Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
Merenungkan makna tubuh seksual membawa manusia ke inti misteri Allah. Terkait hal ini, teologi tubuh Yohanes Paulus II memberikan makna keberadaan dan kehidupan manusia. Kristus mengajarkan supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu (Yoh 15:12). Yohanes Paulus II meyakini bahwa Allah memanggil manusia untuk mencintai seperti ketika Ia mencintai tubuh manusia dengan menciptakan laki-laki dan perempuan serta menjadikannya satu daging (Kej 2:24).
Kebangkitan tubuh dan penebusan dalam Kristus berimplikasi pada cara manusia memahami tubuh serta hubungan seksual. Terkait hal ini, misi Kristus adalah memulihkan tatanan kasih di dunia yang terdistorsi oleh dosa. Sedangkan penyatuan laki-laki dan perempuan terletak pada tatanan cinta manusia. Tidak mengherankan apabila manusia tertarik pada seks. Karena penyatuan laki-laki dan perempuan merupakan misteri agung yang membawa manusia ke inti rencana Allah untuk alam semesta (Ef 5:31-32).
Sering kali manusia menyalahgunakan karunia seks yang agung dari Allah. Perlu diketahui bahwa perdebatan mengenai aborsi bukanlah tentang kapan kehidupan dimulai, tetapi mengenai arti seks. Sesuatu yang diinginkan laki-laki dan perempuan yang berjuang untuk aborsi bukanlah hak (right) membunuh keturunan, tetapi untuk berhubungan seks tanpa batas dan tanpa konsekuensi.
Manusia membutuhkan bahasa baru (new language), membutuhkan teologi yang mampu menjelaskan bagaimana etika seksual Kristen jauh dari mantra jangan lakukan (don’t do it). Inilah sebabnya Yohanes Paulus II mengabdikan diri untuk ikut serta mengembangkan teologi tubuh. Kembali ke rencana awal Allah menyatukan laki-laki dan perempuan merupakan titik awal yang memadai untuk membangun budaya menghormati makna dan martabat kehidupan manusia.
Kejadian 2:7 melukiskan demikian, ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup. Namun, setelah menolak pemberian dalam relasinya dengan Allah, mereka tidak lagi mengalami hasrat seksual sebagai kekuatan untuk saling memberi. Sebaliknya, mereka ingin saling menggenggam dan memiliki satu sama lain untuk kepuasan mereka sendiri. Menurut Yohanes Paulus II, dengan fajar nafsu, relasi pemberian (gift) berubah menjadi relasi peruntukan (appropriation). Nafsu menginjak-injak makna tubuh pasangan dan bertujuan memuaskan kebutuhan seksual. Mereka mencari sensasi seksualitas, terlepas dari pemberian diri dan persekutuan pribadi sejati.
Nafsu sering dianggap bermanfaat untuk meningkatkan hasrat seksual. Pada kenyataannya, nafsu mengurangi kepenuhan asali hasrat seksual sebagaimana dimaksudkan Allah. Memanjakan nafsu sebanding dengan makan di tempat sampah. Padahal Allah mengundang manusia ke pesta hidup kekal. Sebagaimana Yesus mengajarkan dalam khotbah di bukit, nafsu merupakan masalah hati, bukan tubuh. Sehingga tidak mengherankan apabila hati laki-laki dan perempuan menjadi medan pertempuran antara cinta dan nafsu.
Ketika hubungan seksual dipandang sebagai ujian hidup atau mati, maka di hadapan cinta sejati pasangan, kematian tidak memiliki peluang. Menurut Yohanes Paulus II, mereka bersedia menempatkan diri di antara kekuatan baik dan jahat, karena cinta yakin akan kemenangan kebaikan serta berkenan melakukan segalanya agar kebaikan dapat menaklukkannya. Terkait hal ini, revolusi seksual abad XXI tidak dapat dijelaskan terlepas dari penerimaan kontrasepsi yang hampir universal.
Sumber Bacaan:
Paul II, John. Theology of the Body: The Redemption of the Body and Sacramentality of Marriage. Vatican: Libreria Edritice Vaticana, 2015.
West, Christopher. Theology of the Body for Beginners: A Basic Introduction to Pope John Paul II’s Sexual Revolution. USA: Ascension Press, 2009.