Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
Para Uskup Katolik Amerika Serikat menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak dibenarkan. Kekerasan dalam bentuk fisik, seksual, psikologis, dan verbal dikategorikan sebagai dosa serta kejahatan. Sejumlah perempuan yang dilecehkan meyakini bahwa ajaran Gereja Katolik mengenai kelanggengan perkawinan mengharuskan mereka berada dalam kesetiaan relasi dengan pasangannya. Mereka ragu untuk meminta perceraian dan takut tidak dapat menikah kembali di dalam Gereja Katolik. Menurut para Uskup Amerika Serikat, tidak ada yang diharapkan untuk berada dalam perkawinan yang melecehkan. Tindakan kekerasan dan pelecehan menunjukkan bahwa pelaku melanggar perjanjian perkawinan melalui perilakunya yang kasar.
Suami yang memperlakukan istrinya secara kasar sering kali mengutip teks Kitab Suci untuk membenarkan tindakannya. Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan (Ef 5:22). Namun perikop tersebut pada dasarnya harus dibaca secara keseluruhan (Ef 5:21-33), mengacu pada penyerahan bersama antara suami dan istri karena kasih kepada Kristus. Oleh karena itu, suami harus mengasihi istrinya seperti ketika ia mengasihi tubuhnya sendiri, seperti Kristus mengasihi Gereja. Para Uskup Katolik mengutuk penggunaan Kitab Suci untuk mendukung perilaku kasar dalam bentuk apa pun. Mereka harus memperlakukan satu sama lain dengan bermartabat dan hormat.
Suami yang melakukan tindak kekerasan terhadap istri sering kali juga mengutip teks Kitab Suci untuk menegaskan bahwa perilakunya dimaafkan oleh istrinya (Mat 6:9-15). Istri merasa bersalah apabila tidak memaafkan suaminya. Meskipun demikian, pengampunan tidak berarti melupakan pelecehan atau pura-pura peristiwa tersebut tidak terjadi. Karena pengampunan bukanlah izin untuk mengulangi pelecehan. Pengampunan harus dipahami sebagai situasi dan kondisi di mana korban memutuskan untuk melepaskan pengalaman tersebut dan melanjutkan hidup serta tidak mentolerir tindak kekerasan.
Sakramen rekonsiliasi menawarkan kesempatan penting untuk mengatasi persoalan tersebut. Meskipun terdapat batasan untuk menangani persoalan KDRT di kamar pengakuan, karena meterai pengakuan dan kerahasiaan mutlak tersirat di dalamnya. Paus Fransiskus dalam Amoris Laetitia mengakui bahwa KDRT ada di dalam keluarga-keluarga Katolik dan persoalan tersebut sudah menjadi rahasia umum. Paus Fransiskus mengutip KHK kanon 1153 yang menegaskan bahwa jika satu dari pasangan menyebabkan bahaya besar bagi jiwa atau badan pihak lain atau anaknya, atau membuat hidup bersama terlalu berat, maka ia memberi alasan legitim kepada pihak lain untuk berpisah dengan keputusan Ordinaris Wilayah, dan juga atas kewenangannya sendiri, bila penundaan membahayakan. Dalam semua kasus itu, bila alasan berpisah sudah berhenti, hidup bersama harus dipulihkan, kecuali ditentukan lain oleh otoritas gerejawi.
Terdapat tiga pokok gagasan terkait bagaimana umat Katolik harus memandang dan menanggapi KDRT. Pertama, pelecehan dan kekerasan terjadi di dalam keluarga-keluarga Katolik. Kedua, bukanlah “Katolik” ketika bersikap kasar, melakukan tindakan pelecehan dan kekerasan. Ketiga, pelaku, yang dianiaya, dan anak-anak yang menyaksikan pelecehan serta kekerasan harus diingatkan bahwa Allah mengasihi mereka. Allah tidak menghendaki mereka menderita atau menyebabkan penderitaan.
Sumber Bacaan:
Westenberg, Leonie. “When She Calls for Help: Domestic Violence in Christian Families.” Social Sciences. Vol. 71, No. 6 (2017), hlm. 1-10.