Hidup dan Karya-Karya Tertulianus

0
3993

Oleh: Guido Ganggus OFM

Kehidupan Tertulianus

Catatan terperinci mengenai kehidupan Tertulianus yang beredar begitu terbatas sehingga sebagian besar orang menulis tentang Tertulianus hanya mengacu pada tulisannya sendiri sehingga tidak luput dari aneka penafsiran terhadap kehidupan atau tulisannya.[1] Tertulianus adalah seorang pembela iman yang lahir kira-kira tahun 155 di Kartago dari dari keluarga kafir.[2] Pada manuskrip abad pertengahan namanya ditambahkan menjadi Quintus Septimius Florens Tertulianus.[3] Ia hidup pada masa pemerintahan beberapa kaisar dan sebagian besar karyanya dituliskan pada masa pemerintahan kaisar Septimius Severus (193-211) dan kaisar Caracalla (211-217).[4] Ayahnya adalah seorang serdadu Romawi yang mengabdi di wilayah gubernur Romawi Afrika. Menurut Santo Hieronimus (De Viris Illustribus), Tertulianus merupakan seorang imam di Kartago.[5] Tetapi ia tidak menonjol dalam tugas sebagai imam, tetapi ia lebih banyak menghabiskan waktu sebagai pengajar. Ia merupakan seorang penulis terkenal dan menguasai bahasa Yunani dan Latin.[6] Kehadiran Tertulianus dalam sejarah kekristenan memberikan banyak hal-hal baru terutama istilah-istilah dalam Bahasa Latin.

Pendidikan Tertulianus

Pada masa mudanya, Tertulianus pergi ke Roma untuk mengenyam pendidikan.[7] Di Roma, ia belajar banyak hal yang mencakup sastra, hukum, retorika, dan filsafat.[8] Di Roma dia menyempatkan diri menjadi seorang pengacara yang terkenal. Dari kisah masa muda di Roma dapat disimpulkan Tertulianus adalah tokoh yang hebat. Dia memiliki kecerdasan intelektual (menguasai dengan baik bahasa Yunani dan Latin) yang luar biasa melebihi orang-orang sezamannya. Ilmu yang diperoleh menjadi perbendaharaan yang baik untuk menulis berbagai pembelaan tertulis terhadap iman orang Kristen. Setelah pertobatannya tahun 193, dia kembali ke Kartago.

Tertulianus memisahkan secara tegas antara agama dan filsafat.[9] Ia  menolak filsafat, namun aliran filsafat pada zamannya mengubah pola pikir sehingga perlahan menerima filsafat.[10] Bagi Tertulianus kebenaran berasal dari agama (Kristen), dan agama tidak ada hubungannya dengan filsafat. Namun, pada akhirnya ia pun menerima filsafat sebagai pencari kebenaran dengan jalan rasio. Ia merupakan filsuf yang banyak mendapatkan pengaruh dari Stoa dengan penggunaan konsep spirit, word, substance, dan sebagainya.[11]

Pertobatan Tertulianus

Kira-kira pada tahun 193, ia bertobat meninggalkan nuansa kekafiran dan masuk menjadi Kristen.[12] Secara umum ia tidak menceritakan alasan pertobatannya. Tetapi dalam tulisannya, dikatakan bahwa bukan pemikiran filosofis yang membawanya pada pertobatan tetapi karena penganiayaan orang Kristen.[13] Dalam suratnya kepada Scapulam (gubernur Romawi untuk Afrika Utara), ia melihat bahwa penderitaan dan kemartiran orang Kristen justru membawa mereka pada “kebenaran” dan menggapai kebenaran itu. Tertulianus terpukul melihat orang Kristen yang tetap setia mempertahankan imannya demi kebenaran walaupun dianiaya dan disiksa dengan kejam oleh pemerintah.

Setelah pertobatannya, Tertulianus mengalihkan semua latar belakang pendidikannya ke dalam tulisan-tulisan untuk mempertahankan imannya antara tahun 195-220. Dalam kurun waktu itu, dia menuliskan sejumlah tulisan-tulisan yang sangat berpengaruh bagi doktrin Kristen. Tertulianus menulis aneka tulisan untuk melawan berbagai situasi yang mengancam kehidupan umat Kristen, seperti penindasan, penganiayaan, dan aneka aliran sesat.

Tertulianus Bergabung dengan Montanisme

Montanisme adalah sebuah gerakan karismatik dan apokaliptik yang lahir pada abad II tepatnya tahun 170.[14] Gerakan ini diprakarsai oleh Montanus setelah dirinya dibaptis di sebuah tempat di Ardabau yang berbatasan dengan Phrygia dan Mysia. Montanus mengaku bahwa ia diilhami oleh Roh Kudus dan diutus menjadi juru bicara atau pembawa pesan untuk membawa Gereja pada kebenaran. Priscilla dan Maximillia lantas bergabung dengannya dan dengan setia menjadi pewarta ke setiap wilayah yang mereka lalui. Ciri yang paling menonjol adalah “pesan eskatologis” (eschatological message), yaitu kedatangan Tuhan yang kedua sudah dekat dan dengan itu Yerusalem surgawi akan hadir di kota Phrygia.[15] Kedatangan Tuhan yang kedua menuntut suatu persiapan dengan melakukan praktik hidup moral yang baik, seperti puasa, askese, mati raga, dan sebagainya. Bidah pendatang baru ini pada awalnya diterima oleh Paus seperti Eleutherus (174-189), Viktor (189-199), dan Zephyrinus (199-217) karena banyak dari ajaran mereka setuju dengan cita-cita Gereja awal: puasa, nubuat, kepercayaan pada Roh Kudus, dan kemartiran. Namun pihak Gereja khususnya Paus Zephyrinus mulai menolak Montanisme (tahun 203) karena Montanus mengklaim diri sebagai Roh Kudus dan juru bicara Roh Kudus.[16]

Tertulianus rupanya tertarik dengan Montanisme dan segala ajarannya. Oleh karena itu pada tahun 207, ia masuk menjadi penganut Montanisme. Tertulianus sebenarnya tidak memutuskan hubungan dengan Gereja, melainkan hanya mengkritik kehidupan Gereja yang menyimpang dari prinsip-prinsip moral, menentang kecendrungan yang berkembang di abad II di mana terdapat pembentukan struktur hierarkis yang kaku, para uskup menjadi tokoh sentral dalam pengajaran doktrin-doktrin, memiliki kekuasaan mutlak dalam mengendalikan pikiran dan perilaku anggota Gereja.[17] Pada abad IV, secara resmi Tertulianus dinyatakan sebagai sesat dan penganut Montanisme. Dia menentang segala perubahan dalam Gereja yang sudah dipengaruhi arus sekular dan terbentuk pelembagaan atau hierarki.[18] Menjelang akhir hidupnya, dia mendirikan sekte Tertulianist.[19] Wataknya yang konservatif membuat ia semakin menentang Gereja dan Montanisme.

Karya-Karya[20]

Karya-karya Tertulianus sepanjang hidupnya terdiri dari puluhan karya yang meliputi beberapa bagian: pertama, karya Apologetik.[21] Karya apologetik terdiri dari beberapa karya yang dituliskan pada tahun berbeda  seperti; Ad Nationes (197), Apologeticum (197), De Testimonio Animae (198), Ad Scapulam (September 212), Adversus Judaeos (197). Kedua, karya-karya Kontroversial.[22] Karya yang dinilai kontroversial seperti, De Praescriptione Haereticorum (203), Adversus Marcionem (April 208), Adversus Hermogenes (204/205), Adversus Valentinianos (206/207), De Babtismo (antara 198 dan 203), Scorpiace (akhir 203/ awal 204), De Carne Christi (206), the Resurrection of the Flesh, Adversus Praxean (210/211), De Anima (206/207). Ketiga, Karya praktis, moral, dan asketik.[23] Karya ini terdiri dari beberapa karya yaitu Ad Martyras (197), De Spectaculis (196/ awal 197), De Cultu Feminarum (205/206), De Oratione (antara 198 dan 203), De Patientia (antara 198 dan 203), De Paenitentia (antara 198 dan 203), Ad Axorem (antara 198 dan 203), De Exhortatione Castitatis (208/209), De Monogamia (210/211), De Virginibus Velandis (208/209), De Corona (208), De Fuga in Persecutione (203), De Idololatria (196/ awal 197), De Pudicitia (210/211), dan De Pallio (205).

Selain sejumlah karya tersebut, diakui bahwa masih banyak karya lainnya yang hilang serta sejumlah tulisan yang tidak otentik.[24] Walaupun Tertulianus seorang Montanisme radikal, ia tetap dihormati sebagai tokoh pendiri teologi Barat dan Bapak Kristologi.[25] Pokok pikiran Bapak teologi Latin ini[26] menginspirasi refleksi Gereja melalui penggunaan istilah-istilah teknis baru yang diperkenalkannya.

[1] Marian Hillar, From Logos to Trinity: the Evolution of Religious Beliefs  from Pythagoras to Tertullian (Cambridge: University Press, 2012), hlm. 191.

[2] Johannes Quasten, Patrology: The Ante-Nicene Literature After Irenaeus, Vol. II (Westminster: The Newman Press, 1964), hlm. 246.

[3] Penambahan nama “Septimius” terinspirasi dari salah satu kaisar pada masa hidupnya yaitu Septimius Saverus. Septimi sendiri  berarti “rendah hati”. Lih. Timothy D. Barnes, Tertullian: A Historical and Literary Study (Oxford: Clarendon Press, 1971), hlm. 242.

[4] C. Tibiletti, “Stoicism and the Fathers” dalam Encyclopedia of the Early Church, Vol. II, diedit oleh Angelo Di Berardino, diterjemahkan oleh Adrian Walford (Cambridge: James & Co, 1992), hlm. 796.

[5] Dalam Hieronimus, seperti yang dipahami oleh Johannes Quasten, Patrology: The Ante-Nicene Literature After Irenaeus, hlm. 246-247.

[6] Bahasa Yunani merupakan bahasa resmi pada zaman Tertulianus. Tetapi menjelang akhir abad II, banyak umat Kristen Barat kekaisaran Romawi kurang memahami Bahasa Yunani sehingga terdapat kebutuhan untuk menerjemahkan Kitab Suci ke Bahasa Latin. Tertulianus dalam konteks ini mencoba menjawab kebutuhan dengan mencoba menulis dalam Bahasa Latin (Adversus Praxeas, De Monogami). Bahasa Latin mulai dipopulerkan oleh Tertulianus melalui tulisan teologisnya. Tertulianus dalam beberapa karya menulis dalam Bahasa Latin (De Specatulis, De Baptismo, dan sebagainya). Dokumen tertua dalam bahasa Latin sudah ada sebelumnya yang menceritakan kisah beberapa martir di Scilitan (Acts of the Scillitan Martirs, 180 ). Tetapi sebenarnya terjemahan Kitab Suci sudah mulai di Roma oleh gembala Hermas dan Klemens dari Roma. Lih. Timothy D. Barnes, Tertullian: A Historical and Literary Study (Oxford: Clarendon Press, 1971), hlm. 63, 262-263, 276-278; Johannes Quasten, Patrology: The Ante-Nicene Literature After Irenaeus, hlm. 244; Johannes Quasten, Patrology: The Beginnings of Patristic Literature from the Apostles Creed to Irenaeus, hlm. 20-22.

[7] Timothy D. Barnes, Tertullian: A Historical and Literary Study, hlm. 1.

[8] Hans V. Campenhausen, The Fathers of the Latin Church, diterjemahkan oleh Manfred Hoffman (California: Stanford University Press, 1969), hlm. 5.

[9] Bdk. Eric Osborn, Tertullian, First Theologian of the West (Cambridge: University Press, 1997), hlm. 27-28.

[10] “Tertullian scornfully mocked those who advocate a Stoic or a Platonic or an Aristotelian Christianity. It was a Gnostic thesis that faith needs supplementation by philosophical inquiries. “what has Athens in common with Jerusalem?”. Kutipan ini sedikitnya menggambarkan penolakan pada filsafat. Namun pada pertengahan abad II, filsafat mulai diterima. Lih.  Henry Chadwick, The Early Church (London: Penguin Book, 1967), hlm. 74-75.

[11] Eric Osborn, Tertullian, First Theologian of the West, hlm. 35.

[12] Johannes Quasten, Patrology: The Ante-Nicene Literature After Irenaeus, hlm. 246.

[13]Johannes Quasten, Patrology: The Ante-Nicene Literature After Irenaeus, hlm. 247, Hans V. Campenhausen, The Fathers of the Latin Church, hlm. 6.

[14] Michael C. Thomsett, Heresy in the Roman Catholic Church a History (London: McFarland & Company, 2011), hlm. 32.

[15] Karl Baus, “From the Apostolic Community to Constantine”, dalam History of the Church, Vol I, diedit oleh Hubert Jedin dan John Dolan (London: Burn & Oates, 1980), hlm. 200.

[16] Michael C. Thomsett, Heresy in the Roman Catholic Church a History, hlm. 32.

[17] Marian Hillar, From Logos to Trinity, hlm. 197-198.

[18] Marian Hillar, From Logos to Trinity, hlm. 198.

[19] Fakta bahwa Tertulianus mendirikan sekte baru belum jelas. Berdasarkan pengakuan Agustinus, Tertulianus mendirikan suatu sekte baru sebagai akibat ketidakpuasan dalam Montanisme. Hal ini diterima mengingat Tertulianus yang selalu memberontak melawan Gereja. Namun timbul keraguan; Bagaimana Agustinus tahu hal itu?. Hieronimus yang hidup sebelum Agustinus justru menyatakan bahwa Tertulianus belum pasti mendirikan sebuah sekte baru. Tertulianist sendiri sudah lama dikatakan sebagai kelompok pemberontak dari Afrika (partai Montanis) yang memiliki hubungan dengan komandan Britania Magnus Maximus yang berusaha merampas tahta melawan kaisar Gratian. Kemiripan nama tidak menjamin bahwa Tertulianus yang mendirikan atau memiliki hubungan dengan sekte itu. Bdk. Hans V. Campenhausen, The Fathers of the Latin Church, hlm. 35; Karl Baus, “From the Apostolic Community to Constantine”, hlm. 250; Timothy D. Barnes, Tertullian: A Historical and Literary Study, hlm. 258-259.

[20] Kronologi penulisan karya Tertulianus berdasarkan pembacaan penulis pada buku Timothy D. Barnes, Tertullian: A Historical and Literary Study, hlm. 55.

[21] Johanes Quasten, Patrology: The Ante-Nicene Literature After Irenaeus, hlm. 255.

[22] Johanes Quasten, Patrology: The Ante-Nicene Literature After Irenaeus, hlm. 269.

[23] Johanes Quasten, Patrology: The Ante-Nicene Literature After Irenaeus, hlm. 290.

[24] Johanes Quasten, Patrology: The Ante-Nicene Literature After Irenaeus, hlm. 317-318.

[25] Bagi Johannes Quasten, terlalu dini jika Tertulianus disebut sebagai pendiri teologi Barat dan bapak Kristologi. Mengapa?, karena Tertulianus belum memiliki kualifikasi esensial dan keteraturan pikiran untuk mengatur tulisan-tulisan teologinya dalam suatu sistem yang logis atau belum menempatkan tulisan tersebut sesuai tempatnya. Tetapi, Tertulianus memiliki kemampuan spekulatif yang bagus (melawan bidah) dan banyak orang mengakui dan tidak menyangkalnya. Lih. Johannes Quasten, Patrology: The Ante-Nicene Literature After Irenaeus, hlm. 319-320.

[26] Tertulianus disebut “Bapak teologi Latin” karena telah memberikan sejumlah istilah baru pada teologi. Ia juga teolog pertama yang menulis dalam Bahasa Latin dengan terminologi terkenal Trinitas. Lih. Stanlay L. Greenslade (penerjemah dan editor), Early Latin Theology, Selections from Tertullian, Cyprian, Ambrose, and Jerome (Philadelphia: The Westminster Press, 1956 ). hlm. 23.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here