Gagasan Yohanes Paulus II Mengenai Keluarga Sebagai Rahmat Allah

0
1639

Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM

Keluarga pada hakikatnya merupakan rahmat yang diberikan Allah kepada manusia. Terkait hal ini, Allah mengkomunikasikan diri-Nya melalui tubuh laki-laki dan perempuan atau suami dan istri. Dalam Ef 5:31-32 dikatakan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.

Persatuan laki-laki dan perempuan dalam satu daging (one flesh) adalah simbol serta perwujudan misteri agung (great mystery) kasih Allah kepada manusia. Selain itu, persatuan tersebut melambangkan persatuan Kristus dan Gereja. Sebagaimana dikatakan Yohanes Paulus II, laki-laki dan perempuan yang bersatu serta membangun keluarga mengekspresikan misteri kekal Allah (God’s eternal mystery).

Yohanes Paulus II menggunakan Ef 5:21-32 sebagai landasan untuk merefleksikan nilai dan makna keluarga. Berdasarkan teks tersebut, ia menekankan supaya suami dan istri saling menghormati. Suami dipandang sebagai kepala istri sebagaimana Kristus adalah kepala Gereja. Bahkan suami harus mengasihi istri seperti Kristus mengasihi dan menyerahkan diri-Nya untuk Gereja. Perlu diketahui bahwa tindakan Kristus menguduskan dan membersihkan Gereja yaitu supaya Gereja suci serta tanpa cela.

Teks Ef 5:21-32 memperlihatkan kemuliaan dan kebesaran kehendak Allah untuk menciptakan laki-laki serta perempuan dan memanggil mereka untuk mewujudnyatakan persatuan. Menurut Yohanes Paulus II, kehendak Allah tersebut tidak berhenti sebagai misteri, tetapi tersingkap sepenuhnya (fully unveiled). Sehingga jalinan kasih suami dan istri dalam keluarga merupakan suatu bentuk penyingkapan misteri kasih Allah sekaligus menjadi undangan bagi laki-laki serta perempuan untuk mengupayakan persatuan.

Santo Paulus dalam Ef 4:22-24 menegaskan demikian, yaitu bahwa kamu, berhubung dengan kehidupan kamu yang dahulu, harus menanggalkan manusia lama, yang menemui kebinasaannya oleh nafsunya yang menyesatkan, supaya kamu dibaharui di dalam roh dan pikiranmu, dan mengenakan manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya.

Sebagaimana dipahami oleh Yohanes Paulus II, Ef 4:22-24 merupakan petunjuk bagi laki-laki dan perempuan untuk hidup dalam kesalehan dan kekudusan sejati (true righteousness and holiness), bukan dalam kekerasan hati (hardness of heart). Mereka dipanggil untuk hidup menurut gambar dan rupa Allah. Dengan kata lain, laki-laki dan perempuan harus menyadari rencana awal Allah ketika menciptakan mereka. Terkait kehidupan di dalam keluarga, suami dan istri harus mengupayakan keseimbangan kasih (balance of love), saling menyerahkan diri secara tulus.

Menurut Yohanes Paulus II, hai istri, tunduklah pada suamimu seperti kepada Tuhan (Ef 5:21) harus ditafsirkan dalam kaca mata di mana mereka harus saling menghormati, bukan mendominasi. Saling memberikan diri secara penuh, pemberian diri timbal balik (a reciprocal gift of self). Suami dan istri harus menyadari dan menghayati nilai serta makna tubuh mereka yang dimaksudkan untuk saling melengkapi dan memberi secara tulus.

Tindakan Kristus menyerahkan diri-Nya kepada Gereja harus menjadi sumber dan model bagi suami serta istri yang menghayati hidup berkeluarga. Yohanes Paulus II melihat bahwa tindakan suami dan istri yang saling menyerahkan diri serta menghormati merupakan bentuk kedewasaan spiritual dari ketertarikan timbal balik di antara mereka, laki-laki tertarik pada feminitas dan perempuan pada maskulinitas. Terkait hal ini, melalui pertobatan terus-menerus, mereka akan mengalami tingkat kemurnian yang dewasa (mature level of purity).

Laki-laki dan perempuan seharusnya melihat misteri Kristus di dalam tubuh serta hatinya. Panggilan laki-laki dan perempuan untuk bersatu merupakan misteri agung, mencerminkan persatuan Kristus serta Gereja. Dalam kaitannya dengan seksualitas, ketertarikan di antara laki-laki dan perempuan diharapkan sampai pada tataran kekaguman yang mendalam, bukan dikendalikan oleh nafsu (lust).

Laki-laki dipanggil untuk senantiasa mengendalikan diri (self-control) dan menaruh rasa hormat kepada istrinya. Oleh karena itu, hubungan seksual dilakukan bukan sekadar untuk memuaskan nafsu. Sebagaimana disampaikan Yohanes Paulus II, laki-laki harus mengedepankan aspek altruistik, bukan hedonistik. Namun, realitas memperlihatkan bahwa hanya sedikit orang yang mengejawantahkan kebajikan tersebut.

Perempuan menderita akibat dominasi dan nafsu laki-laki. Dalam Kej 3:16 dikatakan, susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu. Nafsu suami yang tidak teratur melukai istri. Oleh karena itu, suami harus mengendalikan diri, tidak tunduk di bawah kuasa nafsu.

Perlu diketahui bahwa istri melambangkan Gereja, sedangkan suami melambangkan Kristus. Menurut Yohanes Paulus II, pilihan untuk hidup berkeluarga selaras dengan panggilan orang Kristen (the vocations of Christians) apabila mencerminkan kasih Kristus (mempelai laki-laki) kepada Gereja (mempelai perempuan). Oleh karena itu, suami dan istri harus berjuang supaya kehidupan berkeluarga yang dijalani tidak jatuh ke dalam penindasan.

Santo Paulus dalam Ef 5:25 mengatakan, hai suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya. Perkataan Santo Paulus tersebut sudah diteladankan oleh Yesus yang menyerahkan diri-Nya sampai wafat di kayu salib. Dalam Mat 20:28 ditegaskan, sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.

Keluarga Kristen diharapkan menjunjung tinggi semangat saling melayani (mutual service), bukan semangat kekuasaan, kontrol, dan dominasi. Dalam Luk 22:25-26 ditegaskan, Yesus berkata kepada mereka: Raja-raja bangsa-bangsa memerintah rakyat mereka dan orang-orang yang menjalankan kuasa atas mereka disebut pelindung-pelindung. Tetapi kamu tidaklah demikian, melainkan yang terbesar di antara kamu hendaklah menjadi sebagai yang paling muda dan pemimpin sebagai pelayan.

Menurut Yohanes Paulus II, suami menempatkan diri sebagai pribadi yang mengasihi (loves), sedangkan istri memposisikan dirinya sebagai yang dikasihi (loved). Oleh karena itu, ketaatan (submission) istri kepada suami dihidupi lantaran telah mengalami kasih (the experiencing of love). Dengan kata lain, penyerahan diri istri secara tulus kepada suami harus mengacu pada semangat Gereja yang menyerahkan diri kepada Kristus.

Suami dan istri diharapkan mengalami kasih satu sama lain, sesuatu yang menyembuhkan serta menebus. Kasih di dalam keluarga tidak hanya berpartisipasi dalam misteri penciptaan (the mystery of creation) melalui kelahiran anak, tetapi juga berpartisipasi dalam misteri penebusan (the mystery of redemption). Yohanes Paulus II juga meyakini bahwa kasih di dalam keluarga yang bersifat otentik adalah kasih yang menebus dan menyelamatkan. Karena mereka pada hakikatnya dikasihi Allah sejak kekal.

Santo Paulus dalam Ef 5:27 menyatakan, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela. Namun, kekudusan bukanlah sesuatu yang otomatis. Ketika manusia mengalami pencobaan dan pergumulan, mereka harus membuka diri terhadap rahmat kasih Kristus (the gift of Christ’s love) yang memungkinkan penebusan serta penyelamatan. Menurut Yohanes Paulus II, kekudusan diukur berdasarkan misteri agung di mana Gereja menanggapi rahmat kasih Kristus.

Kekudusan diperoleh bukan sekadar sebagai upaya manusia, tetapi juga terkait dengan disposisi di mana manusia membiarkan diri diubah oleh kehendak Allah. Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu (Luk 1:38). Mengizinkan Kristus menyalibkan (crucify) kebiasaan manusia yang membangun relasi secara tidak teratur. Dalam Ef 5:26 dikatakan, untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman.

Laki-laki dan perempuan yang bersatu serta membangun keluarga bukan sekadar melambangkan baptisan dan Ekaristi (baptism and the Eucharist). Menurut Yohanes Paulus II, keluarga merupakan model sakramen perjanjian baru (the sacraments of the new covenant). Sakramen dicirikan oleh pasangan (spousal) yang menyatukan Gereja dengan Kristus. Dalam KGK 1617 dikatakan, seluruh kehidupan Kristen diwarnai cinta mempelai antara Kristus dan Gereja.

Sama seperti Allah menghendaki persatuan antara Adam dan Hawa dalam misteri penciptaan, Ia juga menghendaki persatuan antara Adam baru (new Adam) dan Hawa baru (new Eve) atau Kristus dan Gereja. Yohanes Paulus II melihat bahwa persatuan suami dan istri menjadi fondasi di mana Allah membangun misteri penebusan di dalam Kristus. Hal ini terkait dengan kehendak Allah untuk menyatukan umat manusia dengan Kristus. Dalam Ef 1:10 dikatakan, sebagai persiapan kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang di bumi.

Menurut Yohanes Paulus II, Yesus Kristus adalah pusat alam semesta dan sejarah (the center of the universe and of history). Perlu diketahui bahwa Allah menghendaki manusia bersatu dengan Kristus tidak hanya setelah mereka mengalami kejatuhan atau dosa. Karena Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya (Ef 1:4). Rahmat kasih Allah pada mulanya (in the beginning) disampaikan kepada Adam dan Hawa. Selanjutnya, rahmat kasih tersebut digenapi oleh Kristus dalam sejarah. Terkait hal ini, penciptaan merupakan persiapan untuk penebusan (redemption). Persatuan Adam dan Hawa mempersiapkan persatuan Adam dan Hawa yang baru, yaitu Kristus dan Gereja.

KGK 280 menegaskan, sejak awal Allah telah memikirkan kemuliaan ciptaan baru di dalam Kristus. Sedangkan Santo Paulus dalam Ef 5:31-32 mengatakan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat. Hal ini memperlihatkan bahwa Santo Paulus membuat korelasi antara satu daging (one flesh) dalam Kejadian dengan persatuan Kristus dan Gereja.

Menurut Yohanes Paulus II, persatuan Kristus dan Gereja serta persatuan suami dan istri diterangi oleh cahaya adikodrati (supernatural light). Melalui cahaya adikodrati, tubuh pada hakikatnya merupakan sakramen, membuat terlihat yang tidak terlihat (makes visible the invisible). Oleh karena itu, tubuh bersifat spiritual dan ilahi. Dengan kata lain, tubuh merupakan penyingkapan misteri Allah. Misteri Allah menunjukkan dua gagasan penting. Pertama, Allah adalah persekutuan kasih (communion of love). Kedua, manusia diminta untuk berbagi kasih melalui persatuannya dengan Kristus.

Yohanes Paulus II melihat bahwa sakramen pada hakikatnya mewujudkan (manifesting) misteri dalam tanda yang dimaksudkan untuk mewartakan misteri Allah melalui diri manusia. Tanda tersebut mengkomunikasikan misteri Allah yang menebus dan menyelamatkan. Misteri kasih Allah nampak melalui persatuan laki-laki dan perempuan yang membangun keluarga. Dalam penebusan, misteri kasih Allah menjadi realitas yang terlihat dalam persatuan Kristus dan Gereja. Sehingga melalui sakramen agung (great sacrament), misteri agung (great mystery) kehidupan manusia terungkap.

Manusia dipanggil untuk mengasihi yang lain sebagaimana telah ditunjukkan Kristus. Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu (Yoh 15:12). Kristus mengasihi manusia dengan memberikan diri-Nya. Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku (Luk 22:19). Terkait hal ini, persatuan suami dan istri merupakan tanda agung yang diberikan oleh Allah kepada dunia untuk mengungkapkan misteri kasih-Nya.

Sumber Bacaan:

Paul II, John. Theology of the Body: The Redemption of the Body and Sacramentality of Marriage. Vatican: Libreria Edritice Vaticana, 2015.

West, Christopher. Theology of the Body: A Basic Introduction to Pope John Paul II’s Sexual Revolution. USA: Ascension Press, 2009.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here