Aliran Sesat Abad Pertama Kekristenan

0
6437

Oleh: Guido Ganggus OFM

Pada masa-masa awal kekristenan, Gereja disusupi oleh berbagai macam ajaran sesat.[1] Kesesatan yang dimaksud nyata dalam berbagai ajaran para bidah yang tidak sesuai dengan iman Kristen. Kenyataan ini kemudian ditentang oleh sejumlah teolog terkenal (Origenes, Irenius, Tertulianus) dengan dalil bahwa berdasarkan pandangan tradisional para bidah telah menolak iman yang sama yang sudah diwariskan oleh para Rasul.[2] Pada periode pertama kekristenan, ajaran iman yang resmi belum terlalu jelas baik menyangkut Trinitas maupun menyangkut Kristologi.[3] Sejumlah teolog di atas berusaha memberikan ajaran yang sesuai tentang Allah Tritunggal. Mereka berjuang di tengah gempuran bidah dalam tubuh Gereja maupun agama Politeisme.

Dalam suasana hadirnya bidah-bidah, beberapa pokok pikiran para teolog perlu mendapatkan perhatian seperti Irenius, Origenes, dan Tertulianus.[4] Sumbangan para teolog secara bertahap berusaha menemukan rumusan yang tepat untuk mengungkapkan iman kristiani akan Allah Tritunggal. Dapat dikatakan, para teolog di atas berhadapan dengan tiga pokok persoalan, yaitu perihal keilahian Putra, keilahian Roh Kudus, dan bagaimana menjelaskan relasi antara Bapa, Putra, dan Roh Kudus.[5] Di sana dapat ditemukan motif di balik upaya para teolog merumuskan iman Allah Tritunggal, yaitu menghindari Pluralisme atau Politeisme,[6] mengelak dari Monarkianisme Dinamistik, berupaya untuk tidak jatuh pada paham Monarkianisme Modalistik, serta menghindari paham Doketisme.[7]

Menanggapi realita tersebut, beberapa tokoh seperti Irenius (130-202) merumuskan iman akan Allah Tritunggal. Sebelumnya dia terinspirasi menggunakan istilah tokoh Teofilus dari Antiokia yang dengan hati-hati mengungkapkan Pikiran dan Kebijaksanaan Tuhan (God’s Reason and Wisdom) seperti dua tangan dalam penciptaan.[8] Dia menegaskan bahwa menurut ada dan kuasa-Nya, Allah itu pada hakikatnya adalah Esa, akan tetapi menurut peristiwa dan pelaksanaan penebusan terdapat Bapa dan Putra.[9] Putra dan Roh Kudus memiliki misi dalam rencana penebusan ilahi, dan dengan demikian Triad (tiga serangkai) tertampakkan. Rumusan yang dikemukan oleh Irenius membangkitkan kesan bahwa ia ingin supaya tidak jatuh dalam Politeisme. Namun apa yang ia sampaikan justru membuka peluang dan jatuh pada paham Modalisme. Perkembangan ajaran tentang pribadi-pribadi ilahi dalam Irenius terjadi dengan bertolak dari titik-pandang sejarah keselamatan.

Selanjutnya ajaran Tertulianus menyerupai ajaran Irenius sebab ia pun mulai dengan pribadi Allah yang mempunyai dan beserta-Nya sabda dan Roh, dan yang melahirkan mereka dari dalam diri-Nya sendiri untuk penciptaan dunia.[10] Tertulianus hendak berpegang teguh pada hakikat Allah yang Esa dalam tiga pribadi yang saling berhubungan satu sama lain. Dalam hakikat Allah yang satu, terdapat tiga pribadi. Dalam hal ini Tertulianus menulis, “Ketiga pribadi itu berbeda bukan dalam kondisi, melainkan dalam derajat, bukan dalam substansi melainkan dalam bentuk, bukan dalam kuasa melainkan dalam aspek”.[11] Demi sejarah keselamatan, diperlukan tiga pribadi sehingga terdapat perbedaan dalam keesaan itu sendiri. Karya Tertulianus begitu penting bagi perkembangan ajaran Trinitas karena dialah yang menempatkan rumus-rumus tepat untuk mengungkapkan keesaan Allah maupun ketigaan pribadi.

Selanjutnya, Origenes memberikan sumbangan dalam teologi Kristen. Tetapi ajaran Origenes menimbulkan masalah yang menyebabkan kontroversi Arian.[12] Pertama ia mengatakan bahwa Allah itu satu, tetapi dibandingkan dengan perbedaan antara ketiga pribadi yang jauh lebih ditonjolkan, kurang mengungkapkan kesatuan Allah Tritunggal.[13] Ia beranggapan bahwa dalam arti ketat hanya Bapa itu Allah. Memang nama Allah itu bisa diterapkan pada Putra dan Roh, tetapi keilahian mereka bersifat sekunder, diturunkan dari Bapa. Untuk menunjukkan ketiga pribadi Ilahi, Origenes menggunakan istilah hypostasis. Kedua,  Origenes menerima suatu penciptaan yang abadi.[14] Dalam penalarannya, kebaikan dan kuasa Allah itu sempurna dan karena itu harus selalu mempunyai objek-objek yang kepadanya kebaikan dan kuasa itu terarahkan. Menurut Origenes sebelum menciptakan dunia, Ia menjadikan suatu dunia dengan makhluk-makhluk yang ko-eternal dengan Allah sendiri.

Pada abad II dan III juga hadir aliran Monarkianisme. Istilah Monarkianisme lahir dalam kontroversi sebutan “Allah lain” dari Yustinus Martir di Roma. Justinus memberikan analoginya seperti sebuah obor yang menyala dari yang lain (one torch lit from another).[15] Gambaran ini jauh lebih memuaskan, karena Yustinus Martir mengungkapkan adanya ketaktergantungan atau kebebasan (independence) dari Logos. Di kemudian hari, Origenes menggunakan istilah hypostasis. Dalam pergulatan ini satu isu sentral dalam konflik dengan Gnostisisme adalah pertanyaan apakah ada lebih dari satu prinsip utama yang pertama. Kaum ortodoks bersikeras bahwa tidak ada prinsip pertama selain Tuhan sang pencipta.[16] Monarki terdiri dari dua aliran penting yaitu, Dinamis dan Modalistik.

Pertama; Dimanis. Tokoh terkenal dari kelompok ini adalah Theodot, Artemon (Artemas) dan kemungkinan juga termasuk Paul dari Samosata.[17] Kelompok ini menekankan iman akan satu Allah, dan karena itu menolak predikat Allah pada Yesus. Sebagai putra perawan Maria, Ia adalah manusia belaka. Tetapi Ia begitu istimewa karena taat kepada Bapa. Oleh karena itu, pada saat pembatisan-Nya Ia diangkat (Adopsianisme) menjadi Putra Allah. Dalam hal ini Yesus mendapatkan kekuatan Ilahi sehingga ia mampu memancarkan kekuatan Ilahi.[18] Ia dianugerahi kuasa Roh Kudus. Peristiwa Yesus Kristus tidak dimengerti sebagai sesuatu peristiwa inkarnasi Putra Allah dalam Yesus melainkan sebagai inspirasi (Yesus adalah anak yang dilahirkan dari perawan Maria yang dihembusi atau diinspirasi oleh kekuatan ilahi yang tidak personal).[19] Paul Samosata seperti yang dipahami oleh Henry Chadwick juga menekankan monarki dan keesaan Allah; Allah saja sumber keselamatan manusia.[20] Yesus itu manusia suci (a holly man): sudah dihembusi kuasa ilahi oleh Logos sejak mulai dikandung oleh Maria.

Kedua, Modalistik. Tokoh terkenal aliran ini adalah Noetus,[21] Sabelius,[22] dan Praxeas.[23] Penganut Modalisme tidak berbicara tentang manusia Yesus yang diberikan kekuatan ilahi, tetapi lebih menegaskan bahwa dalam Kristus, Bapa sendiri yang menjadi manusia; adalah model dari Ada yang sama yang mungkin untuk sementara dipakai dalam rencana penebusan Ilahi.[24] Yang hendak dipertahankan di sini adalah kesatuan Allah dan keilahian Kristus: Kristus adalah Allah. Karena itu Ia juga adalah Bapa. Penganut Modalisme menekankan hanya ada satu Allah, yaitu Allah Bapa. Allah Bapa itu tidak terlihat, Maha Kuasa dan tidak mengenal derita. Akan tetapi, Ia dapat mengubah diri menjadi Putra yang dapat dilihat dan dapat menderita. Begitulah Allah Bapa hadir di muka bumi sebagai Putra yang menderita, wafat, dan bangkit.

Sebagai bias lanjut dari aliran sesat ini, muncullah aliran Patripasionisme yang sangat dikecam oleh Tertulianus. Patripasionisme memandang bahwa yang menjadi manusia, menderita, serta bangkit adalah Allah-Bapa. Patripasionisme: sebuah sekte yang lahir di akhir abad II, dan nama mereka itu mengikuti prinsip bahwa Tuhan hanya terdiri dari satu pribadi, penyelamat adalah ilahi: karena itu doktrin mereka secara kuat menyiratkan penderitaan Bapa. Patripasionisme mengatakan bahwa yang menderita di salib adalah Bapa.[25] Praxeas dihormati sebagai pendiri sekte ini.[26] Selain itu, seorang Modalisme, yaitu Sabelius menegaskan bahwa hanya ada satu hypostasis ilahi yang secara bergantian dangan cara (modus) yang berbeda mewahyukan diri sesuai dengan waktu, misalnya dalam pribadi Bapa waktu penciptaan, sebagai Putra dalam Kristus, dan sebagai Roh kudus dalam Paskah.[27]

Doketisme dan Dualisme. Salah seorang tokoh aliran ini bernama Marcion yang hidup pada bad ke-II. Ia menolak Perjanjian Lama. Marcion hanya percaya pada Allah yang semula tidak dikenal, yang baik yang diwartakan oleh Injil.  Yesus Kristus dalam kerangka itu dipandang sebagai penampakan saja dari Allah itu yang duniawi: tampaknya saja Kristus mengenakan tubuh manusia, tampaknya menderita, guna melalui kematian-Nya di salib, Ia mampu menebus jiwa-jiwa yang percaya pada berkat kuasa Allah pencipta.[28] Dengan kata lain Marcion menolak kemanusian Kristus yang lahir dari perawan.

Selain itu dari pemikiran para Gnostik dan Doketisme, mereka mengatakan bahwa tugas penyelamat adalah mewahyukan pengetahuan yang benar, bukan menyelamatkan dari dosa.[29] Aliran ini mengakui bahwa sejak peristiwa pembaptisan, Kristus yang ilahi untuk sementara turun pada Yesus, tetapi kemudian meninggalkan Yesus untuk kembali ke surga persis sebelum peristiwa penyaliban. Kristus tidak sungguh-sungguh mengenakan tubuh manusiawi, hanya daging yang sudah dirohaniahkan.[30] Yang menjadi kekhasannya adalah karya keselamatan tidak ditujukan kepada manusia secara keseluruhan, tetapi hanya menyangkut dimensi rohaniahnya.

[1] Bagi Tertulianus, bidah seperti penganiayaan yang menguji iman. Penyebabnya adalah rasa ingin tahu yang tak terbatas. Mereka meragukan aturan iman (regula fidei) yang dipercaya oleh orang Kristen sejati. Argumen Tertulianus bergantung pada dua teks dan satu definisi: “Carilah dan kamu akan menemukan” (Mat. 7:7), “Imanmu telah menyelamatkan engkau” (Luk. 18:42), dan iman dengan persetujuan pribadi untuk suatu keyakinan. Karena bidat masih mencari, ia tidak dapat menemukannya; karena dia belum menemukan, dia tidak bisa percaya; dan jika dia tidak percaya, dia bukan orang Kristen. Tetapi bidah yang terampil membuat permainan yang efektif dengan teks Alkitab. Lih. dan bdk. Timothy D. Barnes, Tertullian: A Historical and Literary Study, hlm. 65.

[2] Joseph F. Kelly, The Ecumenical Councils of the Catholic Church: A History (Minnesota: Liturgical Press, 2009), hlm. 8. Kristus menerima kebenaran dari Allah dan mengirimkannya kepada Rasul-rasul-Nya (Apostolik), tetapi pada gilirannya menyerahkannya kepada Gereja-gereja yang mereka dirikan. Di luar susunan ini, tidak seorang pun dapat memiliki kebenaran. Bdk. dan lih. Timothy D. Barnes, Tertullian: A Historical and Literary Study, hlm. 65-66.

[3] Adrianus Sunarko, Kristologi: Tinjauan Historis-Sistematik (Jakarta: OBOR, 2017), hlm. 65.

[4] Niko S. Dister, Teologi Sistematika I, hlm. 133.

[5] Adrianus Sunarko, Allah Tritunggal Adalah Kasih (Yogyakarta: PT. Maharsa Artha Mulia, 2017), hlm. 66.

[6] Pluralisme adalah penyembahan kepada banyak allah. Bidah ini menekankan  pada banyak makhluk/hal ilahi (divine being). Semua makhluk memiliki karakter kesucian (numinous) dan memiliki kekuatan melebihi manusia. Allah-allah itu di luar kontrol manusia dan keberadaanya misterius. Setiap allah diyakini memiliki fungsi tertentu seperti penyembuh, pelindung dalam perjalanan, dan lain sebagainya. Lih. K. Rahner dan H. Vorgrimler, Concise Theological Dictionary, diedit oleh Cornelius Ernst dan diterjemahkan oleh Richard Strachan (London: Burns & Oates, 1965), hlm. 361-362.

[7] Adrianus Sunarko, Allah Tritunggal Adalah Kasih, hlm. 66.

[8] ”Theophilus of Antioch, whose language had been gratefully borrowed by Irenaeus, spoke more cautiously of God reason and wisdom as like two hands put forth for the work of creation”. Lih. Henry Chadwick, The Early Church, hlm. 86.

[9] Sebagaimana dikutib dalam Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, hlm. 54-55.

[10] Sebagaimana dikutib dalam Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, hlm. 55-56.

[11] Seperti dikutib dalam Philip Schaff, “Against Praxeas”, dalam Ante-Nicene Fathers, Vol. III, diedit oleh Allan Menzies, diterjemahkan oleh Dr. Holmes (Grand Rapids: Christian Classics Ethereal Library, 1885), hlm. 1044.

[12] Niko S. Dister, Teologi Sistematika I, hlm. 136.

[13] Sebagaimana dikutib dalam Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, hlm. 57.

[14] Dunia sejarah menurut Origenes terjadi ketika makhluk-makhluk itu jauh dari Tuhan. Dan karena sejak semula semua makhluk itu disuboordinasikan kepada Allah Bapa, maka diperlukan seorang mediator antara keesaan mutlak Allah satu pihak dan banyaknya makhluk-makhluk di lain pihak. Lih. seperti dikutib dalam Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, hlm. 58.

[15] Henry Chadwick, The Early Church, hlm. 86.

[16] “The orthodox had insisted that there is no first principle other than God the creator, no coequal devil, no co-eternal matter, but a single Monarchia.”. Lih. Henry Chadwick, The Early Church, hlm. 86.

[17] H. E. W. Turner, “Monarchianism” dalam Dictionary of Christian Theology, diedit oleh Rirhardson (London: SCM Press Ltd, 1969), hlm. 223.

[18] H. E. W. Turner, “Monarchianism” dalam Dictionary of Christian Theology, hlm. 223.

[19] Adrianus Sunarko, Kristologi: Tinjauan Historis-Sistematik, hlm. 68-69.

[20] Henry Chadwick, The Early Church, hlm. 113.

[21] Noetus menegaskan bahwa Tuhan tertinggi itu disebut Bapa, dan dianggap benar-benar tak terpisahkan, bersatu dengan Kristus yang disebut Putra, kemudian lahir dan menderita bersama-Nya. Lih. Hannah Adams, A Dictionary of all Religious and Religious Denominations Jewish, Heathen, Mahometan, Christian, Ancient, and Modern (Georgia: Scholars Press, 1992), hlm. 208.

[22] Sabelius mempertahankan bahwa esensi keilahian itu hanya tinggal dalam satu pribadi saja yang disebut Bapa: tapi suatu cahaya keilahian bersatu dengan manusia Yesus, dan membentuk karakter Putra Bapa. Aliran Sabelius sedikitnya berbeda dengan Noetus yang mana dia mengatakan bahwa hanya terdapat satu Pribadi dalam ketuhanan yang bertindak dalam tiga karakter yaitu sebagai Bapa, Putra, dan Roh Kudus: sebagai Pencipta, Penebus, serta Penyelamat manusia. Singkatnya, ketigaan dalam Tuhan menyata dalam relasi-Nya dengan dunia, Tuhan dengan tiga nama. Lih. Hannah Adams, A Dictionary of all Religious and Religious Denominations Jewish, Heathen, Mahometan, Christian, Ancient, and Modern, hlm. 208.

[23] Praxeas adalah seorang Monarkian dari Asia Kecil. Dia merupakan lawan dari Tertulianus yang menyebarkan ajaran Monarkianisme sampai di Roma. Bdk. Henry Chadwick, The Early Church, hlm. 89.

[24] Henry Chadwick, The Early Church, hlm. 113.

[25] Hannah Adams, A Dictionary of all Religious and Religious Denominations Jewish, Heathen, Mahometan, Christian, Ancient, and Modern, hlm. 214-215.

[26] Hannah Adams, A Dictionary of all Religious and Religious Denominations Jewish, Heathen, Mahometan, Christian, Ancient, and Modern, hlm. 215.

[27] Adrianus Sunarko, Kristologi: Tinjauan Historis-Sistematik, hlm. 75.

[28] Adrianus Sunarko, Kristologi: Tinjauan Historis-Sistematik, hlm. 69.

[29] Adrianus Sunarko, Kristologi: Tinjauan Historis-Sistematik, hlm. 69.

[30] Adrianus Sunarko, Kristologi: Tinjauan Historis-Sistematik, hlm. 69-70.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

1 × two =