Cinta Menurut Yohanes Paulus II

0
2098

Yohanes Wahyu Prasetyo OFM

Rencana kekal Allah yaitu hidup bersama manusia dalam persatuan cinta abadi. Yohanes Paulus II menyebut Kidung Agung sebagai nyayian cinta manusia. Orang yang tidak percaya pada cinta manusiawi dari pasangan, harus meminta pengampunan untuk tubuh. Penegasan cinta manusia memungkinkan untuk menemukan Wahyu Allah di dalamnya. Hal ini menunjukkan elemen penting realitas inkarnasi atau sakramental. Karena misteri hidup Allah dan perjanjian kasih dikomunikasikan melalui kemanusiaan.

Kidung Agung melukiskan bahasa tubuh dalam kekayaan makna subjektifnya. Hal ini memungkinkan kita memasuki pengalaman cinta subjektif seperti kisah Tobias dan Sarah (Ef 5). Efesus 5 memperlihatkan persatuan satu daging (one flesh) sebagai misteri besar (great mystery) yang mengungkapkan dan mewartakan kasih Kristus serta Gereja. Terlepas dari ungkapan subjektif, Efesus 5 menyajikan kebenaran objektif bahasa tubuh. Tujuan internal perkawinan adalah memastikan bahwa ungkapkan cinta pasangan secara subjektif dalam hubungan seksual menegaskan kebenaran objektif rencana Allah.

Cinta pasangan bersifat liturgis (liturgical), berpartisipasi dalam misteri agung. Liturgi dapat dipahami sebagai perayaan ibadat ilahi Gereja. Ketika dihayati sesuai dengan misteri agung rencana Allah, perkawinan menjadi doa dan ekaristi (eucharistic), tindakan syukur yang dipersembahkan kepada Allah atas karunia sukacita. Tugas manusia adalah membuka hadiah cinta-Nya yang dicurahkan ke dalam hati kita. Kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita (Rm 5:5). Kehidupan doa membuka kesadaran manusia pada karunia cinta ilahi. Setelah menerima hadiah yang begitu besar, manusia harus berbagi kasih dengan orang lain.

Tuhan adalah satu-satunya yang menyatukan cinta perkawinan dan memungkinkan prokreasi. Nafsu mendorong manusia menuju hubungan seksual. Namun, sebagaimana dikatakan Yohanes Paulus II, jika keintiman seksual dihasilkan oleh nafsu, itu bukan cinta atau negasi cinta (negation of love). Sehingga cinta hanya sebuah bentuk pemanfaatan (utilization) pribadi. Terkait hal ini, kontrasepsi diciptakan bukan untuk mencegah kehamilan, tetapi menghindarkan manusia dari kesulitan melakukan pantang (abstinence). Karena manusia tidak dapat mengendalikan diri dan ingin melayani hawa nafsu.

Ketika manusia menghilangkan makna perkawinan dari tujuan prokreasi melalui kontrasepsi, maka mereka mengurangi misteri besar persatuan laki-laki dan perempuan dalam satu daging. Padahal Allah memberi manusia kebebasan sebagai kemampuan untuk mencintai. Kontrasepsi meniadakan kebebasan tersebut. Menurut Yohanes Paulus II, hubungan seksual dengan kontrasepsi menghentikan tindakan cinta. Hanya orang yang bebas dengan kebebasannya mampu memiliki cinta sejati.

Kebajikan membebaskan hasrat seksual manusia dari sikap utilitarian, kecenderungan menggunakan orang lain untuk kepuasan diri sendiri. Oleh karena itu, manusia harus melakukan pengendalian diri. Bukan hanya menolak keinginan yang tidak terkendali dengan kekuatan kehendak, tetapi mengalaminya sebagai kemampuan mengarahkan hasrat seksual. Mengarahkan hasrat erotis ke arah yang benar, baik, dan indah. Saat pasangan mengalami pembebasan dari nafsu, mereka masuk ke dalam kebebasan karunia yang memungkinkan mengekspresikan bahasa tubuh dalam kesederhanaan, kedalaman, dan keindahan.

Sumber Bacaan:

Paul II, John. Theology of the Body: The Redemption of the Body and Sacramentality of Marriage. Vatican: Libreria Edritice Vaticana, 2015.

West, Christopher. Theology of the Body for Beginners: A Basic Introduction to Pope John Paul II’s Sexual Revolution. USA: Ascension Press, 2009.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here