Oleh: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
Menurut Lewis Mumford (1895-1990), teknologi humanistik dapat digunakan sebagai instrumen evolusioner, memungkinkan kualitas hidup yang lebih baik dalam kaitannya dengan upaya penataan lingkungan. Selain itu, Mumford meyakini bahwa yang membedakan manusia dengan spesies lain yaitu penggunaan bahasa (use of language). Terkait hal ini, teknologi harus menyatu dengan jiwa dan kreativitas manusia, supaya berdaya guna serta membantu terciptanya dunia yang lebih baik.
Thomas Kuhn (1922-1996) menentang pertumbuhan dan perkembangan sains. Karena kemajuan sains bersifat sporadis, Kuhn menawarkan prospek kemajuan melalui perubahan paradigma (paradigm shift). Memandang dunia secara ekologis, di mana masyarakat, teknologi, dan alam berada dalam suatu ekosistem yang tidak terpisahkan. Meskipun demikian, terdapat pandangan terhadap dunia yang bersifat mekanistik, manusia menempati posisi tertinggi dalam proses penciptaan. Manusia dilihat sebagai sumber dan ukuran segala sesuatu.
Upaya menolak kepentingan manusia yang eksklusif dan egois ditempuh Frijof Capra (fisikawan Amerika) dengan menegaskan bahwa manusia dewasa ini memulai pergeseran fundamental menuju kehidupan yang lebih ekologis, holistik, organik, dan sistemik. Capra menghendaki supaya perkembangan teknologi diselaraskan dengan nilai-nilai ekologi dan praksis hidup berkelanjutan (sustainability). Harapannya krisis ekologi dapat ditanggulangi dan keutuhan ciptaan dimungkinkan.
Cara Pandang Berkelanjutan dan Hidup dalam Keseimbangan
Perkembangan sains dan teknologi mendorong kemajuan evolusioner serta membentuk kehidupan modern. Sains dan teknologi membantu meningkatkan kualitas kesehatan, standar hidup, dan komunikasi global. Paradigma mekanistik atau reduksionis berakar dalam revolusi ilmiah Eropa yang dipengaruhi Nicolaus Copernikus (1473-1543), Johannes Kepler (1571-1630), Isaac Newton (1643-1727), dan Galileo Galilei (1564-1642). Mereka mempengaruhi budaya dan alam pikiran masyarakat di seluruh dunia. Misalnya, alam ada untuk melayani manusia (nature exists to serve humanity).
Istilah keberlanjutan terkait dengan perubahan sikap dan hidup dalam kehati-hatian, mengutamakan cara hidup yang seimbang ketika berhadapan dengan ekosistem serta biosfer. Jika manusia tidak memperhatikan unsur keseimbangan, maka akan terjadi ketidakpastian, risiko, kegagalan, dan bencana. Sehingga teori, etika, dan praktik berkelanjutan diyakini mampu meminimalisir dampak buruk yang dihasilkan oleh pembangunan konvensional terhadap lingkungan (environment).
Menurut Capra, dewasa ini harus dilakukan perubahan cara pandang manusia secara radikal. Menyadari bahwa segala sesuatu yang ada di dunia terintegrasi. Merujuk pada kosmologi Abad Pertengahan, setiap tindakan partikular akan mempengaruhi keseimbangan universal. Terkait hal ini, James Lovelock (environmentalis dan futurolog) menampilkan bumi sebagai sistem yang mengatur dirinya sendiri. Tetapi pertumbuhan pesat populasi, ekonomi, dan kota sejak revolusi industri membuat bumi berada di bawah tekanan besar (huge stress).
Sebagaimana ditegaskan Richard Douthwaite (1942-2011), pertumbuhan ekonomi memperkaya sedikit orang, memiskinkan banyak orang, dan membahayakan planet. Persoalan lingkungan terjadi dalam konteks relasi antara manusia, sumber daya alam, dan lingkungan sosial. Selain itu, meningkatnya populasi dunia, industrialisasi, polusi, produksi pangan, dan penggunaan sumber daya alam yang berlebihan menyebabkan bencana alam (eco-catastrophe), kelaparan, dan perang. Dengan kata lain, produksi industri, penipisan sumber daya alam, polusi, dan pembuangan limbah menghasilkan situasi serta kondisi dunia yang tidak teratur (disordered).
John Stuart Mill (1806-1873) mengusulkan gagasan mengenai negara stasioner (stationary state) untuk mengantisipasi dorongan egois dan kompetitif kapitalisme. Sedangkan Herman Daly (ekonom ekologi) melihat pentingnya menyadari batasan ketika memanfaatkan sumber daya alam. Karena degradasi lingkungan (environmental degradation) disebabkan oleh keinginan manusia yang tidak terbatas dalam upaya menghasilkan suatu produksi.
Pertumbuhan ekonomi dalam pengertian konvensional pada hakikatnya merusak lingkungan (damages the environment) dan berujung pada ketidakadilan sosial (social injustice). Sehingga perlu diciptakan masyarakat ekologis yang didasarkan pada pola kebijakan berkelanjutan yang mencakup aspek ekonomi, sosial, budaya, politik, teknologi, dan lingkungan. Mengendalikan keinginan yang tidak teratur dan mendefinisikan ulang gagasan mengenai pertumbuhan (growth).
Manusia Sebagai Pusat Segala Sesuatu
Pada awal abad XX terjadi perubahan pemikiran dalam bidang atom dan subatom. Hal ini membuat Kuhn mendefinisikan paradigma ilmiah (scientific paradigm) sebagai konstelasi konsep pencapaian, nilai, dan teknik yang dibagikan serta digunakan oleh komunitas ilmiah untuk menunjukkan persoalan dan solusi. Menurut Kuhn, paradigma memperoleh status karena berhasil memecahkan berbagai macam persoalan.
Sebagaimana diyakini Kuhn, paradigma tidak hanya dimiliki oleh komunitas ilmiah, tetapi juga masyarakat luas dalam relasinya dengan alam. Perlu diketahui bahwa paradigma berguna untuk mengetahui proses terjadinya perubahan sosial dan lingkungan. Secara umum, penyebab krisis lingkungan (environmental crisis) pada periode modern yaitu revolusi ilmu pengetahuan, agama, dan ekonomi yang mendominasi alam pikiran Barat serta membentuk sistem kapitalisme dan sosialisme.
Pada abad XVI-XVII, modernisme awal dan prinsip-prinsip sains klasik mempunyai cara pandang yang berbeda terhadap dunia apabila dibandingkan dengan kosmologi Abad Pertengahan serta alam pikiran pramodern. Mengikuti gagasan René Descartes (1596-1960), manusia pada dasarnya terpisah dari alam, di mana sains adalah tuan dan pemilik alam (masters and possessors of nature). Alam dilihat sebagai kumpulan partikel yang terpisah. Partikel seperti atom, elektron, dan quark merupakan benda padat yang berada di ruang kosong.
Manusia menempatkan diri sebagai pengamat alam dan titik tertinggi penciptaan (the highpoint of creation). Hal ini tertanam kuat dalam budaya dan kesadaran manusia. Sehingga tidak mengherankan apabila muncul kapitalisme industri dan ilmu pengetahuan dicirikan oleh kemajuan yang bersifat material serta dijiwai nilai-nilai liberalisme dan Revolusi Prancis. Sejak zaman kuno, tujuan utama sains adalah mendapatkan kebijaksanaan dan pemahaman yang selaras dengan alam. Namun, mulai Francis Bacon (1561-1626), sains dicirikan oleh kecenderungan patrialkal, pengejaran ilmu pengetahuan, mengontrol, dan mengeksploitasi alam.
Dualisme yang diperjuangkan Descartes mencirikan budaya dan alam pikiran Barat. Descartes meragukan segala sesuatu dan mengemukakan bahwa cogito ergo sum. Akal budi dipandang sebagai esensi alam. Karena dunia material tidak mempunyai roh atau kehidupan dan berfungsi berdasarkan hukum mekanik. Terkait hal ini, Newton menegaskan bahwa Allah menggerakkan dan mengatur seluruh alam semesta dengan hukum yang tidak dapat diubah. Pandangan tersebut bersifat deterministik dan fatalistik, di mana masa kini dapat diramalkan berdasarkan pengetahuan akan hukum alam. Sedangkan masa depan sudah dilemparkan dan kehendak bebas (free will) dipandang sebagai ilusi.
Menurut Capra, dewasa ini paradigma mekanistik mengalami penurunan dan terdapat sejumlah gagasan serta nilai yang dipertanyakan. Pertama, alam semesta merupakan sistem mekanis yang tersusun dari berbagai macam unsur dasar. Kedua, tubuh manusia dipandang sebagai mesin. Ketiga, kehidupan masyarakat diwarnai perjuangan kompetitif untuk mempertahankan eksistensi. Keempat, kemajuan dapat dicapai melalui pertumbuhan ekonomi dan teknologi. Kelima, mengikuti hukum dasar alam, status perempuan berada di bawah laki-laki.
Pembaharuan Nilai Moral dan Spiritual
Menurut Clive Ponting (1946-2020), manusia gagal mencapai keseimbangan berkelanjutan antara kebutuhan material (material demands) dan kesejahteraan lingkungan (the environment’s well-being). Misalnya, kekaisaran Sumeria sebagai masyarakat terpelajar di dunia menyerah terhadap keruntuhan ekologis (ecological collapse) yang ditimbulkannya sendiri. Pada 5500 SM, inovasi teknis irigasi memungkinkan masyarakat Sumeria meningkatkan hasil panen. Tetapi, pada saat yang sama, inovasi tersebut mengakibatkan kandungan garam meningkat dan kemampuan tanah untuk menahan air menurun.
Pertumbuhan penduduk yang cepat, sebagai akibat dari peningkatan produksi tanaman, membuat tanah tidak bisa dibiarkan kosong untuk pulih. Untuk sementara waktu hasil panen stabil atau tetap tinggi. Namun, sejak 2400 SM mengalami penurunan drastis. Kekurangan makanan membuat Sumeria ditaklukkan oleh pihak lain dalam beberapa dekade. Kebangkitan dan kejatuhan Sumeria memperlihatkan bahwa perkembangan teknologi meningkatkan kemampuan manusia untuk mendapatkan kenyamanan dari alam. Tetapi harus dibayar dengan mengorbankan kerusakan lingkungan (environmental demage) yang lebih besar.
Sebagaimana dikatakan Ponting, kerusakan lingkungan membuat masyarakat terpecah belah. Terjadi kemerosotan dan penurunan berkepanjangan, di mana generasi yang hidup melalui proses tersebut tidak menyadari bahwa mereka sedang mengalami penurunan jangka panjang. Ilmu klasik menegaskan bahwa dunia beroperasi menurut hukum fisika yang konsisten (consistent physical laws). Hal ini dapat dibuktikan melalui akal budi dan eksperiman yang kemudian diterapkan pada tindakan praktis.
Kapitalis modern Eropa yang naik daun pada abad XVI-XVIII, memandang ilmu pengetahuan mampu menghasilkan mesin yang lebih baik, menurunkan biaya produksi, menarik banyak orang ke dalam sistem tersebut, dan memungkinkan modal yang diperlukan untuk mengembangkan metode serta mesin produksi. Pada akhir abad XVIII, pengejaran keunggulan teknologi di Inggris mencapai puncaknya pada mesin uap yang menggerakkan Revolusi Industri. Selama abad XIX, kemajuan teknologi meningkatkan standar kesejahteraan masyarakat Eropa, tetapi menimbulkan kerusakan lingkungan karena hutan dihancurkan secara sistematis. Selanjutnya, kayu yang menjadi sumber daya yang langka, diganti dengan batu bara (coal) sebagai sumber bahan bakar utama.
Selama berabad-abad manusia membatasi pembakaran batu bara, karena sumber bahan bakar tersebut tidak efisien, berantakan dan sulit diekstraksi dari dalam tanah. Persediaan kayu yang kurang dan terobosan teknologi pada 1840 memungkinkan batu bara diubah menjadi bahan bakar yang menghasilkan panas jauh lebih efisien dan industri tersebut berkembang pesat. Tetapi realitas memperlihatkan bahwa batu bara menimbulkan dampak yang lebih buruk. Ketika kemajuan (progress) menjadi kata kunci dalam filsafat dan politik abad XIX, produksi besar-besaran membuat langit menghitam dan sungai tercemar.
Ide, keyakinan, dan nilai-nilai yang dipegang sebagai upaya mengejar budaya yang ramah secara ekologis, secara historis berasal dari berbagai macam sumber filosofis serta ideologi. Sejumlah orang menyamakan gelombang modern terkait kesadaran ekologi (ecological awareness) dengan pertumbuhan sekte religius abad XVII seperti Shakers, Quakers, Diggers, Ranters, Pilgrims, Fifth Monarchists, dan Levellers. Semangat politik egaliter yang independen, mencintai bumi, mempunyai tradisi desentralis, dan komitmen spiritual, menempatkan mereka di antara garis panjang anteseden pandangan dunia ekologis.
Pemberontakan melawan kapitalisme dan nilai-nilai utilitarian pada abad XVIII-XIX dapat dilihat dalam romantisme yang diungkapkan oleh Thomas Carlyle (1795-1881) dan John Ruskin (1819-1900) serta penyair seperti William Blake (1757-1827), William Wordsworth (1770-1850), Samuel Taylor Coleridge (1772-1834), dan George Gordon Byron (1788-1824). Selain berpegang pada nilai-nilai dan kepercayaan tradisional dalam menghadapi perubahan yang kacau, mereka sangat prihatin dengan dampak negatif dari industrialisasi serta urbanisasi. Ruskin menyerukan pembaharuan nilai moral dan spiritual di masyarakat. Karena telah terjadi kemerosotan moral yang dipicu oleh industri dan perdagangan.
Mengubah Pendekatan Instrumental dengan Paradigma Sosial
Neil Armstrong (1930-2012) yang mendarat di bulan pada 1969 menunjukkan semangat antroposentris. Sejumlah generasi muda yang terlibat dalam eksplorasi ruang angkasa dan sains, mengalihkan perhatian dari masa depan teknologi menuju bumi untuk menghadapi kehidupan dalam semua kekayaan organik, keragaman, dan kreativitasnya. Bagi banyak orang, tantangannya bukan lagi pada teknologi, melainkan cara pandang filosofis terkait pentingnya kembali ke alam (back to nature).
Penolakan terhadap asumsi kepentingan diri manusia dapat ditelusuri dalam etika lingkungan Henri David Thoreau (1817-1862), John Muir (1838-1914), Aldo Leopold (1887-1948), dan Santo Fransiskus Assisi (1182-1226). Selain itu, juga dapat dilacak dalam kosmologi Abad Pertengahan dan Renaisans yang melihat dunia sebagai sesuatu yang holistik, organik, ekologis, dan spiritual. Metafora organik Abad Pertengahan mengenai alam berasal dari pengalaman manusia di mana bumi dipandang sebagai tubuh (body) yang hidup dan air sebagai darah (blood). Sedangkan udara dilihat sebagai nafas planet (the breath of the planet) dan gunung berapi sebagai sistem pencernaan bumi (earth’s digestive system).
Filosofi organik Renaisans mengajarkan bahwa segala sesuatu yang ada di dalam kosmos bersatu, saling tergantung, dan dipenuhi dengan kehidupan. Bumi dipandang sebagai makhluk hidup yang memelihara manusia. Oleh karena itu, manusia harus menghormati bumi. Pandangan organik dan kosmologi Abad Pertengahan meyakini bahwa dari bebatuan sampai malaikat mempunyai jiwa (soul) serta tempat (place). Semua digabungkan dalam hierarki dan saling bergantung. Hal ini membingkai teori-teori ilmiah sampai abad XVIII, manusia dan alam ditempatkan dalam relasi timbal balik. Penghapusan salah satu di antara keduanya membubarkan seluruh tatanan kosmik dan membuat dunia kacau serta terputus-putus.
Banyak orang mendukung gagasan masyarakat berkelanjutan (sustainable society). Terkait hal ini, sosiologi lingkungan (environmental sociology) mengkritik sosiologi klasik yang kurang menaruh perhatian terhadap relasi antara manusia dan lingkungan. Menurut The New Environmental Paradigm (NEP), biosfer dapat menjadi kendala bagi aktivitas manusia. Gagasan tersebut mengikuti pandangan ekologi postmodern mengenai sains yang dipinjam dari penulis abad XXI seperti Alfred North Whitehead (1861-1947) dan Henri Bergson (1859-1941).
Para penulis abad XXI merujuk pemikiran Michael Faraday (1791-1867) dan Albert Einstein (1879-1955). Faraday menyangkal gagasan Newton yang menegaskan bahwa semua entitas terpisah dan diatur oleh hukum mekanis fundamental sebagaimana ditentukan Allah. Sedangkan Einstein melalui teori relativitas, menawarkan pandangan bahwa tatanan alam semesta saling terkait. Dalam hipotesis Gaia, Lovelock meyakini bumi sebagai sistem organik yang mengatur dirinya sendiri. Berjuang menuju kondisi yang mapan untuk pemeliharaan kehidupan. Namun, urbanisasi dalam bentuk pemukiman padat mengakibatkan degradasi lingkungan dan gangguan sosial yang mengancam keseimbangan planet (the planet’s equilibrium).
Teknologi satelit (satellite technology) menunjukkan data bahwa terjadi perubahan pola geologi, kenaikan permukaan laut, dan penipisan lapisan ozon. Hal ini memperlihatkan persoalan lingkungan global, terjadi penipisan sumber daya alam, polusi atmosfer, perubahan iklim, penggundulan hutan, dan hilangnya keanekaragaman hayati secara dramatis. Kelangkaan sumber daya alam, degradasi lingkungan, dan populasi yang berkembang pesat menyebabkan kehancuran komunitas, runtuhnya infrastruktur di sejumlah kota, dan kekerasan etnis serta suku.
Laju pertumbuhan penduduk dunia yang stabil hanya mungkin apabila kemiskinan di seluruh dunia berkurang. Kepunahan massal spesies hewan dan tumbuhan akan terus berlangsung selama negara berkembang dibebani oleh hutang. Terkait hal ini, sikap dominan terhadap alam dan lingkungan dalam masyarakat Barat didukung oleh paradigma mekanistik (mechanistic paradigm) yang mengakar kuat. Oleh karena itu, Capra menegaskan bahwa harus dilakukan perubahan cara pandang secara radikal. Masyarakat harus mempunyai paradigma sosial (social paradigm). Berdasarkan analisis Capra mengenai transformasi budaya, ditemukan bahwa praktik dan keyakinan yang dimiliki suatu komunitas membentuk visi realitas tertentu serta cara komunitas mengatur dirinya sendiri.
Menurut Mumford, menjelang akhir Perang Dunia II, masyarakat mulai merangkul visi humanistik baru (new humanistic vision). Masyarakat memusatkan perhatian pada kebangkitan kehidupan (the resurgence of life), dari yang mekanik ke yang organik. Hal ini ditandai dengan semangat budidaya, humanisasi, kerja sama, dan simbiosis. Semangat tersebut diejawantahkan dalam perencanaan kota, pembangunan daerah, dan pertukaran sumber daya dunia (the interchange of world resources).
Sepanjang abad XX, perpindahan dari yang mekanik menuju yang organik mengambail berbagai macam bentuk serta bergerak dengan kecepatan yang berbeda dalam setiap bidang. Hal ini diwarnai tegangan antara bagian-bagian (mekanistik, reduksionis, dan atomistik) dan keseluruhan (holistik, ekologis, dan sistemik). Namun, ketika berupaya menangani persoalan lingkungan dan sosial, pandangan deterministik dan mekanik secara konsisten mempromosikan pendekatan instrumental yang bergantung pada metode ilmiah dan teknologi.
Pengejaran kemajuan materi yang tiada henti dan didasarkan pada mentalitas tanpa batas, membuat sumber daya alam dunia terkuras serta membebani biosfer dengan limbah yang tidak dapat diurai. Persoalan menjadi semakin kompleks ketika krisis ekologi diselesaikan dengan menggunakan teknologi. Meskipun demikian, harus diakui bahwa berbagai macam persoalan modern seperti pertumbuhan populasi yang cepat, polusi, dan konflik nuklir memiliki solusi teknis yang sampai saat ini masih diperdebatkan.
Kebutuhan dan Batasan dalam Pembangunan Berkelanjutan
Menurut Barry Commoner (1917-2012), polusi diakibatkan oleh upaya meningkatkan keuntungan dan produktivitas melalui teknologi. Perlu diketahui bahwa polusi dan kerusakan lingkungan ditanggung oleh masyarakat atau konsumen, bukan produsen. Dengan kata lain, para pencemar atau produsen disubsidi oleh masyarakat. Oleh karena itu, persoalan tersebut harus ditinjau ulang mengingat krisis ekologi dewasa ini semakin mewabah. Dalam beberapa dekade terakhir, gagasan mengenai pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menjadi populer ketika berhadapan dengan realitas tegangan di antara masyarakat, teknologi, dan alam.
Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan generasi mendatang dalam upaya memenuhi kebutuhannya. Terdapat dua konsep mendasar dalam pembangunan berkelanjutan, yaitu kebutuhan (needs) dan batasan (limitations). Kebutuhan terkait dengan kebutuhan esensial atau sesuatu yang menjadi prioritas utama dan harus diberikan. Sedangkan batasan diberlakukan dalam ranah teknologi dan organisasi sosial dalam kaitannya dengan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan saat ini serta masa mendatang.
Terjadi ketegangan di antara kelompok yang meyakini bahwa teknologi dapat menyeselaikan berbagai macam persoalan dan kelompok yang memandang teknologi tidak mampu menyelesainnya. Secara teoretis, investasi memungkinkan kebutuhan dan infrastruktur yang diperlukan masyarakat seperti makanan, air, lahan pertanian, dan industri terpenuhi. Hal ini juga diyakini mampu mengangkat masyarakat dari kemiskinan absolut (absolute poverty) dengan tingkat populasi stabil, energi berkelanjutan, dan standar hidup lebih baik.
Penelitian, inovasi, dan evaluasi yang cermat memungkinkan bertumbuh serta berkembangnya pembangunan berkelanjutan dan keutuhan lingkungan serta budaya. Terlepas dari ketegangan dari kelompok yang menerima dan menolak teknologi, pada hakikatnya teknologi menyebabkan sekaligus menyelesaikan persoalan lingkungan. Oleh karena itu, masyarakat harus memberikan batasan yang tegas dan jelas dalam penggunaan teknologi. Tetapi dalam dunia modern dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang cepat, pengejaran kekayaan dengan menguras sumber daya alam, dan urbanisasi, kekurangan strategi untuk melestarikan, melindungi, dan memelihara keseimbangan ekologi.
Meskipun teknologi sangat canggih, tidak akan mampu memfasilitasi pertumbuhan tanpa batas dalam sistem yang terbatas. Kecanggihan teknologi hanya mengalihkan persoalan dengan mengorbankan lebih banyak energi dan penggunaan sumber daya alam tanpa batas yang kemudian mengakibatkan polusi serta bencana. Oleh karena itu, kecanggihan teknologi harus disatukan dengan semangat dan kreativitas manusia yang memandang serta merangkul dunia secara ekologis. Akhirnya, penting untuk menyadari dinamika relasi di antara masyarakat, teknologi, dan alam. Supaya keutuhan ciptaan sungguh-sungguh mewarnai perjalanan hidup manusia di dunia.
Sumber Bacaan:
Grierson, David. “Technology and Ecology.” Dalam David Humphreys dan Spencer S. Stober (editor). Transitions to Sustainability: Theoretical Debates for a Changing Planet. Illinois: Common Ground Publishing, 2014, hlm. 105-118.
Catatan: Tulisan ini pernah dimuat dalam majalah Gita Sang Surya, Vol.16, No. 3 (Mei-Juni 2021), hlm. 4-8.