Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
Berdasarkan ajaran Gereja Katolik, perkawinan mempunyai karakter suci dan ikatannya bersifat abadi. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia (Mat 19:6). Gereja berpendapat bahwa di antara orang Kristen, perkawinan adalah sakramen dan bersifat religius. Selain itu, Gereja Katolik berpegang dan mengajarkan bahwa sifat serta kewajiban dalam perkawinan ditentukan oleh Allah dan hukum Allah. Terkait hal ini, upacara perkawinan melalui perjanjian memuat fakta bahwa Allah campur tangan, membuat laki-laki dan perempuan menjadi satu daging. Allah menjadikan perkawinan sebagai panggilan dan memberikan rahmat serta bantuan kepada mereka untuk memenuhi panggilan tersebut.
Meskipun perkawinan secara intrinsik bersifat spiritual, realitas memperlihatkan bahwa laki-laki dan perempuan yang mengucapkan janji perkawinan tergerak oleh nafsu, keserakahan, ambisi, dan keegoisan. Sehingga dalam perjalanan waktu terjadi fenomena pisah rumah atau perceraian. Tingginya tingkat perceraian menunjukkan bahwa perkawinan hanya dipandang sebagai kesepakatan antara laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama. Selain itu, perjanjian perkawinan dapat diubah dan diakhiri dengan persetujuan bersama.
Berbagai macam persoalan menyebabkan rusaknya perkawinan dan sering kali tidak dapat diperbaiki. Hal ini terjadi karena kurangnya saling pengertian dan ketidakmampuan untuk masuk ke dalam relasi interpersonal. Meskipun demikian, perceraian harus dipandang sebagai upaya terakhir setelah semua upaya rekonsiliasi lainnya tidak membuahkan hasil. Perlu diketahui bahwa kesepian dan kesulitan lainnya sering dialami oleh pasangan yang berpisah. Sehingga komunitas gerejawi harus memberikan perhatian kepada mereka. Memberi mereka rasa hormat, solidaritas, pengertian, dan bantuan praktis.
Orang-orang yang telah bercerai biasanya berniat untuk masuk ke dalam persatuan baru. Oleh karena itu, penting untuk membantu mereka yang telah bercerai dan dengan hati-hati memastikan bahwa mereka tidak menganggap diri mereka terpisah dari Gereja. Karena sebagai orang yang dibaptis mereka dapat dan memang harus berbagi dalam hidupnya. Mereka harus didorong untuk mendengarkan Sabda Allah, menghadiri Ekaristi, bertekun dalam doa, berkontribusi pada karya amal, membesarkan anak-anak dalam iman Kristen, dan senantiasa memohon rahmat Allah.
Sumber Bacaan:
MacKenzie, Eric F. “The Catholic Church on Separation and Civil Divorce.” The Catholic Lawyer. Vol. 1, No. 1 (2016), hlm. 37-43.