan dengan malware dan perang dunia maya (cyber warfare). Butuh beberapa bulan Covid-19 menyebar ke seluruh dunia dan menginfeksi jutaan orang. Sedangkan infrastruktur digital suatu negara dapat runtuh dalam satu hari.
Teknologi dan Kediktatoran
Fenomena pandemi Covid-19 mengingatkan masyarakat akan pentingnya sains dan teknologi. Namun, sains tidak bisa menggantikan kekuatan politik. Ketika memutuskan kebijakan, pemerintah mempertimbangkan berbagai macam kepentingan. Terkait hal ini, ranah politik tidak menggunakan metode ilmiah untuk memutuskan kebijakan.
Ketika memberlakukan lockdown, terdapat sejumlah pertanyaan yang harus dijawab. Berapa jumlah orang yang akan terjangkit Covid-19? Berapa jumlah orang yang akan mengalami depresi? Berapa jumlah orang yang akan mengalami gizi buruk? Berapa jumlah orang yang akan kehilangan pekerjaan? Tugas untuk menjawab serangkaian pertanyaan tersebut masuk dalam ranah politik. Oleh karena itu, pemerintah harus membuat pertimbangan medis, ekonomi, sosial, dan menghasilkan kebijakan yang komprehensif.
Para insinyur menciptakan platform digital untuk membantu pengawasan penyebaran virus. Tetapi digitalisasi dan pengawasan pada hakikatnya membahayakan privasi masyarakat serta membuka jalan bagi munculnya rezim totaliter. Pada 2020, pengawasan berbasis digital merupakan sesuatu yang umum dilakukan. Namun, kebebasan dan privatisasi masyarakat juga harus dihargai. Hal ini merupakan tugas pemerintah, menemukan keseimbangan antara pengawasan dan privasi masyarakat.
Terdapat tiga gagasan yang dapat digunakan untuk melindungi masyarakat dari kediktatoran digital. Pertama, ketika mengumpulkan data seseorang, data tersebut harus digunakan untuk membantu orang yang bersangkutan. Bukan untuk memanipulasi dan menyakiti mereka. Jangan sampai menjual data tersebut ke perusahaan dan partai politik mana pun.
Kedua, pengawasan harus selalu berjalan dua arah. Pengawasan dilakukan kepada masyarakat sekaligus kepada pemerintah dan perusahaan. Misalnya, di tengah pandemi Covid-19, pemerintah mendistribusikan uang dalam jumlah besar. Terkait hal ini, pengalokasian dana harus transparan. Siapa yang memutuskan pendistribusian uang? Siapa yang mendapatkan uang tersebut? Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk mengatakan bahwa sistem pemantauan transparansi seperti itu terlalu rumit.
Ketiga, berbagai macam data jangan terkonsentrasi di satu tempat. Karena monopoli data adalah resep kediktatoran. Jika pengumpulan data masyarakat dimaksudkan untuk kepentingan menghentikan penyebaran Covid-19, maka tugas tersebut harus dilakukan oleh otoritas kesehatan yang independen, bebas dari kepentingan politik.
Kebijakan Pemerintah dan Pandemi Covid-19
Ketika Black Death membunuh jutaan orang, masyarakat tidak berharap banyak terhadap raja dan kaisar. Sepertiga masyarakat Inggris meninggal pada gelombang pertama Black Death. Hal ini tidak membuat Raja Edward III kehilangan tahta. Karena menghentikan Black Death di luar kuasa raja. Selain itu, masyarakat tidak menilai raja gagal dalam menjalankan tanggung jawab kepemimpinannya.
Dewasa ini masyarakat mempunyai sains untuk menghentikan Covid-19. Pencapaian sains melalui kerja keras para ilmuwan pada dasarnya memberi tanggung jawab kepada para politisi. Namun, banyak politisi gagal memenuhi tanggung jawab tersebut. Misalnya, presiden populis Amerika Serikat dan Brasil tidak mau mendengarkan para ilmuwan dan justru mengajarkan teori konspirasi (conspiracy theories). Kelalaian dan tindakan tidak bertanggung jawab yang ditunjukkan Trump serta Bolsonaro mengakibatkan ratusan ribu orang meninggal.
Inggris lebih memusatkan perhatian pada Brexit daripada Covid-19. Pemerintahan Johnson gagal meminimalisir dan menghentikan Covid-19. Selain itu, Israel yang merupakan negara pulau (island country) dan hanya mempunyai satu gerbang utama (Bandara Ben Gurion), mengizinkan para pelancong melewati bandara tanpa karantina serta pemeriksaan kesehatan.
Berhadapan dengan situasi dan kondisi tersebut, Israel serta Inggris berada di garis depan dalam meluncurkan vaksin. Tetapi kesalahan pengambilan kebijakan politik sejak awal munculnya Covid-19 merugikan mereka. Pandemi Covid-19 di Inggris merenggut nyawa 120.000 orang. Sehingga Inggris menempati posisi keenam dalam tingkat rata-rata kematian akibat Covid-19. Sedangkan Israel menempati urutan ketujuh.
Israel membuat kesepakatan vaccines for data dengan perusahaan Pfizer Amerika untuk menanggulangi Covid-19. Perusahaan tersebut bersedia memberikan vaksin untuk seluruh penduduk apabila Israel memberikan sejumlah data berharga (valuable data). Hal ini menunjukkan bahwa data masyarakat menjadi salah satu aset negara yang paling berharga.
Sejumlah negara berhasil menanggulangi Covid-19. Namun, sejumlah negara lainnya gagal. Padahal komunikasi modern memungkinkan semua negara bekerja sama secara real time. Kegagalan menanggulangi Covid-19 terjadi karena tidak adanya kepemimpinan global (global leadership). Berbagai macam sarana dan prasarana tersedia, tetapi kebijakan politik tidak diputuskan dengan baik.
Pentingnya Kerja Sama Global
Terjadi kesenjangan antara keberhasilan sains dan kegagalan politik. Para ilmuwan mampu bekerja sama secara global. Sedangkan para politisi tenggelam dalam perseteruan. Meskipun harus bekerja di bawah tekanan dan ketidakpastian, para ilmuwan di seluruh dunia saling berbagi informasi. Hal ini nampak dalam proyek penelitian yang dilakukan para ilmuwan secara global. Misalnya, studi yang dilakukan oleh sembilan institusi yang berada di Inggris, Cina, dan Amerika Serikat mengenai keefektifan lockdown.
Politisi gagal membentuk aliansi internasional dan menyetujui rencana global untuk meminimalisir serta menghentikan Covid-19. Dua negara adidaya (Amerika Serikat dan Cina) saling menuduh menyembunyikan informasi penting dan menyebarkan teori konspirasi. Bahkan sejumlah negara memalsukan dan menyembunyikan data terkait Covid-19.
Realitas tersebut memperlihatkan kurangnya kerja sama global. Selain itu, ketersediaan dan distribusi peralatan serta perlengkapan medis kurang merata. Dengan demikian, harus ada upaya serius untuk memastikan distribusi peralatan dan perlengkapan medis secara adil. Terkait hal ini, ketersediaan dan distribusi vaksin untuk masyarakat juga harus diperhatikan dengan baik.
Israel dan Inggris mampu memberantas Covid-19. Namun, Covid-19 terus mewabah di India, Brasil, dan Afrika Selatan. Masyarakat semakin menderita ketika mutasi virus terus menyebar. Oleh karena itu, kerja sama global dibutuhkan untuk menanggulangi Covid-19.
Belajar dari Fenomena Pandemi Covid-19
Berdasarkan fenomena pandemi Covid-19, terdapat tiga pelajaran penting yang harus diejawantahkan dalam kehidupan masyarakat. Pertama, menjaga infrastruktur digital. Infrastruktur digital terbukti menjadi “penyelamat” di tengah pandemi. Tetapi serentak juga menjadi sumber pesoalan baru. Kedua, meningkatkan investasi pada bidang kesehatan. Ketiga, membuat sistem global yang kuat untuk memantau dan mencegah pandemi.
Sistem anti-wabah global sudah tersedia dalam Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization). Tetapi anggaran untuk mendukung sistem tersebut sangat terbatas. Sehingga anggaran untuk kesehatan harus ditingkatkan. Selain itu, harus ada otoritas kesehatan global yang independen, bebas dari kepentingan politik. Otoritas kesehatan tersebut bertugas untuk mengumpulkan data medis, memantau potensi pandemi, dan menumbuhkan serta mengembangkan penelitian.
Banyak orang khawatir bahwa Covid-19 menjadi awal dari gelombang pandemi baru. Terkait hal ini, manusia pada dasarnya tidak dapat mencegah munculnya virus baru. Karena virus merupakan hasil dari proses evolusi alami yang telah berlangsung selama miliaran tahun dan akan terus berlanjut. Namun, saat ini masyarakat mempunyai pengalaman, pengetahuan, dan sarana yang diperlukan untuk mencegah virus baru yang dapat menjadi pandemi.
Akhirnya, jika Covid-19 semakin mewabah pada 2021 dan membunuh jutaan orang, maka hal ini bukan bencana alam yang tidak dapat dikendalikan atau hukuman dari Allah. Realitas tersebut terjadi karena kegagalan manusia dan lebih tepatnya kegagalan pemerintah serta sistem politik dalam memutuskan kebijakan.
Sumber Bacaan:
Harari, Yuval Noah. “Lesson from a Year of Covid.” https://www.ft.com/content/f1b30f2c-84aa-4595-84f2-7816796d6841. Diakses pada 3 April 2021 pukul 11.54 WIB.
Catatan: tulisan ini pernah dimuat dalam majalah Gita Sang Surya, Vol. 16, No. 2 (Maret-April 2021), hlm. 4-8.
Luuar biasa