Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
Persatuan suami dan istri yang menjalani hidup berkeluarga salah satunya diekspresikan melalui tubuh (body). Menurut Yohanes Paulus II, tubuh mampu menyingkapkan realitas spiritual dan ilahi. Terkait hal ini, persatuan tubuh antara laki-laki dan perempuan dimaksudkan untuk mengungkapkan kasih ilahi (divine love). Dengan kata lain, mereka dipanggil untuk ambil bagian secara penuh dalam misteri agung kasih ilahi, persatuan Kristus dengan Gereja.
Yohanes Paulus II meyakini bahwa melalui bahasa tubuh (language of the body), laki-laki dan perempuan mengekspresikan maskulinitas serta feminitasnya. Perlu diketahui bahwa kasih Kristus dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori. Pertama, Kristus memberikan diri-Nya dengan cuma-cuma. Tidak seorang pun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri (Yoh 10:18). Kedua, Kristus memberikan tubuh-Nya secara total dan tanpa syarat. Sama seperti Ia senantiasa mengasihi murid-murid-Nya demikianlah sekarang Ia mengasihi mereka sampai kepada kesudahannya (Yoh 13:1).
Ketiga, Kristus memberikan tubuh-Nya dengan setia. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman (Mat 28:20). Keempat, Kristus memberikan tubuh-Nya dengan kelimpahan. Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyai dalam segala kelimpahan (Yoh 10:10). Jika laki-laki dan perempuan ingin menghindari perangkap kasih palsu (counterfeit love) dan mengejawantahkan panggilan sebagai orang Kristen, maka persatuan mereka harus mengungkapkan kasih yang bebas, total, setia, dan berbuah sebagaimana ditunjukkan oleh Kristus.
Kasih yang bebas, total, setia, dan berbuah harus nampak dalam keluarga. Karena dalam perkawinan, suami dan istri telah berjanji untuk menjadi satu daging. Menjadi satu daging salah satunya dimungkinkan melalui persetubuhan (intercourse). Oleh karena itu, setiap kali suami dan istri melakukan hubungan badan, hal ini dimaksudkan untuk memperbarui janji perkawinan mereka melalui bahasa tubuh.
Menurut Yohanes Paulus II, tubuh pada hakikatnya bersifat profetik (prophetic). Terkait hal ini, nabi adalah orang yang berbicara dan berupaya menyatakan misteri Allah. Namun, manusia harus mampu membedakan antara nabi yang benar dan yang salah. Jika manusia mampu menyatakan kebenaran (truth) dengan tubuh, maka ia juga bisa menyatakan kebohongan (lies) dengan tubuh.
Allah menghendaki tubuh manusia untuk menjadi tanda kasih. Namun, kuasa kejahatan ingin melawan tanda kasih tersebut dengan nafsu dan kematian (lust and death). Sebagaimana dikatakan Yohanes Paulus II, ketika laki-laki dan perempuan bersatu serta membangun keluarga, mereka akan menemukan situasi dan kondisi di mana kekuatan baik dan jahat bertarung. Oleh karena itu, suami dan istri harus berjuang supaya kasih serta hidup menang atas nafsu dan kematian.
Yohanes Paulus II merujuk pada Kidung Agung (Song of Songs) dan perkawinan Tobias serta Sarah sebagai dua contoh gemilang dari kemenangan kasih dan hidup atas nafsu serta kematian. Kidung Agung bukan sekadar alegori kasih spiritual Allah (allegory of God’s spiritual love). Menurut Yohanes Paulus II, Kidung Agung merupakan nyanyian kasih manusia (a song of human love).
Orang yang melupakan kekasih (forgotten the lovers) atau pasangannya, meragukan kasih manusia terhadap pasangan dan harus meminta pengampunan untuk tubuh. Yohanes Paulus II menegaskan bahwa kasih manusia (human love) memungkinkan menemukan Wahyu Allah di dalamnya. Perlu diketahui bahwa misteri Allah dan kasih perjanjian (covenant love) dikomunikasikan melalui kemanusiaan laki-laki dan perempuan.
Narasi Kidung Agung bersifat seksual dan sakral. Ketika yang sakral diabaikan, Kidung Agung nampak sebagai puisi erotis sekuler (secular erotic poem). Tetapi ketika sifat seksual dari Kidung Agung diabaikan, akan jatuh ke dalam alegorisme dan mengabaikan realitas fisik. Menurut Yohanes Paulus II, hanya dengan menggabungkan yang seksual dan yang sakral, orang akan membaca Kidung Agung dengan benar.
Engkau mendebarkan hatiku, dinda, pengantinku, engkau mendebarkan hati dengan satu kejapan mata, dengan seuntai kalung dari perhiasan lehermu. Betapa nikmat kasihmu, dinda, pengantinku! Jauh lebih nikmat cintamu dari pada anggur, dan lebih harum bau minyakmu dari pada segala macam rempah (Kid 4:9-10). Yohanes Paulus II melihat bahwa kedua pasangan yang dilukiskan dalam teks tersebut secara timbal balik merasa dekat, sedekat kakak dan adik yang dilahirkan oleh ibu yang sama.
Menurut Yohanes Paulus II, melalui hidup berkeluarga, laki-laki dan perempuan pada hakikatnya menjadi saudara serta saudari dengan cara yang istimewa. Kasih keluarga yang otentik selalu mengakui pasangannya sebagai saudara dan saudari yang saling berbagi serta memberikan diri secara tulus. Harus diingat bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan menurut gambar serta rupa Allah (image and likeness of God). Terkait hal ini, suami yang memandang istrinya sebagai saudari perempuan (sister) menggemakan kata-kata Adam. Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki (Kej 2:23).
Yohanes Paulus II menegaskan bahwa menyebut istri sebagai saudari perempuan merupakan tantangan bagi suami. Hal ini terkait dengan motivasi suami mengasihi istri. Apakah suami dimotivasi oleh kasih atau nafsu dan pemberian diri yang tulus atau keinginan untuk memuaskan keinginannya sendiri? Oleh karena itu, suami harus mengedepankan kasih, bukan nafsu. Melihat istri sebagai rahmat dan gambar Allah.
Dinda, pengantinku, kebun tertutup engkau, kebun tertutup dan mata air termeterai (Kid 4:12). Menurut Yohanes Paulus II, teks tersebut membantu pembaca untuk memahami misteri perempuan (the mystery of the women). Selain itu, mengungkapkan dimensi dan makna kedua pribadi yang saling mengasihi. Perlu diketahui bahwa kebun tertutup (garden closed) dan mata air termeterai (fountain sealed) menyingkapkan martabat pribadi perempuan.
Yohanes Paulus II melihat bahwa pada tataran tertentu perempuan menampilkan dirinya di hadapan laki-laki sebagai tuan dari misterinya sendiri (the master of her own mystery). Oleh karena itu, laki-laki harus menerima dan menghormati fakta di mana ia tidak dapat menguasai, mendominasi, dan mengontrol perempuan. Perempuan mengendalikan dirinya sendiri, misterinya sendiri. Terkait hal ini, setiap pribadi manusia adalah misteri yang tidak dapat diganggu gugat, cerminan unik misteri Allah.
Sebagaimana diungkapkan Yohanes Paulus II, kasih sejati memberi jalan masuk (entering) ke dalam misteri orang lain dengan tidak melanggar misteri orang tersebut. Jika kasih (love) seseorang melanggar yang dikasihi (loved), maka itu bukan kasih dan tidak boleh disebut kasih, melainkan kasih palsu atau nafsu. Apabila laki-laki ingin ambil bagian dalam misteri perempuan, ia tidak dapat masuk begitu saja.
Laki-laki tidak boleh memanipulasi perempuan, karena akan menjadi pemerkosaan (rape). Oleh karena itu, laki-laki harus memberikan kebebasan kepada perempuan sebagai tuan dari misterinya sendiri. Dengan kata lain, laki-laki hanya boleh mengetuk pintu (knock at the door) dan menunggu tanggapan perempuan dalam rasa penuh hormat. Bukalah pintu, dinda, manisku, merpatiku, idam-idamanku, karena kepalaku penuh embun, dan rambutku penuh tetesan embun malam (Kid 5:2). Kekasihku memasukkan tangannya melalui lobang pintu, berdebar-debarlah hatiku (Kid 5:4). Dalam kebebasan total, perempuan tersebut membuka pintu untuk laki-laki, menyerahkan diri kepadanya. Bangunlah, hai angin utara, dan marilah, hai angin selatan, bertiuplah dalam kebunku, supaya semerbaklah bau rempah-rempahnya! (Kid 4:16).
Menurut Yohanes Paulus II, taman tertutup (perempuan) terbuka di depan jiwa dan tubuh laki-laki. Melalui rasa hormat dan kekaguman yang mendalam, laki-laki melihat misteri perempuan yang tersingkap. Laki-laki tersebut datang sambil menikmati hadiahnya dengan penuh kekaguman. Aku datang ke kebunku, dinda, pengantinku, kukumpulkan mur dan rempah-rempahku, kumakan sambungku dan maduku, kuminum anggurku dan susuku (Kid 5:1).
Yohanes Paulus II menilai bahwa narasi yang sangat erotis dari Kidung Agung mengungkapkan misteri kasih sejati (authentic love). Kasih sejati dari laki-laki dan perempuan merupakan tanda penting dari kekudusan (essential sign of holiness). Laki-laki dan perempuan tersebut mampu membaca bahasa tubuh dengan benar, yaitu sebagai tanda kasih ilahi (divine love). Dengan demikian, persatuan laki-laki dan perempuan serta kasih kemanusiaan (human love) mengkomunikasikan dimensi ilahi, kasih dan rahmat Allah.
Sebagaimana ditegaskan Yohanes Paulus II, laki-laki dan perempuan yang bersatu serta membangun keluarga merupakan tanda yang menunjukkan sikap saling memberikan diri yang mengunci seluruh hidup mereka. Hal ini merupakan kekuatan dan makna persatuan sebagaimana dikehendaki Allah. Hubungan seksual suami dan istri mengemukakan bahwa aku milikmu sepenuhnya sampai mati. Aku milikmu dan kamu milikku sampai maut memisahkan kita.
Persatuan laki-laki dan perempuan yang dilakukan melalui hubungan seksual sebagaimana dikehendaki Allah mengandung nilai serta makna. Terkait hal ini, hubungan seksual disebut sebagai pelukan perkawinan (the marital embrace). Hubungan seksual mempunyai nilai dan makna apabila mengungkapkan kasih yang sekuat kematian (strong as death).
Taruhlah aku seperti meterai pada hatimu, seperti meterai pada lenganmu, karena cinta kuat seperti maut, kegairahan gigih seperti dunia orang mati, nyalanya adalah nyala api, seperti nyala api TUHAN! Air yang banyak tak dapat memadamkan cinta, sungai-sungai tak dapat menghanyutkannya (Kid 8:6-7). Berdasarkan teks tersebut, laki-laki tidak secara dangkal tertarik terhadap tubuh perempuan. Tetapi ia menampilkan dirinya sebagai orang yang terpikat dan terpesona (captivated and fascinated) terhadap seluruh misteri yang dimiliki perempuan. Karena perempuan harus dihormati, mempunyai martabat, dan dipandang sebagai saudari.
Narasi dalam Kidung Agung membantu untuk membuat pembedaan antara kasih sejati dan nafsu. Terkait hal ini, perkawinan Tobias dan Sarah dalam Kitab Tobit menunjukkan sesuatu yang dipertaruhkan dalam kasih sejati serta nafsu. Perlu diketahui bahwa sejak awal perkawinan Tobias dan Sarah harus menghadapi ujian hidup atau mati. Menurut Yohanes Paulus II, kasih yang kuat seperti kematian (strong as death) dalam narasi Kidung Agung memperlihatkan karakteristik ujian yang nyata yang harus dihadapi suami dan istri.
Tob 6:13-14 melukiskan Sarah menikah tujuh kali. Karena kejahatan setan, setiap suami yang menikahinya meninggal sebelum melakukan hubungan seksual atau bulan madu. Kemudian malaikat menampakkan diri kepada Tobias dan mengatakan bahwa ia akan menikahi Sarah. Sehingga wajar apabila Tobias merasa takut. Ketakutan Tobias semakin menguat ketika ayah Sarah menyiapkan makam untuknya. Realitas memperlihatkan bahwa Tobias berani menghadapi ujian dan mengambil Sarah menjadi isterinya. Kemudian muncul pertanyaan, mengapa Tobias tidak meninggal? Tobias hidup karena selama malam pertama, kasih yang didukung oleh doa dinyatakan lebih kuat daripada kematian.
Terpujilah Engkau, ya Allah nenek moyang kami, dan terpujilah nama-Mu sepanjang sekalian abad. Hendaknya sekalian langit memuji Engkau dan juga segenap ciptaan-Mu untuk selama-lamanya. Engkaulah yang menjadikan Adam dan baginya telah Kaubuat Hawa isterinya sebagai pembantu serta penopang; dari mereka berdua lahirlah umat manusia seluruhnya. Engkaupun bersabda pula: Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja, mari kita menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia. Bukan karena nafsu berahi sekarang kuambil saudariku ini, melainkan dengan hati benar. Sudilah kiranya mengasihani aku ini dan dia dan membuat kami menjadi tua bersama. Serentak berkatalah mereka: Amin! Amin! (Tob 8:5-8).
Yohanes Paulus II menggambarkan doa tersebut sebagai pengakuan iman pasangan (spouses’ conjugal creed). Kredo tersebut berasal dari kedalaman kasih di hati pasangan baru dan mengekspresikannya dalam bahasa yang menghidupkan tubuh mereka. Oleh karena itu, keyakinan (creed) berfungsi untuk menghadang iblis yang ingin memasukkan nafsu dan kematian ke dalam tubuh mereka. Tobias pertama-tama memuji Allah karena kebaikan-Nya. Selain itu, ia menyebut Sarah sebagai saudari perempuan (sister).
Tobias membandingkan nafsu dengan pemberian diri yang tulus (the sincere gift of self). Ia mengetahui dan menyadari bahwa dirinya membutuhkan belas kasih Allah untuk mengejawantahkan kebenaran kasih. Selain itu, Tobias ingin menghabiskan seluruh hidupnya dengan Sarah. Kata “amin” yang diucapkan Sarah dalam doa menunjukkan bahwa ia memiliki keinginan yang sama dengan Tobias.
Kasih Tobias kepada Sarah merupakan tipe (type) dari kasih Kristus untuk Gereja. Kristus memandang kematian dalam ranjang perkawinan (marriage bed) di kayu salib. Hal ini dimaksudkan untuk menyempurnakan kasih-Nya bagi Gereja dan menaklukkan kematian dengan kebangkitan menuju hidup baru (new life). Tobias juga menatap kematian di ranjang perkawinannya dan ia diilhami oleh kasih pengorbanan (sacrificial love) serta menaklukkan kematian (conquered death).
Jika hubungan seksual adalah ujian hidup atau mati (test of life or death), maka ketika menghadapi kasih sejati dari pasangan, kematian pada dasarnya tidak memiliki kesempatan. Hai maut di manakah kemenanganmu? Hai maut, di manakah sengatmu? (1Kor 15:55). Suami dan istri yang saling mengasihi sesuai dengan kehendak Allah dan percaya pada belas kasih-Nya tidak akan takut berhadapan dengan berbagai macam tantangan. Mereka bersedia menempatkan diri di antara kekuatan yang baik dan yang jahat. Menurut Yohanes Paulus II, hal ini dilakukan karena mereka percaya pada kemenangan kebaikan (the victory of good) dan bersedia melakukan segala sesuatu supaya kebaikan menang atas kejahatan.
Perlu diketahui bahwa Ef 5 berbicara mengenai misteri agung (great mystery) dan persatuan laki-laki serta perempuan ke dalam satu daging (one flesh). Terkait hal ini, Yohanes Paulus II menegaskan bahwa Kidung Agung juga menarasikan bahasa tubuh melalui pengalaman kasih Tobias dan Sarah. Persatuan laki-laki dan perempuan ke dalam satu daging pada hakikatnya merupakan misteri agung yang dimaksudkan untuk mengungkapkan serta mewartakan jalinan kasih antara Kristus dan Gereja.
Tujuan internal perkawinan adalah untuk mengungkapkan kebenaran objektif kehendak Allah. Harus diakui bahwa perkawinan yang kemudian ditandai dengan hubungan seksual tidak memberikan jaminan terciptanya kesucian dan keindahan. Namun, perkawinan merupakan syarat untuk mengalami kemuliaan dan kesucian hubungan seksual yang sejati. Terkait hal ini, etos, orientasi, dan keinginan mereka harus sesuai dengan martabat dan kasih sejati keduanya. Sehingga mereka harus mengejawantahkan semangat doa dan melakukan pertobatan seumur hidup.
KGK 2711 menegaskan demikian, langkah masuk ke dalam doa batin dapat dibandingkan dengan pembukaan perayaan Ekaristi: di bawah dorongan Roh Kudus, kita “mengarahkan” hati dan seluruh diri kita, hidup dengan sadar dalam kediaman Tuhan, yang adalah kita sendiri, dan menghidupkan iman untuk masuk ke hadirat Dia yang menantikan kita. Kita membuka topeng kita dan mengarahkan kembali hati kepada Tuhan yang mencintai kita, untuk menyerahkan diri kepada-Nya sebagai persembahan yang harus dimurnikan dan ditransformasi.
Doa tersebut juga dilakukan Tobias dan Sarah sebelum menjadi satu daging di dalam kamar pengantin, mencari Allah dalam doa (sought the Lord in prayer). Menurut Yohanes Paulus II, doa merupakan peristiwa pemurnian (the moment of purification) yang harus dilakukan sebelum mengungkapkan makna pemberian diri secara timbal balik melalui tubuh dalam segala kebenarannya. Yohanes Paulus II menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan yang membangun hidup berkeluarga mengalami bahasa tubuh, mengalami bahasa liturgi Gereja (the language of the Church’s liturgy). Hal ini memperlihatkan kasih pasangan yang melewati misteri agung dan masuk ke dalam integrasi antara yang duniawi serta yang sakral. Dalam KGK 1069 dikatakan demikian, dalam tradisi Kristen liturgi berarti bahwa Umat Allah mengambil bagian dalam “karya Allah”.
Karya Allah mengacu pada misteri agung di mana Kristus menebus dan menyelamatkan manusia melalui wafat serta kebangkitan-Nya. Jika dikatakan bahwa kasih pasangan adalah liturgi (liturgy), maka hal ini berarti mereka ambil bagian dalam misteri agung Allah. Ketika hidup berkeluarga sesuai dengan misteri agung Allah, jalinan kasih laki-laki dan perempuan dalam perkawinan menjadi suatu doa yang mendalam. Hal ini juga menjadi Ekaristi (Eucharist), tindakan syukur yang dipersembahkan kepada Allah atas karunia sukacita untuk berbagi dalam hidup dan sukacita-Nya.
Bahkan mereka akan melihat ranjang perkawinan sebagai altar di mana keduanya mempersembahkan tubuh dalam pengorbanan yang hidup, suci, dan diterima oleh Allah. Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati (Rm 12:1).
Doa yang otentik dapat menghidupkan (turn on) gairah yang luhur dan kasih yang sejati. Selain itu, doa merupakan dialog kasih (dialogue of love) dengan Allah. Hal ini menuntut komitmen yang kuat supaya mereka memperoleh kedamaian dan kegembiraan. Mereka juga harus terbuka terhadap kehendak kasih Allah. Kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita (Rm 5:5). Setelah menerima rahmat kasih Allah, mereka harus membagikannya kepada yang lain.
Sumber Bacaan:
Paul II, John. Theology of the Body: The Redemption of the Body and Sacramentality of Marriage. Vatican: Libreria Edritice Vaticana, 2015.
West, Christopher. Theology of the Body: A Basic Introduction to Pope John Paul II’s Sexual Revolution. USA: Ascension Press, 2009.